Selasa, 11 Januari 2011

Dalil Hukum dan Sistematikanya

BAB I
PENDAHULUAN

Keempat Imam mazhab sepakat mengatakan bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW. Dua sumber tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena keduanya merupakan petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah SWT.

Ada juga dalil-dalil lain selain Al-Qur'an dan Sunnah seperti Qiyas, Istihsan, Istishlah, dan lainnya, tetapi dalil ini hanya sebagai dalil pendukung yang hanya merupakan alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW. Karena hanya sebagai alat bantu untuk memahami Al-Qur'an dan Sunnah, sebagian ulama menyebutnya sebagai metode istinbath.

Oleh karena yang disebut sebagai "dalil-dalil pendukung" di atas pada sisi lain disebut juga sebagai metode istinbath, para ulama Imam mazhab tidak sependapat dalam mempergunakannya sebagai sumber hukum Islam.

Berdasarkan hal ini, maka perlu kiranya dilakukan studi perbandingan terhadap pendapat-pendapat para imam mazhab tersebut agar diperoleh pengetahuan yang jelas tentang rumusan dasar pijakan mereka dalam melakukan istinbath hukum dan sistematika sumber hukum yang mereka gunakan dalam menetapkan suatu persoalan ijtihad.

Di dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang dalil hukum dan sistematika sumber dalam istinbath yang dipergunakan oleh masing-masing imam mazhab. Pembahasan ini dimulai dengan menjelaskan pengertian dalil hukum dari perspektif etimologis dan terminologis, kemudian uraian tentang pembagian sumber dalil dilihat dari segi keberadaannya, selanjutnya penjelasan tentang macam-macam sumber dalil menurut urutan dan sistematika yang digariskan oleh masing-masing mazhab; seperti sistematika sumber dalil mazhab Hanafi, sistematika sumber dalil mazhab Maliki, sistematika sumber dalil mazhab Syafi’i, sistematika sumber dalil mazhab Hanbali, sistematika sumber dalil mazhab Zhahiri dan sistematika sumber dalil mazhab Syi’ah.

Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan sumbangsih pengetahuan bagi kita semua. Amin ...


BAB II
PEMBAHASAN

DALIL HUKUM DAN SISTEMATIKA SUMBER HUKUM DALAM ISTINBATH

A. Pengertian Dalil Hukum

Dalam kajian ushul fiqh, secara lughawi para ulama ushul mengartikan dalil dengan ”sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”. Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa menurut bahasa yang dimaksud dengan dalil ialah:

الهَادِى إِلَى أَيِّ شَيْئٍ حِسِّيٍّ أَوْ مَعْنَوِيٍّ خَيْرٍ أَوْ شَرٍّ

”Dalil ialah yang memberi petunjuk kepada sesuatu yang dirasakan atau yang dipahami baik sifatnya hal yang baik maupun yang tidak baik”.

Adapun menurut istilah ushul, para ulama ushul – secara redaksional – berbeda dalam mendefinisikan dalil hukum. Abdul Wahab Khallaf menyebutkan, menurut istilah yang dimaksud dengan dalil hukum ialah:

مَا يُسْتَدَلَّ بِالنَّظْرِ الصَّحِيْحِ فِيْهِ عَلَى حُكْمٍ شَرْعِيٍّ عَمَلِيٍّ عَلَى سَبِيْلِ الْقَطْعِ أَوِ الظَّنِّ

”Segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dalam menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara’ yang bersifat ’amali, baik secara qath’i maupun secara zhanni.”

Kemudian, Ibn al-Subki, dalam kitab Matn Jam’i al-Jawami’, menyebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan dalil hukum ialah:

مَا يُمْكِنُ التَّوَصُّلُ بِصَحِيْحِ النَّظَرِ فِيْهِ إِلَى مَطْلُوْبٍ خَبَرِيٍّ

”Apa saja yang dapat dipergunakan untuk sampai kepada yang dikehendaki, yaitu hukum syara’ dengan berpijak pada pemikiran yang benar”.

Dari pengertian yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya yang disebut dengan dalil hukum ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.

Oleh karena itu, dalam istinbath hukum persoalan yang paling mendasar yang harus diperhatikan ialah menyangkut apa yang menjadi dalil atau pijakan yang dapat dipergunakan dalam menetapkan hukum syara’ dari sesuatu persoalan yang dihadapi. Tentu saja, penetapan hukum syara’ harus didukung oleh pertimbangan yang tepat dan cermat (shahih al-nazhar) dengan menggunakan dalil atau pijakan yang jelas.

Terhadap dalil hukum, memang di kalangan ulama ushul terdapat beberapa sebutan yang berbeda satu sama lainnya. Abdul Wahab Khallaf misalnya, mengemukakan bahwa dalil hukum itu, kadang-kadang disebut dengan adillat al-ahkam (dalil-dalil hukum), ushul al-ahkam (pokok-pokok hukum), mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum). Menurut Khallaf ke-semua sebutan ini mempunyai pengertian yang sama. Sementara itu, Imam Abu Ishaq al-Syathibi menyebutnya dengan adillat al-syari’ah (dalil-dalil syari’at), asas al-tasyri’ (dasar-dasar penetapan hukum syara’) dan ushul al-syari’ah (pokok-pokok hukum syara’).

Ada lagi sebutan lain, seperti dikemukakan oleh Hasan Abu Thalib, sebagaimana yang dikutip oleh Romli SA, yaitu mashadir al-syari’ah atau oleh Sya’ban Muhammad Isma’il menyebutnya dengan mashadir al-tasyri’, yang artinya sumber hukum syara’.

Secara bahasa, istilah-istilah yang disebutkan di atas, memang mempunyai pengertian yang berbeda. Jika disebut sumber hukum, maka jelas mengandung makna tempat pengambilan atau rujukan utama serta merupakan asal sesuatu. Istilah-istilah: mashadir al-ahkam, mashadir al-syari’ah atau mashadir al-tasyri’, sebenarnya termasuk pada pengertian yang disebut terakhir ini. Dan dalam pemikiran hukum Islam, yang dikatakan sumber hukum itu tidak lain adalah al-Qur'an dan al-Sunnah saja.

Sedangkan dalil, mengacu kepada pengertian sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk sebagai alasan dalam menetapkan hukum syara’. Demikian pula yang diistilahkan dengan adillat al-ahkam, ushul al-ahkam, asas al-tasyri’ dan adillat al-syari’ah. Dalam konteks ini al-Qur'an dan al-Sunnah di samping sebagai sumber, juga disebut sebagai dalil hukum, karena selain dari keduanya - al-Qur'an dan al-Sunnah – seperti al-Ijma’, al-Qiyas dan lain-lainnya disebut dalil hukum. Dengan demikian hukum mencakup al-Qur'an dan al-Sunnah serta dalil-dalil lain selain keduanya. Oleh karena itu, jika disebut sumber hukum, maka yang dimaksud adalah al-Qur'an dan al-Sunnah saja, sedangkan yang lainnya tidak dapat disebut sebagai sumber hukum.

Akan tetapi, dalam perkembangan pemikiran ushul fiqh – karena terlihat dalam pemikiran ushul fiqh kontemporer – istilah sumber hukum dan dalil hukum dalam kegiatan istinbath hukum keduanya tidak dibedakan. Sebab, baik istilah sumber hukum maupun dalil hukum merupakan istilah-istilah yang dipakai oleh para ulama ushul untuk menyatakan segala sesuatu yang dijadikan alasan atau dasar dalam istinbath hukum dan dalam prakteknya mencakup al-Qur'an, al-Sunnah dan dalil-dalil atau sumber-sumber selain keduanya.

Para pakar ushul fiqh kontemporer, seperti Abdul Wahab Khallaf, Abdul Karim Zaidan, Syaikh al-Khudhari dan Zakiyuddin Sya’ban, di mana mereka menyatakan bahwa apa yang disebut dengan dalil hukum adalah mencakup dalil-dalil lain yang dipergunakan dalam istinbath hukum selain al-Qur'an dan al-Sunnah.

Diakui, sebagian ada yang menyatakan, bahwa al-Qur'an dan al-Sunnah adalah merupakan sumber hukum dan sekaligus menjadi dalil hukum, sedangkan selain dari al-Qur'an dan al-Sunnah tidak dapat disebut sebagai sumber, kecuali hanya sebagai dalil, karena ia tidak dapat berdiri sendiri.

Sebetulnya, secara teknis, membuat perbedaan seperti disebutkan di atas tidak ada artinya, karena dalil-dalil selain al-Qur'an dan al-Sunnah itu, dalam prakteknya dipakai oleh para ulama ushul sebagai alasan dalam istinbath hukum terhadap sesuatu masalah ketika tidak ditemukan jawabannya dari al-Qur'an dan al-Sunnah.


B. Pembagian Sumber Dalil Dilihat Dari Segi Keberadaannya

Jika dilihat dari segi keberadaannya, maka dalil dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu:

1. Disebut dengan الأدلة الأحكام المنصوصة (dalil-dalil hukum yang keberadaannya secara tekstual terdapat dalam nash). Dalil-dalil hukum yang dikategorikan kepada bagian ini adalah al-Qur'an dan al-Sunnah. Syaikh Khudhari Beik menyebutnya dengan dalil naqli. Yang dimaksud oleh Khudhari Beik dengan istilah yang disebut terakhir ini ialah nash al-Qur'an dan al-Sunnah.

Nash al-Qur'an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW menjadi rujukan utama dalam istinbath hukum. Demikian juga halnya dengan al-Sunnah yang merupakan sabda Nabi SAW, di mana di samping berfungsi sebagai penjelasan nash al-Qur'an juga menetapkan hukum-hukum yang tidak dijelaskan oleh al-Qur'an. Keduanya, baik al-Qur'an maupun al-Sunnah masing-masing tidak berdiri sendiri, melainkan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

2. Disebut dengan الأدلة الأحكام غير المنصوصة atau الأدلة الأحكام فيما لا نص فيها yaitu dalil-dalil hukum yang secara tekstual tidak disebutkan oleh nash al-Qur'an dan al-Sunnah. Dalil-dalil ini dirumuskan melalui ijtihad dengan menggunakan penalaran ra’yu. Khudhari Beik menyatakan bahwa dalil-dalil hukum selain al-Qur'an dan al-Sunnah disebut dengan dalil-dalil yang didasarkan kepada ra’yu atau disebut pula dengan dalil-dalil ’aqli.

Adapun dalil-dalil yang dikelompokkan kepada kategori yang disebut terakhir ini adalah meliputi: al-Ijma’, al-Qiyas, al-Istihsan, al-Mashalih al-Mursalah, al-Istishhab, al-’Urf, Syar’u Man Qablana dan Qawl Shahabi. Terhadap dalil al-Ijma’ dan al-Qiyas termasuk dua dalil yang disepakati oleh para ulama. Tegasnya, al-Ijma’ dan Qiyas merupakan dalil-dalil yang hampir seluruh mazhab ushul mempergunakannya. Perbedaan terjadi pada intensitas penerapannya dalam istinbath hukum. Dengan kata lain, dalil-dalil yang disepakati ulama itu mencakup al-Qur'an, al-Sunnah, Ijma’ dan al-Qiyas, meskipun derajatnya tidak sama ketika digunakan dalam mengistinbathkan hukum.

Mengenai dalil-dalil aqli atau ra’yu selain al-Ijma’ dan al-Qiyas, keberadaannya menimbulkan perdebatan (ikhtilaf) di kalangan ulama mazhab ushul. Hal ini disebabkan karena sebagian mereka memandang dan menjadikannya sebagai dalil dalam istinbath hukum, sementara yang lain menolaknya.

Diakui bahwa perbedaan ini muncul karena para ulama ushul ketika tidak menemukan dalil atau alasan yang mendasari suatu ketetapan hukum dari nash, maka mereka menggunakan ra’yu mereka masing-masing dengan membuat rumusan masing-masing.

Penggunaan ra’yu sebagai alasan atau dasar dalam istinbath hukum, ketika tidak ditemukan jawabannya dari nash menjadi keharusan yang tak bisa dielakkan. Dalam hubungan ini, Zakariya al-Biri, sebagaimana yang dikutip oleh Romli SA, mengatakan bahwa nash al-Qur'an dan al-Sunnah terbatas serta telah final, sementara persoalan zaman dan kasus-kasus yang dihadapi manusia tidak pernah berhenti. Oleh karena itu, keterbatasan nash yang tidak memadai untuk menyelesaikan kasus-kasus yang baru yang terus bermunculan itu, maka kedudukan ra’yu mendapat tempat yang sangat menentukan dalam istinbath hukum.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa keberadaan ra’yu yang telah dirumuskan dengan sistematis dalam berbagai dimensinya itu – dalam praktek penggunaannya – pada akhirnya dipandang sebagai bagian dari dalil hukum yang meskipun otoritasnya lebih rendah dari nash.


C. Macam-Macam Sumber Dalil dan Sistematikanya

Sebagaimana yang telah disinggung pada pembahasan yang terdahulu bahwa di kalangan mazhab ushul dalam melakukan istinbath hukum mereka telah menyusun macam-macam sumber dalil secara sistematik. Dan di dalam kenyataannya, macam-macam sumber dalil tersebut ada yang disepakati dan tidak disepakati. Dengan kata lain, dalil-dalil yang menjadi sumber penetapan hukum, di kalangan ulama ushul tersebut di satu pihak terdapat persamaan dan di pihak lain terdapat perbedaan.

Perbedaan ini, kadang-kadang bukan saja dari segi intensitas dan otoritas penggunaan suatu dalil, bahkan perbedaan tersebut menyangkut keberadaan suatu dalil, di mana sebagian kalangan mazhab memandangnya sebagai dalil sementara yang lainnya tidak menjadikannya sebagai dalil.

Sebetulnya, di samping terdapat keragaman sumber dalil dan sistematika dalam istinbath hukum di kalangan mazhab ushul, juga terdapat kesamaan dan kesepakatan di kalangan mereka. Sebagai telah disinggung sebelum ini, maka berikut ini akan diuraikan macam-macam sumber dalil dan sistematikanya yang menjadi pijakan bagi berbagai mazhab dalam melakukan istinbath hukum.

1. Mazhab Hanafi

Sampai akhir hayatnya, Imam Abu Hanifah belum mengkodifikasikan metode penetapan hukum yang digunakannya, meskipun secara praktis dan aplikatif telah diterapkannya dalam menyelesaikan beberapa persoalan hukum.

Thaha Jabir Fayadl al-'Ulwani, sebagaimana yang dikutip oleh Jaih Mubarok, membagi cara ijtihad Imam Abu Hanifah menjadi dua cara: cara ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang merupakan tambahan. Cara ijtihadnya yang pokok dapat dipahami dari ucapan beliau sendiri, yaitu:

إِنِّى أَخَذْتُ بِكِتَابِ اللهِ إِذَا وَجَدْتُهُ، فَمَا لَمْ أَجِدْ فِيْهِ أَخَذْتُ بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ اْلآّثّارِ. فَإِذَا لَمْ أَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ وَ لاَ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَخَذْتُ بِقَوْلِ أَصْحَابِهِ مَنْ شِئْتُ وَأَدْعُ مَنْ شِئْتُ، لاَ أَخْرُجُ مِنْ قَوْلِهِمْ إِلَى قَوْلِ غَيْرِهِمْ، فَإِذَا انْتَهَى اْلأَمْرُ إِلَى إِبْرَاهِيْمَ الشَّعْبِى وَ الْحَسَنَ وَ ابْنِ سِيْرِيْنَ وَ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَلَى أَنْ أَجْتَهِدَ كَمَا اجْتَهَدُوْا ...

”Saya berpegang kepada Kitab Allah (al-Qur'an) apabila menemukannya, jika saya tidak menemukannya saya berpegang kepada Sunnah dan Atsar. Jika saya tidak temukan dalam dalam Kitab dan Sunnah, saya berpegang kepada pendapat para shahabat dan mengambil mana yang saya sukai dan meninggalkan yang lainnya, saya tidak keluar (pindah) dari pendapat mereka kepada yang lainnya. Maka jika persoalan sampai kepada Ibrahim al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin, Said ibn al-Musayyab, maka saya harus berijtihad sebagaimana mereka telah berijtihad ...

Sahal ibn Muzahim, sebagaimana yang dikutip oleh Hasbi ash-Shiddieqy, menerangkan bahwa dasar-dasar (sumber-sumber) hukum Abu Hanifah dalam menegakkan fiqih adalah:

"Abu Hanifah memegangi riwayat orang yang terpercaya dan menjauhkan diri dari keburukan serta memperhatikan muamalat manusia dan adat serta 'uruf mereka itu. Beliau memegang Qiyas. Kalau tidak baik dalam satu-satu masalah didasarkan kepada Qiyas, beliau memegangi istihsan selama yang demikian itu dapat dilakukan. Kalau tidak, beliau berpegang kepada adat dan 'uruf."

Ringkasnya, dari beberapa sumber ditemukan bahwa yang menjadi dasar istinbath (ushul al-istinbath) dan sistematika mazhab Hanafi adalah: (a) Al-Kitab, (b) Al-Sunnah, (c) Al-Atsar (d) Al-Ijma’, (e) Al-Qiyas, (f) Al-Istihsan dan (g)Al-’Urf.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Abu Hanifah dalam melakukan istinbath hukum berpegang kepada sumber dalil yang sistematika atau tertib urutannya seperti apa yang ia ucapkan itu tersebut.

Dari sistematika atau tertib urutan sumber dalil di atas nampak bahwa Abu Hanifah menempatkan al-Kitab atau al-Qur'an pada urutan pertama, kemudian al-Sunnah pada urutan kedua dan seterusnya secara berurutan Qaul Shahabi, al-Ijma’, al-Qiyas, al-Istihsan dan yang terakhir adalah al-’Urf.

Dalam hal terjadinya pertentangan Qiyas dengan Istihsan, sementara Qiyas tidak dapat dilakukan, maka Abu Hanifah meninggalkan Qiyas dan berpegang kepada Istihsan karena adanya pertimbangan maslahat. Dengan kata lain penggunaan Qiyas sepanjang dapat diterapkan jika memenuhi persyaratan. Jika Qiyas tidak mungkin dilakukan terhadap kasus-kasus yang dihadapi maka pilihan alternatifnya adalah menggunakan Istihsan dengan alasan maslahat.

Sedangkan cara ijtihad Imam Abu Hanifah yang bersifat tambahan adalah:

a. Bahwa dilalah lafaz umum ('am) adalah qath'iy, seperti lafaz khash;
b. Bahwa pendapat sahabat yang "tidak sejalan" dengan pendapat umum adalah bersifat khusus;
c. Bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (rajih);
d. Adanya penolakan terhadap mafhum (makna tersirat) syarat dan shifat;
e. Bahwa apabila perbuatan rawi menyalahi riwayatnya, yang dijadikan dalil adalah perbuatannya, bukan riwayatnya;
f. Mendahulukan Qiyas Jali atas khabar ahad yang dipertentangkan;
g. Menggunakan istihsan dan meninggalkan Qiyas apabila diperlukan.
Atas dasar seperti inilah Abu Hanifah melakukan istinbath hukum dan cara ini menjadi dasar pegangan atau ushul mazhab Hanafi dalam menetapkan dan membina hukum Islam.

2. Mazhab Maliki

Sebagaimana halnya mazhab Hanafi, kalangan mazhab Maliki juga menyusun dan menetapkan dasar-dasar pijakan dalam istinbath hukum dengan berpegang kepada sumber-sumber dalil yang telah mereka gariskan, yaitu sebagai berikut:

a. Al-Kitab (al-Qur'an)

Dalam memegang Al-Qur'an ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas zahir nash Al-Qur'an atau keumumannya, meliputi mafhum al-Mukhalafah dan mafhum al-Aula dengan memperhatikan 'illatnya.

b. Al-Sunnah

Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada Al-Qur'an. Apabila dalil syar'i menghendaki adanya penta'wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta'wil tersebut.

Apabila terdapat pertentangan antara makna zahir Al-Qur'an dengan makna yang terkandung dalam sunnah, maka yang dipegang adalah makna zahir Al-Qur'an. Tetapi apabila makna yang dikandung oleh sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma' ahl Al-Madinah, maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah dari pada zahir Al-Qur'an (sunnah yang dimaksud disini adalah sunnah mutawatir atau masyhurah).

c. Al-Ijma’ Ahl al-Madinah

Ijma' ahl al-Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma' ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil ijtihad ahl al-Madinah. Ijma' semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.

Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Huzaemah T. Yanggo, yang dimaksud dengan ijma' ahl al-Madinah tersebut ialah ijma' ahl al-Madinah pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi SAW. Sedangkan kesepakatan ahl al-Madinah yang hidup kemudian, sama sekali bukan merupakan hujjah. Ijma' ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql, sudah merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin sebagai hujjah.

Dikalangan mazhab Maliki, ijma' ahl al-Madinah lebih diutamakan dari pada khabar ahad, sebab ijma' ahl al-Madinah merupakan pemberitaan oleh jama'ah, sedang khabar ahad hanya merupakan pemberitaan perseorangan.

d. Fatwa Shahabat

Yang dimaksud dengan Sahabat disini adalah sahabat besar, yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-Naql. Ini berarti bahwa yang dimaksud dengan fatwa sahabat itu adalah berwujud hadits-hadits yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar itu tidak akan memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah SAW. Namun demikian, beliau mensyaratkan bahwa fatwa sahabat tersebut tidak boleh bertentangan dengan hadits marfu' yang dapat diamalkan dan fatwa sahabat yang demikian ini lebih didahulukan dari pada Qiyas.

e. Khabar Ahad dan Qiyas

Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah, jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil istinbath, kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang qath'iy.

Dalam menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik tidak selalu konsisten. Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas dari pada khabar ahad. Kalau khabar ahad itu tidak dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat Madinah, maka hal ini dianggap sebagai petunjuk, bahwa khabar ahad tersebut tidak benar berasal dari Rasulullah SAW. Dengan demikian, maka khabar ahad tersebut tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi ia menggunakan qiyas dan mashlahah.

f. Al-Istihsan

Menurut mazhab Maliki, al-Istihsan adalah: "Menurut hukum dengan mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlal al-Mursal dari pada qiyas, sebab menggunakan istihsan itu,tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat syara' secara keseluruhan".

Dari ta'rif tersebut, jelas bahwa istihsan lebih mementingkan maslahah juz'iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam ungkapan yang lain sering dikatakan bahwa istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari'at diturunkan.

Artinya jika terdapat satu masalah yang menurut qiyas semestinya diterapkan hukum tertentu, tetapi dengan hukum tertentu itu ternyata akan menghilangkan suatu mashlahah atau membawa madharat tertentu, maka ketentuan qiyas yang demikian itu harus dialihkan ke qiyas lain yang tidak akan membawa kepada akibat negatif.

Tegasnya, istihsan selalu melihat dampak suatu ketentuan hukum. Jangan sampai suatu ketentuan hukum membawa dampak merugikan. Dampak suatu ketentuan hukum harus mendatangkan mashlahat atau menghindarkan madharat.

g. Al-Mashalih al-Mursalah

Maslahah Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash. Dengan demikian, maka maslahah mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan syari'at diturunkan. Tujuan syari'at diturunkan dapat diketahui melalui Al-Qur'an, sunnah atau ijma'.

Para ulama yang berpegang kepada maslahah mursalah sebagai dasar hukum, menetapkan beberapa syarat untuk dipenuhi sebagai berikut:

1. Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah menurut penelitian yang seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja.
2. Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum, bukan sekedar maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu.
3. Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum dan tidak bertentangan dengan ketentuan nash atau ijma'.

h. Sadd Al-Zara'i

Imam Malik menggunakan sadd al-Zara'i sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.

i. Istishhab

Imam Malik menjadikan istishhab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Istishhab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah dinyatakan adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut, hukumnya tetap seperti hukum pertama, yaitu tetap ada. Begitu pula sebaliknya.

j. Syar'u Man Qablana

Menurut Qadhy Abd. Wahab al-Maliky, bahwa Imam Malik menggunakan kaedah syar'u man qablana syar'un lana, sebagai dasar hukum. Tetapi menurut Sayyid Muhammad Musa, tidak kita temukan secara jelas pernyataan Imam Malik yang menyatakan demikian. Dalam prakteknya, dalil-dalil yang disebutkan ini menjadi dasar pijakan mazhab (ushul al-mazhab) Maliki dalam melakukan istinbath hukum.

Di samping itu perbedaannya dengan kalangan Hanafiyah tampak bukan saja dari jumlah sumber dalil, tetapi juga segi penerapan dalil terutama yang berkaitan dengan dalil-dalil ijtihadiyah. Misalnya tentang dalil amal ahli Madinah. Bagi kalangan Malikiyah dalil amal ahli Madinah merupakan salah satu dalil yang mereka pegangi. Bahkan kalangan Malikiyah lebih mendahulukan penggunaan amal ahli Madinah daripada penggunaan Qiyas. Begitu pula, mereka meninggalkan hadits ahad bila tidak sejalan atau tidak menguatkan amal ahli Madinah.

Di samping itu kalangan Malikiyah berpendapat bahwa amal ahli Madinah merupakan sumber dalil yang berdiri sendiri dan lebih diutamakan dari dalil-dalil akal lainnya.

3. Mazhab Syafi’i

Adapun pegangan Imam Syafi'i dalam menetapkan hukum adalah Al-Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan Imam Syafi'i dalam kitabnya, al-Risalah, sebagai berikut:

لَيْسَ لأََِحَدٍ أَنْ يَقُوْلَ أَبَدًا فِى شَيْءٍ حِلٌّ أَوْ حَرَمٌ إِلاَّ مِنْ جِهَةِ الْعِلْمِ وَجِهَةِ الْخَبْرِ فِى الْكِتَابِ وَ السُّنَّةِ وَ اْلإِجْمَاعِ وَ الْقِيَاسِ

"Tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum selamanya, ini halal, ini haram kecuali kalau ada pengetahuan tentang itu. Pengetahuan itu adalah kitab suci Al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan Qiyas."

Pokok pikiran Imam Syafi'i dapat dipahami dari perkataannya yang tercantum dalam kitabnya, al-Umm, sebagaimana dikutip oleh Jaih Mubarok sebagai berikut:

اْلأَصْلُ قُرْآنٌ وَ سُنَّةٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَقِيَاسٌ عَلَيْهِمَا. وَإِذَا اتَّصَلَ الْحَدِيْثُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ وَ صَحَّ اْلإِسْنَادُ فَهُوَ الْمُنْتَهَى. وَاْلإِجْمَاعُ أَكْبَرُ مِنَ الْخَبْرِ الْمُفْرَدِ وَالْحَدِيْثُ عَلَى ظَاهِرِهِ وَإِذَا احْتَمَلَ الْمَعَانِى فَمَا أَشْبَهَ مِنْهَا ظَاهِرُهُ أَوْلاَهَا بِهِ وَ إِذَا تَكَافَأَتِ اْلأَحَادِيْثُ فَأَصَحُّهَا إِسْنَادًا أَوْلاَهَا، وَ لَيْسَ الْمُنْقَطِعُ بِشَيْءٍ مَا عَدَا مُنْقَطِعِ ابْنِ الْمُسَيَّبِ وَلاَ قِيَاسَ أَصْلٍ عَلَى أَصْلٍ وَلاَ يُقَالُ ِلأَصْلٍ لِمَا وَ كَيْفَ؟ وَإِنَّمَا يُقَالُ لِلْفَرْعِ لِمَا؟ فَإِذَا صَحَّ قِيَاسُهُ عَلَى اْلأَصْلِ صَحَّ وَ قَامَتْ بِهِ حُجَّةٌ.

"Dasar utama dalam menetapkan hukum adalah Al-Qur'an dan sunnah. Jika tidak ada, maka dengan mengqiyaskan kepada Al-Qur'an dan sunnah. Apabila sanad hadits bersambung sampai kepada Rasulullah SAW dan shahih sanadnya,maka itulah yang dikehendaki. Ijma' sebagai dalil adalah lebih kuat khabar ahad dan hadits menurut zhahirnya. Apabila suatu hadits mengandung arti lebih dari satu pengertian, maka arti yang zhahir-lah yang utama. Kalau hadits itu sama tingkatannya, maka yang lebih shahih-lah yang lebih utama. Hadits Munqathi' tidak dapat dijadikan dalil kecuali jika diriwayatkan oleh Ibnu al-Musayyab. Suatu pokok tidak dapat diqiyaskan kepada pokok yang lain dan terhadap pokok tidak dapat dikatakan mengapa dan bagaimana, tetapi kepada cabang dapat dikatakan mengapa. Apabila sah mengqiyaskan cabang kepada pokok, maka qiyas itu sah dan dapat dijadikan hujjah."

Dari perkataan beliau tersebut, dapat diambil kesimpulan, bahwa pokok-pokok pikiran beliau dalam mengistinbathkan hukum adalah:

a. Al-Qur'an dan Al-Sunnah

Imam Syafi'i memandang Al-Qur'an dan Sunnah berada dalam satu martabat. Beliau menempatkan Al-Sunnah sejajar dengan Al-Qur'an, karena menurut beliau, Sunnah itu menjelaskan Al-Qur'an, kecuali hadits ahad tidak sama nilainya dengan Al-Qur'an dan hadits mutawatir. Di samping itu, karena Al-Qur'an dan Sunnah keduanya adalah wahyu, meskipun kekuatan Sunnah secara terpisah tidak sekuat seperti Al-Qur'an.

Imam Syafi'i dalam menerima hadits ahad mensyaratkan sebagai berikut:

1. Perawinya terpercaya.
2. Perawinya berakal, memahami apa yang diriwayatkannya.
3. Perawinya dhabith (kuat ingatannya).
4. Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadits itu dari orang yang menyampaikan kepadanya.
5. Perawi itu tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadits itu.

b. Ijma'

Imam Syafi'i mengatakan bahwa ijma' adalah hujjah dan ia menempatkan ijma' ini sesudah Al-Qur'an dan Al-Sunnah sebelum qiyas. Imam Syafi'i menerima ijma' sebagai hujjah dalam masalah-masalah yang tidak diterangkan dalam Al-Qur'an dan sunnah.
Ijma' menurut pendapat Imam Syafi'i adalah ijma' ulama pada suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan ijma' suatu negeri saja dan bukan pula ijma' kaum tertentu saja. Namun Imam Syafi'i mengakui bahwa ijma' sahabat merupakan ijma' yang paling kuat.

Imam Syafi'i hanya mengambil ijma' sharih sebagai dalil hukum dan menolak ijma' sukuti menjadi dalil hukum. Alasannya menerima ijma' sharih, karena kesepakatan itu disandarkan kepada nash dan berasal dari semua mujtahid secara jelas dan tegas sehingga tidak mengandung keraguan. Sementara alasannya menolak ijma' sukuti karena tidak merupakan kesepakatan semua mujtahid. Diamnya sebagian mujtahid menurutnya belum tentu menunjukkan setuju.

c. Qiyas

Imam Syafi'i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil keempat setelah Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma' dalam menetapkan hukum.

Imam Syafi'i adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan asas-asasnya. Sedangkan mujtahid sebelumnya sekalipun telah menggunakan qiyas dalam berijtihad, namun belum membuat rumusan patokan kaidah.
Dari beberapa sumber lainnya, Imam Syafi’i juga menggunakan al-Istishab dan maslahah mursalah sebagai sumber dalil.

4. Mazhab Hanbali

Adapun sumber hukum dan metode istinbath Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan hukum adalah:

a. Nash dari Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih.
Apabila beliau telah mendapati suatu nash dari Al-Qur'an dan dari Sunnah Rasul yang shahihah, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan nash itu.

b. Fatwa para sahabat Nabi SAW
Apabila ia tidak mendapatkan suatu nash yang jelas, baik dari Al-Qur'an maupun dari hadits shahih, maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di kalangan mereka.

c. Apabila terdapat perbedaan di antara fatwa para sahabat, maka Imam Ahmad ibn Hanbal memilih pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur'an dan Sunnah.

d. Hadits Mursal dan Hadits Dha'if
Apabila ia tidak menemukan dari tiga poin di atas, maka beliau menetapkan hukum dengan hadits mursal dan hadits dha'if. Dalam pandangan Imam Ahmad ibn Hanbal, hadits hanya dua kelompok yaitu, hadits shahih dan hadits dha'if.

e. Qiyas
Apabila Imam Ahmad ibn Hanbal tidak mendapatkan nash dari hadits mursal dan hadits dha'if, maka ia menganalogikan / menggunakan qiyas. Qiyas adalah dalil yang digunakan dalam keadaan dharurat (terpaksa).

f. Langkah terakhir adalah menggunakan sadd al-dzara'i, yaitu melakukan tindakan preventif terhadap hal-hal yang negatif.


5. Mazhab Zhahiri

Mazhab ini dinisbatkan kepada Imam Daud bin Ali, salah seorang tokoh yang hanya berpegang kepada zahir nash, sehingga ia digelari dengan Al-Zahiri dan pengikut beliau yang banyak mengembangkan pemikirannya adalah Ibn Hazm.

Adapun sistematika sumber dalil yang menjadi pegangan mazhab ini dalam melakukan istinbath hukum adalah:

a. Al-Kitab
b. Al-Sunnah
c. Ijma’ Shahabat

Mazhab ini hanya berpijak pada zahir nash (apa yang tampak) dari penuturan nash baik perintah maupun larangan. Mazhab ini tidak membahas masalah ’illat hukum dan tidak mengakui Qiyas sebagai dalil atau sumber hukum.

Tentang Ijma’, mereka berpendapat bahwa Ijma’ yang dapat dijadikan adalah Ijma’ Shahabat. Mereka tidak menerima pendapat adanya Ijma’ sebagai hujjah seperti dipegangi oleh fuqaha lainnya. Dengan kata lain kalangan Zhahiriyah tidak mengakui adanya ”ijma’, kecuali Ijma’ Shahabat saja.

6. Mazhab Syi’ah

Mazhab ini dalam melakukan istibath hukum berpegang kepada empat sumber dengan urutannya sebagai berikut:

a. Al-Kitab
b. Al-Sunnah
c. Al-Ijma’
d. Al-’Aqal

Mazhab ini, dalam melakukan ijtihad bila tidak ada nash dan Ijma’ mereka menggunakan akal dan menolak Qiyas. Sungguhpun demikian, di antara kalangan Syi’ah ini ada yang hanya berpegang terhadap pendapat imam dan tidak menggunakan akal. Demikian juga mereka tidak menerima dan memandang al-Ijma’ sebagai dalil hukum sebagaimana umumnya dipegangi oleh kalangan ulama Ahlu Sunnah. Ijma’ yang mereka terima adalah Ijma’ para imam mereka yang dipandang ma’shum.

Dari apa yang telah diuraikan di atas, ternyata di kalangan ulama mazhab terdapat perbedaan-perbedaan satu sama lainnya dalam hal menetapkan sumber dalil dan sistematikanya sebagai pijakan atau dasar ketika melakukan istinbath hukum.

Perbedaan yang paling mendasar ialah berkaitan dengan sumber-sumber yang bukan nash.
Adapun sumber dalil yang manshus (nash) hampir tidak ada perbedaannya, karena seluruh ulama mazhab berpijak kepada kedua sumber itu yang dalam prakteknya al-Sunnah ditempatkan pada urutan kedua setelah al-Kitab (al-Qur'an).

Begitu juga tentang Ijma’, seluruh ulama mazhab menjadikannya sebagai sumber dalam menetapkan hukum. Perbedaannya terlihat – seperti tergambar pada uraian di atas – bahwa jika kalangan Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah menyebutkan ijma’ para mujtahid dari setiap masa, sedangkan kalangan Zhahiriyah membatasi ijma’ shahabat saja dan kalangan Syi’ah ijma’ yang mereka maksudkan adalah dari kalangan imam-imam mereka yang dipandang ma’shum. Bahkan secara eksplisit Syi’ah menyebutkan bahwa ijma’ yang mereka terima ialah yang berasal dari imam-imam mereka saja.

Tentang Qiyas, kalangan mazhab empat – Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali – memandangnya sebagai salah satu sumber dalil dalam menetapkan hukum. Akan tetapi, kalangan Ahlu Zhahir dan Syi’ah tidak memandang Qiyas sebagai salah satu dalil hukum.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalil-dalil al-Kitab, al-Sunnah, al-Ijma’ dan Qiyas hampir seluruh kalangan mazhab menjadikannya sebagai sumber dalil dalam menetapkan hukum. Dan keempat sumber dalil yang disebut terakhir ini merupakan sumber yang disepakati oleh Jumhur Ushuliyyun. Bahkan dikatakan ia wajib diikuti oleh umat Islam, meskipun masing-masing keempat dalil tersebut tidak mempunyai otoritas (kekuatan) yang sama dalam posisinya. Artinya, sistematika pengurutannya menunjukkan peringkatnya masing-masing di mana al-Kitab ditempatkan pada peringkat pertama, al-Sunnah pada peringkat kedua dan pada peringkat ketiga al-Ijma’ serta Qiyas pada peringkat terakhir.

Sistematika pengurutan sumber dalil berdasar peringkat ini, bukan tidak mempunyai dasar filosofis. Dasar filosofis pengurutan dalil berdasar peringkatnya ini adalah:

Pertama; menunjukkan proses atau langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pencarian alasan sebagai pijakan dalam istinbath hukum.

Kedua; menunjukkan otoritas (kekuatan) dalil (alasan) sebagai hujjah dalam istinbath hukum.

Di samping itu, pengurutan seperti ini agaknya, dilatarbelakangi oleh hadits Nabi yang sering dirujuk oleh ulama sebagai dasar ijtihad, yaitu dialog antara Nabi dengan Mu’az ibn Jabal yang diutus ke negeri Yaman untuk mengajarkan agama Islam di sana.

Dari isi dialog antara Nabi dengan Mu’az ibn Jabal tersebut dapat dipahami bahwa langkah-langkah penyelesaian persoalan-persoalan hukum, secara tertib harus berpijak kepada dalil nash al-Kitab, al-Sunnah, dan bila tidak ditemukan di dalam nash jawabannya, maka harus menempuh upaya lain dengan menggunakan penalaran ra’yu.

Penggunaan penalaran ra’yu ini, merupakan upaya yang ditempuh setelah tidak menemukan jawaban atau alasan di dalam nash dari berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan umat. Tradisi menggunakan ra’yu ini pada akhirnya dalam pemikiran ushul fiqh menjelma menjadi dalil hukum setelah dirumuskan secara sistematis yang dalam kenyataannya muncul dalam berbagai bentuk: seperti al-Ijma’, al-Qiyas, al-Istihsan dan seterusnya. Dan di kalangan ulama ushul sering diistilahkan dengan al-adillah al-ijtihadiyah.

Atas dasar ini, maka para ulama ushul di berbagai mazhab menyusun sistematika istinbath, secara berurutan dengan menempatkan dalil-dalil ra’yu setelah al-Qur'an dan al-Sunnah di mana otoritasnya lebih rendah dari kedua dalil nash yang telah disebutkan ini. Di kalangan ulama mazhab mempunyai kaidah istinbath dengan berpijak pada sistematika yang telah mereka susun masing-masing.

Sistematika istinbath yang disusun oleh masing-masing mazhab tersebut, merupakan manhaj (metode) dalam melakukan istinbath terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian yang telah dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Sistematika sumber hukum Islam dan sistem istinbath Imam Abu Hanifah adalah Kitabullah (Al-Qur'an), Sunnah Rasulullah SAW (hadits) dan atsar-atsar yang shahih yang telah masyhur diantara para ulama, Fatwa-fatwa para sahabat, Qiyas, Istihsan, dan Adat serta 'uruf masyarakat.

2. Sistematika sumber hukum Islam dan sistem istinbath Imam Malik adalah berpegang pada Al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Ahl al-Madinah, Fatwa Sahabat, Khabar Ahad dan Qiyas, Al-Istihsan, Al-Mashlahah Al-Mursalah, Sadd Al-Zara'i, Istishhab, dan Syar'u Man Qablana.

3. Sistematika sumber hukum Islam dan sistem istinbath Imam Syafi'i adalah Al-Qur'an, Al-Sunnah, Ijma', dan Qiyas.

4. Sistematika sumber hukum Islam dan sistem istinbath Imam Ahmad ibn Hanbal adalah Nash dari Al-Qur'an, Sunnah yang shahih, Fatwa para sahabat Nabi SAW, Fatwa sahabat yang lebih dekat kepada Al-Qur'an dan Sunnah, Hadits Mursal dan Hadits Dha'if, Qiyas, dan langkah terakhir adalah menggunakan sadd al-dzara'i, yaitu melakukan tindakan preventif terhadap hal-hal yang negatif.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Subki, Ibn. tt. Matn Jam’i al-Jawami’. ttp: Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-’Arabiyah

Al-Syathibi, Abu Ishak. tt. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, jil. I. Mesir: Dar al-Fikr al-’Arabi

Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Prof. Dr. 1980. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang

Djamil, Fathurrahman DR. H. MA. 1997. Filsafat Hukum Islam (Bagian Pertama), Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Haswir, MAg. dan Muhammad Nurwahid, MAg. 2006. Perbandingan Mazhab, Realitas Pergulatan Pemikiran Ulama Fiqih. Pekanbaru: Alaf Riau

Khallaf, Abdul Wahab. 1984. ’Ilmu Ushul al-Fiqh, cet. VIII. Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah

M. Zein, Satria Effendi, Prof. Dr. H. MA. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana

Mubarok, Jaih, Dr. 2000. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Mubarok, Jaih, Dr. 2002. Modifikasi Hukum Islam: Studi Tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Romli SA, Drs. M.Ag. 1999. Muqaranah Mazahib Fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama

Syafi’i, Rachmat, Prof. DR. MA. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia

Yanggo, Huzaemah Tahido, Dr. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos

Ayat Tentang Kewajiban Menegakkan Hukum Sesuai dengan Ketentuan Allah

A. Surat al-Nisa’ [4]: 59-65

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آَمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا (60)

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا (61)

فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا (62)

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا (63)

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا (64)

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (65)

1. Terjemah Ayat

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. al-Nisa [4]: 59)

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. al-Nisa [4]: 60)

“Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (QS. al-Nisa [4]: 61)

“Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna".” (QS. al-Nisa [4]: 62)

“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (QS. al-Nisa [4]: 63)

“Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Nisa [4]: 64)

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. al-Nisa [4]: 65)

2. Tafsir Mufradat

a. أُولِى اْلأَمْرِ: Dari segi bahasa kata أُولِى adalah bentuk jamak dari kata وَلِي yang berarti pemilik atau yang mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa mereka itu banyak, sedang kata اْلأَمْرِ adalah perintah atau urusan.

Dengan demikian, أُولِى اْلأَمْرِ adalah orang-orang yang berwenang mengurus urusan kaum muslimin. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan. Ada yang berpendapat bahwa mereka adalah para penguasa/pemerintah. Ada juga yang menyatakan bahwa mereka adalah ulama, dan pendapat ketiga menyatakan bahwa mereka adalah yang mewakili masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesinya.

b. أَلَمْ تَرَ : Susunan redaksi ayat ini menunjukkan kalimat pertanyaan dengan menggunakan alif istifham. Pertanyaan: “Apakah kamu tidak melihat?”, mengandung makna keheranan sekaligus rasa kasihan oleh mereka yang melihat sikap dan perilaku mereka yang dibicarakan di sini. Heran dan kasihan mereka berpaling dari tuntunan Ilahi, serta berhakim kepada Thaghut, padahal mereka mengaku beriman kepada apa yang diturunkan Allah SWT.

c. يَزْعُمُوْنَ: Fi’il mudhari’ jamak mudzakkar ghaib berasal dari kata زَعَمَ - يَزْعُمُ yang berarti mengira, menyangka, mengaku. Fa’ilnya adalah dhamir هُمْ yang ditakdirkan, marja’ dhamirnya kepada kata الَّذِيْنَ (orang-orang).

d. الطَاغُوْتِ: Kata ini terambil dari akar kata yang berarti melampaui batas, kata ini digunakan untuk menunjuk kepada segala macam kebatilan, baik dalam bentuk berhala, ide-ide sesat, manusia durhaka, atau siapapun yang mengajak kepada kesesatan. Ada lagi yang memahami kata Thaghut dalam arti hukum-hukum yang berlaku pada masa Jahiliah, yang telah dibatalkan dengan kehadiran Islam.

e. تَعَالَوْا: Kata ini terambil dari akar kata yang berarti tinggi. Bahasa menggambarkan bahwa yang memanggil berada di tempat yang tinggi, karena tempat yang tinggi secara umum dinilai lebih aman dari tempat yang rendah, karena itu panggilan ini selalu mengisyaratkan ajakan menuju kepada suatu yang bersifat positif dan bermanfaat bagi yang dipanggil. Al-Qur'an sering kali menggunakan kata ini untuk mengajak umat manusia sekaligus mengisyaratkan bahwa mengikuti tuntunan Ilahi mengantar manusia menuju ketinggian derajat, baik di dunia maupun di akhirat.

f. يَصُدُّوْنَ عَنْكَ: Fi’il mudhari’ yang berasal dari kata صَدَّ - يَصُدُّ artinya mencegah, melarang. Jika kata ini dihubungkan dengan harf jarr عَنْ, maka artinya berpaling, menjauhkan diri dari sesuatu.

g. فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ: Kata ini terambil dari akar kata yang berarti samping. Ini berarti, perintah itu adalah perintah untuk menampakkan sisi samping manusia, bukan menampakkan muka atau wajahnya. Biasanya sikap demikian, mengandung makna meninggalkan yang bersangkutan, dan makna ini kemudian berkembang sehingga ia bermakna tidak bergaul dan berbicara dengan yang ditinggalkannya itu. Ia juga dipahami dalam arti “tinggalkan dan biarkan, jangan jatuhkan sanksi atasnya, atau maafkan dia.”

h. بَلِيْغًا : Asal kata ini terdiri dari huruf-huruf ba’, lam dan ghain. Pakar-pakar bahasa menyatakan bahwa semua kata yang terdiri dari huruf-huruf tersebut mengandung arti sampainya sesuatu ke sesuatu yang lain. Ia juga bermakna “cukup”, karena kecukupan mengandung arti sampainya sesuatu kepada batas yang dibutuhkan.

i. فَلاَ وَرَبِّكَ : Ulama berbeda pendapat tentang makna dan kedudukan kata laa pada ayat ini. Ada yang memahami kata laa sebagai kata tambahan yang berfungsi menguatkan sumpah, bukan berfungsi atau bermakna menafikan sesuatu, sehingga ia tidak dipahami dalam arti tidak, dan dengan demikian penggalan ayat tersebut berarti demi Tuhanmu.

Ada juga yang memahaminya dalam arti tidak. Hanya saja menurut penganut paham ini, penafian itu tertuju kepada pandangan kaum munafikin yang dikandung oleh ayat yang lalu, yaitu sikap mereka yang menjadikan thaghut sebagai hakim, serta keengganan mereka mengikuti putusan Nabi SAW. Seakan-akan ayat ini menyatakan “Tidak seperti apa yang mereka katakan bahwa, mereka percaya kepada apa yang diturunkan kepadamu wahai Muhammad, padahal mereka bertahkim (kembali dalam memutuskan hukum) kepada thaghut. Demi Tuhanmu, mereka tidak beriman…”

3. Sabab an-Nuzul Ayat

Surat al-Nisa’ ayat 60-64 menurut riwayat turun tentang seorang laki-laki munafik yang berselisih dengan seorang laki-laki Yahudi, enggan merujuk kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyelesaikan perselisihannya, walau lawannya yang Yahudi itu telah menerima. Sang munafik justru mengusulkan agar yang menjadi hakim adalah Ka’ab ibn al-Asyraf.

Surat al-Nisa’ ayat 65 sebab turunnya terdapat dalam beberapa riwayat, salah satu di antaranya ialah hadis riwayat Abdullah bin Zubair ra.:

Bahwa seorang lelaki Anshar bertengkar dengan Zubair di hadapan Rasulullah SAW mengenai saluran air daerah Harrah yang digunakan untuk mengairi pohon kurma. Lelaki Anshar tersebut berkata: Biarkan air itu mengalir! Ternyata Zubair menolak permintaan mereka. Lalu mereka mengadukan hal itu kepada Rasulullah saw. Berkatalah beliau kepada Zubair: Alirkanlah wahai Zubair dan alirkan juga air itu kepada tetanggamu! Lelaki tersebut marah seraya berkata: Wahai Rasulullah! Apakah karena Zubair itu anak bibimu? Dia berkeberatan dan menduga Nabi SAW pilih kasih, padahal putusan tersebut lebih berdasarkan win-win solution atau keputusan yang menyenangkan kedua belah pihak. Mendengar komentar lelaki tersebut, berubahlah warna muka Nabi SAW lalu berkata: Wahai Zubair, alirkanlah air itu kemudian tahan agar kembali lagi ke kebun! Lalu Zubair berkata: Demi Allah, aku yakin bahwa ayat ini turun menyinggung percekcokan tadi.

4. Munasabah Dengan Ayat Sebelumnya

Ayat ini dan ayat-ayat sesudahnya masih berhubungan erat dengan ayat-ayat yang lalu, mulai dari ayat yang memerintahkan untuk beribadah kepada Allah, tidak mempersekutukan-Nya serta berbakti kepada orang tua, menganjurkan berinfak dan lain-lain. Perintah-perintah itu, mendorong manusia untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, anggotanya tolong menolong dan bantu membantu, taat kepada Allah dan Rasul, serta tunduk kepada ulil amri, menyelesaikan perselisihan berdasarkan nilai-nilai yang diajarkan al-Qur'an dan Sunnah, dan lain-lain yang terlihat dengan jelas pada ayat ini dan ayat-ayat sesudahnya, sampai pada perintah berjuang di jalan Allah. Demikian hubungan ayat-ayat ini secara umum.

Secara khusus dapat dikatakan bahwa setelah ayat 58 yang lalu memerintahkan untuk menetapkan hukum dengan adil, maka ayat 59 diatas memerintahkan kaum mukminin agar menaati putusan hukum dari siapapun yang berwenang menetapkan hukum.

Selanjutnya pada ayat 60 mengajak Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin untuk memperhatikan dengan sungguh-sungguh sampai batas akhir perhatian, keadaan orang-orang munafik.

Kemudian ayat 61 dan 62 merupakan gambaran tentang sifat buruk yang lain dari orang-orang munafik, yaitu berpaling dari hukum yang ditetapkan Rasul dan sifat mereka ketika mereka ditimpa musibah.

Pada ayat 63 membantah dalih dan keterangan mereka yang diuraikan oleh ayat yang sebelumnya, sambil memberi petunjuk bagaimana menghadapinya.

Setelah pada ayat 64 dijelaskan bahwa Rasul tidak diutus kecuali untuk ditaati, dan bahwa pengabulan taubat mereka yang mencari hakim selain Allah dan Rasul-Nya bersyarat dengan pemaafan Nabi dan permohonan beliau kepada Allah agar mereka diampuni, maka pada ayat 65 dengan bersumpah menggunakan nama Tuhan yang memelihara secara khusus Nabi Muhammad SAW, ayat ini menegaskan satu hakikat menyangkut makna ketaatan kepada Rasul, yaitu bahwa jika demikian, fungsi Rasul yang tidak diutus kecuali untuk ditaati.

5. Penjelasan Pokok Kandungan Ayat

Kalau diamati ayat-ayat al-Qur'an yang memerintahkan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, ditemukan dua redaksi yang berbeda. Sekali perintah taat kepada Allah dirangkaikan dengan taat kepada Rasul, tanpa mengulangi kata “taatilah” seperti pada QS. Al ‘Imran [3]: 35, dan di kali lain – seperti pada ayat surat al-Nisa’[4]: 59 – kata “taatilah” diulangi, masing-masing sekali ketika memerintahkan taat kepada Allah dan sekali lagi ketika memerintahkan taat kepada Rasul.

Para pakar al-Qur'an menerangkan bahwa apabila perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya digabung dengan hanya menyebut hanya sekali perintah taat, maka hal itu mengisyaratkan bahwa ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan yang diperintahkan Allah SWT, baik yang diperintahkan-Nya secara langsung dalam al-Qur'an, maupun perintah-Nya yang dijelaskan oleh Rasul melalui hadits-hadits beliau. Perintah taat kepada Rasul SAW di sini menyangkut hal-hal yang bersumber dari Allah SWT, bukan yang beliau perintahkan secara langsung.

Adapun bila perintah taat diulangi seperti pada QS. Al-Nisa’ [4]: 59 di atas, maka di situ Rasul SAW memiliki wewenang serta hak untuk ditaati walaupun tidak ada dasarnya dari al-Qur'an. Itu sebabnya perintah taat kepada ulil amri tidak disertai dengan kata “taatilah” karena mereka tidak memiliki hak untuk ditaati bila ketaatan kepada mereka bertentangan dengan ketaatan kepada Allah SWT atau Rasul SAW.

Perintah taat kepada Rasul SAW adalah perintah tanpa syarat, dan ini menunjukkan bahwa tidak ada perintah Rasul yang salah atau keliru, tidak ada juga yang bertentangan dengan perintah Allah SWT, karena jika ada, maka tentu kewajiban taat kepada beliau tidak sejalan dengan perintah taat kepada Allah, dan tentu juga ada di antara perintah beliau yang keliru.

Perlu dicatat bahwa kata kata al-amr berbentuk makrifat atau definite. Ini menjadikan banyak ulama membatasi wewenang pemilik kekuasaan itu hanya pada persoalan-persoalan kemasyarakatan, bukan persoalan akidah atau keagamaan murni.

Di sisi lain, bentuk jamak pada kata uli dipahami oleh sementara ulama dalam arti mereka adalah kelompok tertentu, yakni satu badan atau lembaga yang berwenang menetapkan dan membatalkan sesuatu – katakanlah – misalnya dalam hal pengangkatan kepala negara, pembentukan undang-undang dan hukum, atau yang dinamai (أَهْلُ اْلحِلِّ وَاْلعَقْدِ). Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh pengarang tafsir al-Manar, yakni Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, juga oleh al-Maraghi.

Sementara ulama berpendapat bahwa ayat 59 ini mengandung informasi tentang dalil-dalil hukum syari’at , yaitu: 1) al-Qur'an, dan 2) sunnah yang ditunjuk oleh perintah taat kepada Allah dan taat kepada Rasul; 3) Ijma’ atau kesepakatan, yang diisyaratkan oleh kata uli al-amri minkum; dan 4) Analogi atau qiyas yang dipahami dari perintah mengembalikan kepada nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Sunnah, dan ini tentunya dilakukan dengan berijtihad.

Ayat ini juga mengisyaratkan berbagai lembaga yang hendaknya diwujudkan umat Islam untuk menangani urusan mereka, yaitu lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif.

Sementara ulama lain memahami bahwa pesan utama ayat ini adalah menekankan perlunya mengembalikan segala sesuatu kepada Allah dan rasul-Nya, khususnya jika muncul perbedaan pendapat. Ini telihat dengan jelas pada pernyataan, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah), dan ayat-ayat sesudahnya yang mengecam mereka yang ingin mencari sumber hukum selain Rasul SAW, lalu penegasan bahwa Rasul tidak diutus kecuali untuk ditaati.

Pada ayat 60 surat al-Nisa’ konteks yang ingin ditekankan adalah kewajiban mengembalikan segala perselisihan kepada apa yang diturunkan Allah SWT, bukan kepada orang tertentu siapapun dia.

Perintah yang terdapat dalam ayat 63 dapat dipahami dalam arti meninggalkan mereka dengan memaafkannya, atau meninggalkan mereka tanpa merasa sedih dengan kelakuan mereka, atau jangan hiraukan keengganan dan kedurhakaan mereka, karena Allah yang akan membalas mereka.

Pada ayat 65 surat al-Nisa’, perlu dicatat, bahwa ketika Allah SWT menetapkan bahwa hukum yang ditetapkan Rasul harus diterima sepenuh hati dan tanpa sedikitpun rasa keberatan, maka dalam ketetapan Allah itu tersirat kewajiban Rasul (dan lebih-lebih para hakim sesudah beliau) untuk memperhatikan rasa keadilan, sehingga ketetapan mereka dapat diterima baik. Di sisi lain, disadari bahwa hukum adalah inti peradaban suatu bangsa yang mencerminkan jiwa bangsa tersebut. Karena itu pula, maka pemahaman tentang budaya bangsa amat diperlukan dalam memahami dan menetapkan hukum-hukum, karena hanya dengan demikian keadilan hukum dapat dirasakan masyarakat.


B. Surat al-Maidah [5]: 48-49

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (48)

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ (49)

1. Terjemah Ayat

“Dan kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (QS. al-Maidah [5]: 48)

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS. al-Maidah [5]: 49)

2. Tafsir Mufradat

a. الْكِتَابَ : Maksudnya adalah al-Qur'an, karena al-Kitab merupakan salah satu nama lain yang disebutkan Allah untuk penyebutan al-Qur'an.

b. بِالْحَقِّ: Yakni haq (benar) dalam kandungannya, cara turunnya maupun Yang menurunkannya, yang mengantarnya turun dan yang diturunkan kepadanya.

c. مُصَدِّقًا: Berasal dari kata صَدَّقَ kemudian ditashrifkan ke dalam bentuk isim fa’il dalam kondisi hal yang berarti yang membenarkan, maksudnya al-Kitab itu berfungsi membenarkan kandungan kitab-kitab yang diturunkan kepada Rasul-Rasul sebelumnya.

d. مُهَيْمِنًا : Menerjemahkan kata ini dengan batu ujian atau tolok ukur sebenarnya belum sepenuhnya tepat. Kata ini terambil dari dari kata هَيْمَنَ yang mengandung arti kekuasaan, pengawasan, serta wewenang atas sesuatu. Dari sini kata tersebut dipahami dalam arti menyaksikan sesuatu, memelihara dan mengawasinya. Ada juga yang membaca ayat di atas dengan مُهَيْمَنًا (muhaimanan) dalam arti terpelihara, yakni al-Qur'an terpelihara. Kitab suci ini dipelihara oleh Allah SWT dengan berbagai cara, antara lain terpelihara redaksinya, kata demi kata bahkan huruf demi huruf melalui hafalan jutaan umat Islam. Al-Qur'an juga muhaiman, yakni terpelihara makna-maknanya melalui penafsiran yang terus menerus, dan dari saat ke saat dijelaskan oleh para ulama dan cendekiawan.

e. فَاحْكُمْ: Fi’il amar dari kata حَكَمَ – يَحْكُمُ yang berarti putuskanlah hukum. Redaksi amar ini menunjukkan bahwa wajibnya menegakkan hukum sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan Allah dan menasakhkan pilihan penetapan hukum pada ayat 42 sebelumnya.

f. أَهْوَاءَهُمْ : Jamak dari kata هَوًى yang diidhafahkan kepada isim dhamir هُمْ artinya hawa nafsu mereka. Maksudnya hawa nafsu atau keinginan orang-orang Yahudi dan semua pihak yang bermaksud mengalihkan dari menetapkan hukum sesuai dengan ketentuan Allah.

g. شِرْعَةً : Kata ini sama dengan kata شَرِيْعَة yang pada mulanya berarti air yang banyak atau jalan menuju sumber air. Agama dinamai syari’at karena ia adalah sumber kehidupan ruhani sebagaimana air sumber kehidupan jasmani. Di sisi lain, tuntunan agama berfungsi membersihkan kekotoran ruhani, serupa dengan air yang berfungsi membersihkan kekotoran material.

h. مِنْهَاجًا : Kata minhaj, bermakna jalan yang luas. Melalui kata ini, ayat di atas mengimajinasikan adanya jalan luas menuju syari’ah, yakni sumber air itu. Siapa yang berjalan pada minhaj/jalan luas itu dia akan dengan mudah mencapai syari’ah, dan yang mencapai syari’ah akan sampai pada agama Islam. Setiap umat telah diberi minhaj dan syari’at sesuai dengan keadaan dan perkembangan masyarakat mereka.

i. لَوْ : kata lauw/sekiranya dalam firman-Nya: lauw sya’a Allah/ Sekiranya Allah menghendaki, menunjukkan bahwa hal tersebut tidak dikehendaki-Nya, karena kata lauw, tidak digunakan kecuali untuk mengandaikan sesuatu yang tidak mungkin terjadi, yakni mustahil. Ini berarti, Allah tidak menghendaki menjadikan manusia semua sejak dahulu hingga kini satu umat saja, yakni satu pendapat, satu kecenderungan, bahkan satu agama dalam segala prinsip dan rinciannya.

j. فَاسْتَبِقُوْا : Fi’il amar dari tsulasi mazid dua huruf wazan اِفْتَعَلَ = اِسْتَبَقَ berasal dari kata سَبَقَ yang berarti dahulu, mendahului atau mendahulukan. Maka kata اسْتَبِقُوْا diartikan dengan saling mendahului-lah atau berlomba-lombalah.

k. وَاحْذَرْهُمْ : Fi’il amar dari kata حَذِرَ - يَحْذَرُ – اِحْذَرْ yang berarti memelihara diri, waspada, awas, jaga-jaga, dan hati-hati. Maka artinya di sini adalah berhati-hatilah kamu Muhammad terhadap ulah serta tipu daya mereka.

l. أَنْ يَفْتِنُوْكَ : Kata ini berasal dari kata فَتَنَ - يَفْتِنُ – فَتْنًا yang berarti menariknya, menggodanya, menyesatkannya, memalingkannya. Kata أَنْ fungsinya adalah untuk menunjukkan maf’ul min ajlih, sehingga kata ini berarti supaya mereka memalingkanmu.

m. ذُنُوبِهِمْ : jamak dari kata ذَنْبٌ yang di-idhafah-kan kepada kata همْ yang berarti dosa-dosa mereka.

3. Munasabah Dengan Ayat Sebelumnya

Setelah ayat sebelumnya berbicara tentang kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as. dan kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa as., kini ayat 48 ini berbicara tentang al-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang di dalamnya mengandung hukum-hukum Allah yang harus dipedomani dan dijadikan sebagai dasar dalam mengambil keputusan.

Selanjutnya pada ayat 49, sekali lagi Allah mengulangi perintah-Nya menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan-Nya, yang telah diperintahkan-Nya pada ayat lalu. Agaknya perintah pada ayat lalu adalah sebagai konsekuensi turunnya petunjuk Ilahi, dan perintah pada ayat ini adalah karena apa yang diturunkan itu merupakan kemaslahatan manusia. Perintah ini perlu ditekankan, karena orang-orang Yahudi dan yang semacam mereka tidak henti-hentinya berupaya menarik hati kaum muslimin dengan berbagai cara.

Apalagi dalam ayat yang lalu ditegaskan bahwa, bagi masing-masing umat Allah telah berikan aturan dan jalan yang terang. Penegasan ini dapat mengesankan bahwa hingga saat datangnya Nabi Muhammad saw, mereka pun masih berada dalam kebenaran, dan bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw tidak berlaku umum. Nah, untuk menghilangkan kesan itu, perintah tersebut diulangi.

4. Penjelasan Pokok Kandungan Ayat

Firman Allah: Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, merupakan perintah yang bermaksud mewajibkan kepada Nabi dan kepada para pengambil keputusan untuk berhukum dengan hukum yang telah ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an.
Sebagian ulama mengatakan ayat ini menasakh pilihan dalam menetapkan hukum atau tidak menetapkan hukum dalam ayat sebelumnya (al-Maidah: 42) …فَإِنْ جَآؤُوْكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ …

Thahir ibn ‘Asyur menyebutkan bahwa, boleh jadi peringatan dalam ayat 48 surat al-Maidah ini ditujukan kepada Rasul SAW dalam keadaan beliau menghadapi dua pihak bersengketa yang masing-masing memiliki argumen kuat dan sulit dipilih mana yang lebih kuat. Ketika itu Rasul diperingatkan agar jangan sampai keinginan atau hawa nafsu salah satu pihak yang menjadi dasar penguatan dan pemenangannya.

Ini, karena seperti diketahui, Rasul SAW sangat ingin agar semua orang memeluk Islam, dan boleh jadi dengan memberi putusan yang mendukung salah satu pihak, dapat mendorong mereka untuk beriman. Nah, penggalan ayat ini mengingatkan Rasul agar jangan sampai keinginan beliau itu mengantar kepada pengabaian upaya sungguh-sungguh untuk menetapkan hukum yang adil, karena menegakkan hukum yang adil adalah lebih utama dari pada memperbanyak orang memeluk Islam.

Mufassir Sulaiman Ibn ‘Umar yang dikenal dengan gelar al-Jamal menyatakan bahwa penggalan ayat 48 di atas dikemukakan di sini dengan tujuan mendorong penganut Taurat dan Injil yang semasa dengan Nabi Muhammad SAW agar mereka mengikuti ketetapan-ketetapan beliau sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur'an, dan bahwa mereka diwajibkan mengikuti dan mengamalkan tuntunan al-Qur'an dan tidak lagi mengikuti kedua kitab yang turun sebelumnya (Taurat dan Injil), karena yang berkewajiban mengikuti keduanya adalah umat-umat yang lalu.

Firman Allah dalam ayat 49: Supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu, menekankan kewajiban berpegang teguh terhadap apa yang diturunkan Allah secara utuh dan tidak mengabaikannya walau sedikitpun. Di sisi lain, hal ini mengisyaratkan bahwa lawan-lawan umat Islam akan senantiasa berusaha memalingkan umat Islam dari ajaran Islam, walau hanya sebagian saja. Dengan meninggalkan sebagian ajarannya, keberagaman umat islam akan runtuh. Ini, karena sel-sel ajaran Islam sedemikian terpadu, mengaitkan sesuatu yang terkecil sekalipun dengan Allah SWT.


PENUTUP

Kesimpulan

1. Kalau diamati ayat-ayat al-Qur'an yang memerintahkan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, ditemukan dua redaksi yang berbeda. Sekali perintah taat kepada Allah dirangkaikan dengan taat kepada Rasul, tanpa mengulangi kata “taatilah” dan di kali lain, kata “taatilah” diulangi, masing-masing sekali ketika memerintahkan taat kepada Allah dan sekali lagi ketika memerintahkan taat kepada Rasul.

2. Ulil amri adalah orang-orang yang berwenang mengurus urusan kaum muslimin. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan. Ada yang berpendapat bahwa mereka adalah para penguasa/pemerintah. Ada juga yang menyatakan bahwa mereka adalah ulama, dan pendapat ketiga menyatakan bahwa mereka adalah yang mewakili masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesinya.

3. Sementara ulama berpendapat bahwa ayat 59 ini mengandung informasi tentang dalil-dalil hukum syari’at, yaitu: 1) al-Qur'an, dan 2) sunnah yang ditunjuk oleh perintah taat kepada Allah dan taat kepada Rasul; 3) Ijma’ atau kesepakatan, yang diisyaratkan oleh kata uli al-amri minkum; dan 4) Analogi atau qiyas yang dipahami dari perintah mengembalikan kepada nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.

4. Pada ayat 60 surat al-Nisa’ konteks yang ingin ditekankan adalah kewajiban mengembalikan segala perselisihan kepada apa yang diturunkan Allah SWT, bukan kepada orang tertentu siapapun dia.

5. Ketika Allah SWT menetapkan bahwa hukum yang ditetapkan Rasul harus diterima sepenuh hati dan tanpa sedikitpun rasa keberatan, maka dalam ketetapan Allah itu tersirat kewajiban Rasul (dan lebih-lebih para hakim sesudah beliau) untuk memperhatikan rasa keadilan, sehingga ketetapan mereka dapat diterima baik.

6. Firman Allah dalam surat al-Maidah: 48-49 merupakan perintah yang bermaksud mewajibkan kepada Nabi dan kepada para pengambil keputusan untuk berhukum dengan hukum yang telah ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Jashshash, Al-Imam Abi Bakr Ahmad Al-Razi. 1993. Ahkam al-Qur’an (juz 1). Beirut: Dar al-Fikr

Al-Qurthubi, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari. 1993. Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur'an (jilid 3). Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah

Al-Sayis, Muhammad Ali. tt. Tafsir Ayat al-Ahkam. ttp: tp

Departemen Agama RI. 1991. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa

Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV Penerbit Jumanatul ‘Ali-Art

Ibnu ‘Arabi, Abu Bakr Muhammad ibn Abdullah. 1984. Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah

Khallaf, Abdul Wahhab, Prof. 2006. Ilmu Ushul Fiqh, terj. Drs. H. Moh. Zuhri dan Drs. Ahmad Qarib, MA. Semarang: Dina Utama Semarang

Quthb, Sayyid. 2003. Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an: Di Bawah Naungan Al-Qur’an (jilid. 10), terj. As’ad Yasin, dkk. Jakarta: Gema Insani Press

Sabiq, Sayyid. 2007. Fiqih Sunnah, terj. Nor Hasanuddin, Lc. MA., dkk. Jakarta: Pena Pundi Aksara

Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (vol. 2 dan 3). Jakarta: Lentera Hati

Suma, Dr. H. Muhammad Amin, M.A., S.H. 1997. Tafsir Ahkam I. Jakarta: Logos

Yunus, Mahmud, Prof. Dr. H. 1990. Kamus Arab – Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung

http://hadith.al-islam.com/BAYAN/tree.asp?Lang=ind&ID=836 dan http://.al-islam.com

Kaidah Fiqhiyah: Al-Masyaqqah Tajlib al-Taysir

BAB I
PENDAHULUAN

Dinamika kehidupan manusia selalu bergelut dengan beragam peristiwa yang melingkupinya. Adakalanya senang, susah, gembira, sedih, aman, takut, tenang, khawatir, dan seterusnya. Perbedaan sifat yang demikian itu sudah merupakan sunnatullah (alamiah), sehingga tak dapat terelakkan dalam keseharian setiap insan. Sebagai agama yang membawa misi kemaslahatan universal (rahmatan lil ‘alamin), Islam tidak melepaskan perhatiannya pada unsur-unsur kesulitan yang dialami umatnya. Islam memberikan apresiasi besar pada kesulitan yang dihadapi kaum muslimin dengan memberikan keringanan hukum pada obyek hukum yang dinilai sulit.

Terbukti, dalam kaidah fiqhiyah yang ketiga ini ditegaskan bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami seorang muslim, baik dalam konstruksi ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah), akan mendorong diterapkannya kemudahan hukum pada obyek yang dibebankan kepadanya. Bila seorang muslim dalam menjalankan sebuah kewajiban mengalami kendala, maka di titik inilah Islam memberikan toleransi serta kemudahan-kemudahannya.

Namun permasalahannya adalah kesulitan macam apa yang bisa meringankan hukum, bagaimana karakternya, apakah konsekuensinya, apa hubungan antara kesulitan dengan rukhshah, bagaimana bentuk-bentuk rukhshah, apa saja yang menyebabkan seseorang mendapat rukhshah serta permasalahan-permasalahan lain yang berkenaan dengan masyaqqah (kesulitan) dan rukhshah (keringanan hukum).

Untuk menjawab permasalahan di atas, kami akan menulis sebuah makalah tentang kaidah masyaqqah tajlib al-taysir. Makalah ini kami mulai dengan mencantumkan beberapa ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang menjadi dasar pengambilan kaidah ini. Selanjutnya kami menjelaskan pengertian dari kaidah ini ditinjau dari segi etimologis dan terminologis.

Kemudian secara berurutan kami menguraikan karakter dan kualifikasi masyaqqah, permasalahan-permasalahan tentang rukhshah yang meliputi: diskursus seputar definisi rukhshah dan ‘azimah, hukum-hukum rukhshah, bentuk-bentuk rukhshah, obyek-obyek atau faktor penyebab adanya rukhshah, dan pada bagian akhir kami uraikan beberapa kaidah turunan dari kaidah asasi yang ketiga ini.

BAB II
PEMBAHASAN

KAIDAH FIQHIYAH
(الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ)


A. Dasar Pengambilan Kaidah

1. Al-Qur'an

Dasar kaidah ini adalah firman Allah SWT di dalam surat al-Baqarah: 185

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Sedangkan dalam surat al-Hajj ayat 78 dinyatakan:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.

Dalam surat al-Maidah ayat 6, Allah SWT berfirman:

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ

“Allah tidak menghendaki membuat kesulitan bagi kamu sekalian”

Ayat lain yang menjadi dasar kaidah ini adalah QS. Al-Nisa’ ayat 28:

يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu”

2. Al-Hadits

Banyak sekali hadits Nabi SAW yang menjadi dasar terbentuknya kaidah ini, di antaranya adalah:

الدّيْنُ يُسْرٌ اَحَبُّ الدِّيْنِ إِلَى اللهِ الْحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحَةُ (أخرجه البخارى عن أبى هريرة)

“Agama itu adalah mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah”.

يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا (أخرجه البخارى عن أنس)

“Mudahkanlah dan jangan mempersukar”.

إِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوْا مُعَسِّرِيْنَ (رواه الشيخان)

“Kalian semua (kaum muslimin dengan perantara Nabi SAW) diutus untuk memberi kemudahan; tidak untuk menyulitkan”. (HR. Bukhari dan Muslim)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ دِيْنَ اللهِ يُسْرٌ، ثَلاَثًا

“Rasulullah SAW bersabda: ‘Sesungguhnya agama Allah adalah agama yang mudah’. (Kata-kata itu) diucapkan tiga kali.” (HR. Ahmad)

مَا خُيِّرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلاَّ اخْتاَرُ أَيْسَرُهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا

“Tidaklah Rasulullah diberi pilihan di antara dua perkara, kecuali beliau memilih yang lebih mudah atau ringan, selama yang lebih mudah itu bukan perbuatan dosa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا

“Permudahlah dan jangan mempersulit.”

Dari akumulasi (kumpulan) ayat dan hadits yang telah disebutkan di atas, maka tercetuslah sebuah kaidah fiqh: al-masyaqqah tajlib al-taysir yang bermakna bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya menekankan besarnya apresiasi syari’at pada bentuk-bentuk kemudahan dan keringanan hukum. Bahkan, jika seorang muslim diperintahkan melakukan salah satu di antara dua hal, kemudian ia memilih yang lebih ringan baginya, maka pilihannya itu lebih dicintai oleh Allah SWT.

Namun perlu dicatat, kemudahan dimaksud jelas tidak berlaku serampangan dan tanpa arah. Ada batasan dan kualifikasi tertentu yang harus dipenuhi agar kemudahan itu dapat diperoleh. Hal itu akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.


B. Penjelasan Kaidah

Al-masyaqqah menurut arti bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran, seperti terdapat dalam QS. Al-Nahl ayat 7:

وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ إِلَى بَلَدٍ لَمْ تَكُونُوا بَالِغِيهِ إِلَّا بِشِقِّ الْأَنْفُسِ

“Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri.”

Sedangkan al-taysir secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan:

إِنَّ الدِيْنَ يُسْرٌ

“Agama itu mudah, tidak memberatkan.” Yusrun lawan dari kata ‘usyrun.

Adapun makna terminologi kaidah asasi ketiga di atas adalah:

إن الأحكام التى ينشأ عن تطبيقها حرج على المكلف ومشقة فى نفسه أو ماله فالشريعة تخففهما بما يقع تحت قدرة المكلف دون عسر أو حرج.

“Hukum yang praktiknya menyulitkan mukallaf; dan pada diri dan sekitarnya terdapat kesulitan, maka syari’at meringankannya sehingga beban tersebut berada di bawah kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan.”

Adapun secara istilah, al-Syathibi memberikan empat makna.

1. Masyaqqah dimaknai secara umum; meliputi hal-hal yang mampu dilakukan oleh mukallaf ataupun tidak, karenanya ketika ada seorang manusia berusaha untuk terbang dia dianggap melakukan masyaqqah dalam pengertian pertama ini.

2. Masyaqqah dimaknai sebagai perbuatan yang sebenarnya mampu dikerjakan manusia, hanya saja itu akan menyebabkan orang yang melakukannya berada dalam kesulitan yang sangat berat.

3. Masyaqqah dalam pengertian kesulitan yang tidak sampai ‘keluar’ dari kebiasaan umum.

4. Masyaqqah yang dimaknai sebagai ‘melawan hawa nafsu’.

Untuk membedakan masyaqqah yang bisa berpengaruh dalam tataran hukum, al-Syathibi memberikan sebuah batasan bahwa pekerjaan tersebut - karena saking beratnya - jika dilakukan terus menerus, akhirnya justru membuatnya ditinggalkan secara total atau sebagiannya saja. Atau jika pekerjaan itu dapat menyebabkan salah satu bagian dari pelaku menjadi “tidak beres”. Kesulitan dalam sebuah perbuatan yang berdampak terhadap hal-hal seperti ini termasuk dalam kategori masyaqqah yang “keluar dari kebiasaan”, dalam arti bahwa kesulitan yang semacam itu akan mempengaruhi formulasi hukum yang dihasilkan. Sedangkan apabila tidak sampai pada kondisi demikian, maka ia tidak dapat berpengaruh pada tataran hukum.

Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subyek hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.


C. Karakter dan Kualifikasi Masyaqqah

Berdasarkan analisa al-Suyuthi sebagaimana dikutip oleh Abdul Haq, dkk., karakteristik kesulitan (masyaqqah) secara umum terbagi dalam dua pembagian pokok:

1. Masyaqqah yang tidak dapat menggugurkan kewajiban (ibadah). Misalnya rasa lelah ketika melakukan perjalanan haji, tidak secara otomatis menggugurkan kewajiban haji. Rasa capek dan takut dalam peperangan, tidak dapat menggugurkan kewajiban jihad. Masalahnya, masyaqqah semacam itu sudah merupakan tabi’at dasar dan konsekuensi logis dari jenis pekerjaan yang sedang dilakukan. Artinya, kewajiban seperti haji hanya dapat terlaksana jika telah melewati kesulitan-kesulitan berupa rasa lelah, capek, dan sebagainya. Begitu pula kewajiban jihad tetap harus melewati rasa lelah, takut bahkan kematian pun bisa terjadi. Sehingga tidak logis jika kemudahan (rukhshah) diterapkan dalam domain ini.

2. Masyaqqah yang dapat menggugurkan kewajiban. Masyaqqah jenis kedua ini terbagi lagi dalam tiga tingkatan:

a. Masyaqqah yang sangat berat dan umumnya sulit ditanggung (a’la). Seperti rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta, keturunan, organ tubuh, dan hal-hal mendasar lainnya. Pada taraf inilah syari’at memberlakukan keringanan hukum (rukhshah). Sebab, pemeliharaan jiwa dan raga untuk menjalankan kewajiban-kewajiban syari’at lebih diutamakan dari pada tidak melakukan sama sekali. Artinya, jika umat Islam masih ‘dipaksa’ melaksanakan kewajiban yang sebenarnya sudah tidak mampu dikerjakan, maka akan berakibat fatal pada keselamatan jiwa maupun raganya. Hal ini tentu akan membuat kewajiban itu sendiri menjadi terbengkalai. Dengan diberlakukannya rukhshah, maka kewajiban tersebut tetap bisa terlaksana.

b. Masyaqqah yang sangat ringan (adna). Seperti pegal-pegal, pilek, pusing, dan lain sebagainya. Pada strata ini, tidak ada sama sekali legitimasi syari’at untuk memberi rukhshah. Sebab ke-maslahat-an ibadah masih lebih penting dari pada menghindari mafsadah (kerusakan) yang timbul dari masyaqqah kategori ini. Artinya, timbulnya mafsadah dari hal-hal seperti ini masih sangat minim, sehingga kemaslahatan ibadah (baca: pahala akhirat) yang nyata-nyata punya nilai lebih besar harus lebih diutamakan.

c. Masyaqqah pertengahan (al-mutawassthah) yang berada pada titik interval di antara dua bagian sebelumnya. Jenis masyaqqah yang terakhir ini bisa mendapat rukhshah, jika telah mendekati kadar masyaqqah pada urutan yang tertinggi (a’la). Dan sebaliknya apabila lebih dekat pada kategori masyaqqah yang paling ringan (adna) maka ia tidak dapat menyebabkan rukhshah.

Dalam catatan akhirnya, al-Suyuthi menandaskan bahwa tidak ada ukuran pasti pada jenis masyaqqah yang mutawassithah ini. Satu-satunya cara mengetahuinya adalah melalui metode analisa-kualitatif (taqribi; mendekatkan)

Metode Taqribi

Masyaqqah adalah sesuatu yang bersifat individual , abstrak dan relatif, dalam arti ukuran dan batasannya sangat sulit dibedakan (kadang si A merasa berat mengerjakan, tapi si B tidak, padahal pekerjaannya sama). Hal ini terjadi pada jenis masyaqqah mutawassithah. Karena itulah fuqaha mengajukan solusi metodologis berupa taqribi guna mengukur beragam jenis masyaqqah yang bisa memperoleh keringanan hukum.

Secara umum, taqribi dimaknai sebagai upaya pengukuran kadar masyaqqah apakah telah melewati batas minimal atau tidak. Jika kadar masyaqqah masih dalam taraf terendah (adna), maka tidak ada pemberlakuan rukhshah. Tapi jika telah melampaui taraf terendah, baik telah mencapai kategori mutawassithah ataupun sampai level tertinggi (a’la), maka ia akan mendapat rukhshah.

Setiap ibadah pasti mengandung masyaqqah (sekurang-kurangnya dipandang dari segi bahwa ia adalah taklif atau tuntutan). Jika kadar masyaqqah yang normal semakin bertambah tingkat kesulitannya karena ada masalah-masalah tertentu, maka di titik ini dia telah berada pada – dan berubah menjadi – level mutawassithah. Seseorang yang sedang berpuasa misalnya, pasti mengalami masyaqqah, baik berupa lapar, haus, dan seterusnya. Jika puasa itu dilakukan dalam keadaan sakit, maka secara otomatis masyaqqah-nya bertambah, yakni masyaqqah berpuasa ditambah masyaqqah sakit. Nah, pada kondisi inilah masyaqqah itu telah melewati batas minimal (adna) sehingga bisa mendapatkan rukhshah.


D. Rukhshah (Toleransi)

1. Diskursus Seputar Definisi Rukhshah dan ‘Azimah

Pada dasarnya, rukhshah adalah sebuah kodifikasi hukum yang diberikan syari’at bagi mukallaf yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan taklif yang dibebankan kepadanya. Dengan kata lain, rukhshah adalah sebuah formulasi hukum yang telah berubah dari bentuk asalnya, karena mempertimbangkan obyek hukum, situasi, kondisi, dan tempat tertentu. Bisa pula dimaknai sebagai diperbolehkannya sesuatu yang asalnya dilarang, beserta wujudnya dalil yang melarang.

Sebaliknya, jika formulasi hukum syari’at tidak mengalami perubahan, maka ia dinamakan ‘azimah. Atau dapat dikatakan, ‘azimah adalah suatu formulasi hukum-hukum dasar syari’at yang bersifat umum dan tidak terbatas pada obyek, situasi, kondisi, dan orang tertentu. Atau lebih mudahnya, ‘azimah adalah sebentuk kerangka hukum dasar (fundamental) yang belum mengalami perubahan, kodifikasi, reformasi, reformulasi, maupun reduksi.

Dari sini dapat disimpulkan, bila hukum syari’at masih seperti sedia kala, maka ia dinamakan ‘azimah. Tapi bila telah berubah dan mengalami perubahan bentuk dengan beberapa syarat tertentu, maka ia dinamakan rukhshah.

2. Hukum-Hukum Rukhshah

Bila ditilik dari sisi hukumnya, rukhshah terbagi menjadi lima:

a. Rukhshah wajib. Contohnya memakan bangkai bagi orang yang sedang kelaparan, atau minum arak (khamr) bagi seseorang yang tenggorokannya tersumbat hingga tak bisa bernafas. Jika makan bangkai atau minum arak-yang notabene haram-merupakan satu-satunya jalan yang diyakini bisa menyelamatkan jiwanya, maka hal itu wajib dilakukan.

b. Rukhshah sunnah. Misalnya shalat qashar bagi seorang musafir yang telah melakukan perjalanan sepanjang dua marhalah atau lebih, dan berbuka puasa bagi orang yang sakit atau musafir yang mengalami masyaqqah bila melaksanakan puasa. Demikian pula mengakhirkan shalat zhuhur, karena cuaca pada awal waktu zhuhur sangat panas. Atau seperti melihat muka dan dua telapak tangan calon istri saat meminangnya. Semua contoh di atas merupakan rukhshah yang sunnah dikerjakan.

c. Rukhshah mubah. Contohnya seperti transaksi pesan-memesan (salam) dan sewa-menyewa (ijarah). Dua jenis transaksi dikategorikan rukhshah yang mubah karena memandang hukum asalnya yang tidak diperbolehkan. Akad salam pada permulaannya tidak diperbolehkan karena dianggap membeli barang yang tidak wujud (ma’dum). Dan manfaat dalam ijarah juga dinilai ma’dum.

d. Rukhshah khilaf al-awla (lebih utama ditinggalkan). Seperti membilas bagian luar sepatu kulit (al-khuf atau muzah), menjama’ shalat atau berbuka puasa bagi seorang musafir yang tidak mengalami masyaqqah bila harus mengerjakannya. Begitu pula tayamum bagi orang yang telah mendapat air, tapi harus dibeli dengan nilai di atas harga standar, sementara dia sebenarnya memiliki uang (mampu) untuk membelinya. Semua toleransi (rukhshah) dalam contoh di atas lebih utama untuk tidak dikerjakan.

e. Rukhshah makruh. Contohnya menqashar shalat dalam perjalanan yang belum mencapai tiga marhalah. Kemakruhan ini dimotivasi untuk menghindari khilaf imam Hanafi yang tidak memperbolehkan qashar sebelum perjalanan mencapai tiga marhalah (142 km versi Hanafiah). Sementara al-Syafi’iah menilai dua marhalah cukup untuk melakukan qashar.

3. Bentuk-Bentuk Rukhshah

Jika ditilik dari bentuknya, rukhshah terbagi menjadi enam:

a. Takhfif Isqath: Rukhshah yang berbentuk pengguguran kewajiban. Seperti uzur shalat jum’at, haji, umrah, dan jihad. Jika semua pekerjaan itu tidak dapat terlaksana akibat adanya uzur dengan ketentuan-ketentuan tertentu, maka syari’at memberi toleransi dengan menghapus kewajiban-kewajiban tadi. Untuk shalat jum’at diganti dengan shalat zhuhur sebagaimana hari biasa.

b. Takhfif Tanqish: Rukhshah yang berupa pengurangan kuantitas pekerjaan. Seperti diperbolehkannya qashar bagi musafir. Sebelum menjadi musafir, ia harus melaksanakan shalat zhuhur atau ashar sebanyak empat raka’at. Tapi setelah ia berada dalam perjalanan maka kewajiban empat raka’at itu diperingan menjadi dua raka’at dengan cara diqashar.

c. Takhfif Ibdal: Rukhshah berbentuk penggantian. Contohnya mandi dan wudhu boleh diganti dengan tayamum. Kewajiban berdiri dalam shalat yang dapat diganti duduk, duduk yang dapat diganti dengan shalat berbaring miring (idhthija’) dan idhthija’ diganti dengan isyarat. Begitu pula kewajiban memerdekakan budak dalam kafarat yang bisa diganti dengan puasa dua bulan, atau mengganti kewajiban puasa dengan memberi makan enam puluh orang miskin. Sebagian kewajiban haji dan umrah boleh diganti dengan kafarah. Semua bentuk “penggantian” di atas boleh dilakukan jika kita mengalami uzur, dan inilah yang dimaksud dengan Takhfif Ibdal.

d. Takhfif Taqdim: Rukhshah dengan mendahulukan. Misalnya dalam jama’ taqdim, di mana shalat ashar boleh didahulukan (baca: dilaksanakan) pada waktu zhuhur, shalat isya boleh dikerjakan pada waktu maghrib ketika dalam perjalanan atau dalam keadaan hujan lebat. Contoh lainnya adalah mendahulukan membayar zakat sebelum hawl, membayar kafarah sumpah sebelum pelanggaran sumpahnya dilakukan, dan lain sebagainya. Semua jenis ‘pengajuan’ di atas boleh dilakukan dan termasuk kategori rukhshah.

e. Takhfif Ta’khir: Rukhshah berupa penundaan aktivitas. Seperti shalat jama’ ta’khir. Shalat zhuhur boleh ditunda atau dilaksanakan pada waktu ashar, dan shalat maghrib pada waktu isya. Begitupun kewajiban puasa Ramadhan boleh dilakukan pada bulan-bulan sesudahnya bagi orang yang sakit atau musafir. Boleh pula mengakhirkan shalat bagi seseorang yang sedang menyelamatkan nyawa orang lain, baik karena tenggelam, kebakaran ataupun lainnya.

f. Takhfif Tarkhish: Rukhshah berbentuk peringanan. Seperti diperbolehkannya memakan bangkai saat kelaparan, berobat dengan obat-obatan atau makanan yang najis atau haram, dan minum arak (khamr) untuk melegakan lubang tenggorokan yang tersumbat. Semua jenis rukhshah semacam ini boleh dilakukan jika sudah menjadi keharusan atau menjadi satu-satunya jalan yang bisa ditempuh untuk menyelamatkan jiwa penderita. Hukum yang sama juga berlaku pada orang yang mengucapkan kata-kata kufur dalam keadaan dipaksa. Begitupun seseorang yang tayamum, walaupun hadatsnya belum hilang tapi ia diperbolehkan melaksanakan shalat, dan orang yang ‘bersuci’ dengan memakai batu boleh melakukan shalat walaupun masih terdapat sisa-sisa kotoran yang tidak dapat hilang kecuali dengan memakai air.

Selain enam pemilahan di atas, al-‘Ala’i menambahkan lagi bentuk rukhshah yang diberi nama rukhshah takhfif-taghyir (rukhshah keringanan-perubahan). Seperti perubahan runtutan gerak dalam shalat saat situasi yang menakutkan (shalat al-khawf), semisal shalat dalam masa peperangan. Shalat dalam kondisi seperti itu boleh dilakukan sesuai kemampuan atau gerakan yang mungkin dilakukan, tanpa aturan pasti. Seperti kita maklumi, dalam kondisi bagaimanapun seorang muslim tetap berkewajiban mendirikan shalat, termasuk dalam keadaan perang.

Namun ulama lain mengatakan, rukhshah jenis ini termasuk kategori rukhshah tanqish (bagian ke 2), dengan argumen bahwa runtutan shalat khawf telah berkurang dari runtutan semula (al-nazhm al-ashl). Ada juga yang mengatakan termasuk kategori rukhshah tarkhish (bagian ke-6). Dengan latar belakang khilaf seperti ini, dapat disimpulkan bahwa pemilahan rukhshah tetap ada enam.

4. Obyek – Obyek Rukhshah

Dalam perspektif fiqh konvensional, sering ditegaskan bahwa tidak setiap masyaqqah mendapat rukhshah, dan tidak semua orang bisa mendapat rukhshah. Setidaknya ada tujuh obyek yang bisa mendapat rukhshah. Ketujuh obyek tersebut adalah paksaan (ikrah), lupa (nisyan), tidak tahu (jahl), kondisi sulit (‘usr), perjalanan (safar), sakit (maradh), dan nilai “minus” (naqsh). Ketujuh macam obyek itu akan dipaparkan dalam pembagian di bawah ini.

a. Ikrah (pemaksaan)

Setidaknya ada tujuh syarat pokok ikrah yang bisa menyebabkan rukhshah:

1. Pemaksa (mukrih) mampu merealisasikan ancamannya, baik melalui sarana kekuasaan atau gencarnya intimidasi.

2. Mukrah tidak mampu menolak dengan cara apapun, baik dengan melarikan diri, minta pertolongan orang lain, atau bahkan mengimbangi paksaan itu.

3. Mukrah mempunyai prasangka kuat bahwa jika dia menolak paksaan itu, maka mukrih akan menjatuhkan ancamannya.

4. Obyek paksaan adalah sesuatu yang haram dikerjakan. Misalnya membunuh, merampok, memukul orang lain, dan lain sebagainya.

5. Ancaman mukrih adalah sesuatu yang bisa dijatuhkan secara langsung. Artinya, ketika mukrih mengancam, seketika itu pula ia akan melaksanakan ancamannya.

6. Ancaman harus berupa sesuatu yang jelas atau ditentukan (mu’ayyan). Artinya, tidak abstrak, mengambang, atau mengada-ada.

7. Mukrah hanya bisa selamat dari ancaman jika mau melaksanakan paksaan mukrih.

b. Nis-yan (lupa)

Secara terminologis, nis-yan adalah hilangnya daya ingat terhadap hal-hal yang sudah diketahui (ma’lum). Untuk mengingatnya kembali dibutuhkan usaha dari awal lagi. Berbeda dengan sahwu (lalai) yang hanya berupa keadaan lupa yang bersifat temporal (sementara). Sehingga dengan hanya sedikit diingatkan, maka otak akan mampu “merekam” kembali data dan memori yang sempat hilang.

Berkaitan dengan masalah rukhshah dan konsekuensi hukumnya, nis-yan masih dipilah dalam tiga perincian:

1. Jika bentuk nis-yan adalah meninggalkan sebuah kewajiban, maka kewajiban itu hakikatnya belum gugur. Dalam arti, jika ingatan telah pulih kembali, maka kewajiban itu harus dikerjakan kembali.

2. Apabila nis-yan-nya adalah melakukan sebuah larangan, maka akan menimbulkan dua perincian:

a. Jika berhubungan dengan perusakan harta benda orang lain, maka tidak berdosa, namun wajib membayar ganti rugi (kompensasi, dhaman).
b. Jika tidak berhubungan dengan perusakan harta orang lain, maka tidak ada dosa ataupun ganti rugi.

3. Nis-yan terjadi pada sesuatu yang berakibat fatal, seperti hukuman dera (‘uqubah). Dalam kondisi seperti ini, nis-yan dianggap sesuatu yang syubhat (tidak jelas) sehingga dapat menggugurkan ‘uqubah tersebut.

c. Jahl (ketidaktahuan)

Syari’at membagi ketidaktahuan yang bisa mendapat rukhshah dalam dua kategori berikut:

1. Ketidaktahuan terhadap hukum syari’at karena baru masuk Islam (mu’allaf). Dalam kondisi ini, Islam memberikan toleransi yang sangat rasional dan manusiawi. Semisal seorang mu’allaf, ketika baru masuk Islam, tentunya belum begitu tahu akan hukum agama yang baru dipeluknya secara rinci, sehingga ketidaktahuannya masih ditolerir syari’at. Sedangkan bagi muslim yang telah lama memeluk agama Islam, diharuskan untuk menjalankan ritual agama sesuai dengan syarat-rukunnya. Tidak ada dispensasi sebagaimana mu’allaf.

2. Ketidaktahuan karena keberadaan situasi dan kondisi yang memang tidak memungkinkan. Seperti seorang muslim yang hidup di daerah terpencil, di hutan belantara, ataupun di sebuah komunitas besar, namun di antara mereka tidak ada yang mengetahui hukum-hukum agama. Dalam kondisi seperti ini, syari’at masih memberikan keluasan hukum kepadanya, karena ia memang berada dalam suatu keadaan yang sangat tidak mungkin dihindari. Berbeda halnya bagi kaum muslim yang hidup dan berkembang dalam komunitas yang religius dan kental dengan peradaban Islam, maka wajib melaksanakan ibadahnya sesuai konsep yang ditentukan syari’at, sebab kondisinya memang memungkinkan.

Bagi orang yang tidak tahu semacam itu, jika dia berada dalam kondisi serba sulit dan melakukan sebuah keteledoran, maka syari’at masih memberi keringanan (baca: rukhshah). Jika-misalnya-dia berbicara di saat shalat, maka tidak membatalkan shalatnya, karena ia memang tidak tahu bahwa berbicara di saat shalat bisa membatalkan.

d. Al-‘Usr (kesulitan)

Kehidupan manusia tidak akan lepas dari keadaan yang mengharuskannya melakukan pilihan-pilihan yang serba sulit dan dilematis. Hal itu tidak terjadi dalam dinamika keseharian saja. Tapi dalam pelaksanaan hukum syari’at pun, dilema itu seringkali muncul tanpa diundang.

Contoh paling sederhana, ketika kita berjalan-jalan bertepatan dengan turunnya hujan, biasanya percikan air yang bercampur lumpur najis seringkali mengenai pakaian. Sementara kita sangat sulit menghindari hal itu. Sebab lumpur-lumpur najis itu begitu banyak dan nyaris memenuhi badan jalan.

Terkait dengan permasalahan di atas, Islam memang tetap menghukumi percikan yang mengenai pakaian itu sebagai sesuatu yang najis. Sebab ia berasal dari sesuatu yang najis. Namun demikian, karena percikan itu timbul dari keadaan yang sulit dihindari (al-‘usr), maka hukumnya di-ma’fuw (diampuni). Sehingga pakaian yang terkena percikan najis itu tetap bisa digunakan untuk mendirikan shalat, misalnya.

Contoh lain adalah darah bisul, darah jerawat, darah orang lain, kotoran lalat, dan kotoran burung. Jika najis-najis itu mengenai tubuh dan timbul dari keadaan sulit (tidak disengaja mengenai tubuh kita), dan menurut standar ‘urf (umum) hanya sedikit kadarnya, maka juga dihukumi najis yang di-ma’fuw.

e. Safar (bepergian).

Setidaknya, ada delapan jenis rukhshah yang dapat dilakukan saat seseorang melakukan suatu perjalanan. Kedelapan jenis rukhshah itu, oleh al-Nawawi dipilah berdasarkan kadar hukum masing-masing. Pemilahan versi al-Nawawi ini agaknya dapat diterima oleh ulama yang lain, karena telah mewakili hampir semua jenis rukhshah beserta semua perinciannya. Pemilahannya adalah seperti di bawah ini:

1. Meringkas shalat (qashr)

2. Tidak berpuasa pada bulan Ramadhan (ifthar)

3. Membasuh khuff atau muzah (sepatu kulit) lebih dari satu malam. Lain halnya orang yang tidak dalam perjalanan; ia hanya mendapat rukhshah membasuh muzah selama satu hari satu malam saja.

Catatan: tiga obyek rukhshah di atas hanya berlaku saat melakukan perjalanan jauh, yakni telah mencapai dua marhalah.

4. Meninggalkan shalat Jumat dan menggantinya dengan shalat zhuhur.

5. Memakan bangkai.

Catatan: dua kategori rukhshah ini tidak dikhususkan untuk perjalanan jauh saja. Dalam arti, rukhshah meninggalkan shalat Jumat dan memakan bangkai tidak disyaratkan setelah perjalanan mencapai dua marhalah.

6. Jama’ shalat. Untuk menjama’ shalat, fuqaha masih memperselisihkan, apakah perjalanan harus mencapai dua marhalah atau tidak. Menurut qawl ashah, dua marhalah merupakan syarat menjama’ shalat.

7. Shalat sunnah di atas kendaraan tanpa harus menghadap kiblat.

8. Gugurnya kewajiban shalat yang telah dilakukan walaupun bersuci dengan cara tayamum.

Pada poin ketujuh dan kedelapan inipun masih terjadi kontradiksi antar fuqaha, terutama dalam soal jarak tempuh perjalanan. Qawl ashah justru tidak mematok syarat minimal dua marhalah. Artinya, shalat sunnah di atas kendaraan tetap dianggap sah, walaupun perjalanannya belum sampai jarak dua marhalah. Bagitu pula jika kita bertayamum sebagai pengganti wudhu, dengan syarat-syarat tertentu, walaupun perjalanannya belum sampai dua marhalah, kewajiban shalat yang telah dilaksanakan dianggap gugur, sehingga tidak perlu mengulangi (qadha).

f. Maradh (sakit).

Sebagai agama yang membawa misi ajaran kasih sayang bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin), Islam sangat “memahami” permasalahan sakit ini, dengan memberikan keringanan hukum bagi penderita penyakit dalam menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Tapi bukan berarti setiap jenis penyakit akan memperingan hukum. Sebab, logiskah kiranya jika orang yang berpenyakit panu meminta keringanan hukum shalat, misalnya?.

Karena itu, secara cerdas fuqaha merekomendasikan metode dasar untuk membedakan penyakit yang bisa dan yang tidak bisa memperoleh rukhshah. Metode yang ditawarkan fuqaha ini biasa disebut metodologi analisis-kualitatif (taqribi), yakni suatu pengamatan dan analisa pada obyek hukum yang dikaji, dengan mengambil sampel pada kualitas obyek bersangkutan dari berbagai aspek. Contohnya, jika seseorang yang sedang sakit menjalani puasa, maka harus dilihat, bagaimana kondisi tubuhnya; separah apakah penyakit yang diderita; dampak apa yang akan ditimbulkan; bagaimana pengalaman orang lain saat ditimpa hal serupa; dan lain sebagainya.

Jika penyakit itu menimbulkan dampak yang membahayakan, maka akan mendapat rukhshah. Dalam arti, suatu penyakit bisa mendapat rukhshah apabila semakin parah atau berdampak fatal pada keselamatan si penderita jika ia memaksakan diri melakukan suatu ritus ibadah tersebut. Contohnya, seorang yang sakit ”diperbolehkan” tayamum sebagai pengganti wudhu’, atau shalat sambil duduk, tidur, maupun dengan isyarah ketika tidak bisa melakukannya dengan sempurna (berdiri). Begitu pula keringanan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan, keluar dari tempat i’tikaf, mewakilkan haji bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan sendiri, berobat dengan sesuatu yang najis, dan masih banyak contoh-contoh yang lainnya.

Dalam permasalahan boleh-tidaknya orang sakit meng-qashar shalat, masih terjadi kontradiksi diantara fuqaha. Pendapat yang paling kuat adalah yang tidak memperbolehkan karena menganalogikan qashar dengan jama’.

g. Nilai Minus (Naqish).

Yang termasuk dalam kategori ini adalah kaum hawa, anak-anak, orang gila, idiot (safih), hamba sahaya dan orang sakit. Ketidak-sempurnaan yang dimaksud bukan berarti karena cacatnya anggota badan atau minusnya intelektualitas, melainkan nilai minus yang bersifat insting-psikologis (tabiat kejiwaan). Perempuan misalnya, dalam beberapa kondisi tertentu dianggap mempunyai sifat naqsh (kurang) karena secara psikologis memiliki kadar emosional tinggi, tidak sabaran, berbicara sering di luar kontrol dan hal-hal yang bersifat thabi’i (karakteristik) lainnya. Sedangkan anak-anak, orang gila dan idiot, jelas punya daya nalar dan daya pikir kurang memadai dibanding daya nalar orang dewasa dan normal.

Sementara nilai minus hamba sahaya terletak pada kedudukannya yang masih berada di bawah kekuasaan orang lain (sayyid; majikan). Sedangkan nilai minus orang yang sakit terletak pada kondisi kesehatan tubuhnya yang berada di bawah standar normal.

Berdasarkan hipotesa di atas, syari’at memberikan keringanan hukum bagi mereka. Anak kecil dan orang gila tidak mendapat taklif; kaum perempuan mendapat beban taklif lebih ringan dibanding laki-laki, seperti tidak wajib shalat Jumat, tidak wajib jihad, tidak wajib membayar diyat (denda) dan jizyah, boleh memakai kain sutra dan perhiasan dari emas, dan lain sebagainya. Bahkan menurut sebagian ulama, diperbolehkannya seorang laki-laki berpoligami ternyata adalah bagian dari “keringanan” bagi kaum hawa. Hal itu berlandaskan pada asumsi dasar, bahwa kaum hawa adalah jenis kelamin mayoritas. Agar populasi yang begitu besar itu dapat “tersalurkan”, maka syari’at memperbolehkan satu orang laki-laki beristri sampai empat orang.

5. Sengaja Mencari Rukhshah (Tatabu’ al-Rukhas)

Sengaja mencari rukhshah bisa diartikan sebagai usaha untuk melakukan sebab-sebab tertentu dengan tujuan untuk mendapatkan rukhshah. Artinya, seseorang dengan sengaja memilih salah satu alternatif yang mungkin untuk dilakukan demi mendapatkan keringanan yang dia kehendaki. Usaha seperti ini tidak boleh dilakukan. Karenanya, apabila seorang musafir memiliki dua alternatif jalan, misalnya, di mana yang satu jaraknya mencapai batas yang diperbolehkan untuk meringkas shalat dan yang lain tidak, namun kemudian dia memilih jalan yang lebih panjang dengan tujuan semata-mata untuk mendapatkan rukhshah, cara yang demikian ini justru membuatnya tidak bisa mendapatkan rukhshah.


E. Kaidah-Kaidah Turunan Yang Senada

Telah kita maklumi, setiap kaidah dasar pasti memiliki kaidah-kaidah cabang/turunan yang senada dan memiliki substansi sama, walaupun berbeda dalam segi pengungkapan. Pada kaidah al-masyaqqah tajlib al-taysir ini, terdapat beberapa kaidah cabang sebagai berikut:

1. إِذَا ضَاقَ اْلأَمْرُ اتَّسَعَ

“Ketika sesuatu menjadi sempit, maka hukumnya menjadi luas (ringan)”

Dengan kata lain, keringanan hukum akan diperoleh disebabkan kondisi sulit dan sempit. Contohnya sebagaimana nasib seorang gadis yang tidak memiliki wali, atau berada jauh dari rumahnya. Pada saat yang sama ia bertemu seorang laki-laki idaman yang akan mau menikahinya. Dalam kondisi seperti ini, wanita yang notabene menghadapi kesulitan diperbolehkan “mengangkat” orang lain (yang bukan mahram) untuk menjadi walinya (muhakkam).

Contoh lain seperti fenomena yang sering terjadi di musim kemarau, di mana lalat-lalat banyak bertebaran membawa najis di kakinya. Jika lalat-lalat nakal itu hinggap di tubuh kita, maka najis-najis di kaki mereka hukumnya ma’fu. Sebab, kita sangat sulit menghindar. Dengan kata lain, najis yang mengenai tubuh saat kondisi sulit (dhaqa), akan membuat hukum menjadi ringan (ittasa’a) berupa di-ma’fu-nya najis-najis tersebut.

2. إِذَا اتَّسَعَ اْلأَمْرُ ضَاقَ

“Ketika keadaan lapang, maka hukumnya menjadi sempit (ketat).”

Kaidah cabang kedua ini-sebenarnya-semakna dengan kaidah cabang pertama, walaupun redaksinya berbeda dan cenderung berlawanan. Artinya, jika yang pertama menyatakan bahwa kesempitan akan membuahkan keluasan (hukum), maka yang kedua ini bersikap sebaliknya, yakni keadaan lapang akan membuat hukum menjadi sempit dan terbatas.

Contohnya, ketika melaksanakan shalat, kita tidak diperbolehkan melakukan gerakan. Sebab kondisi kita saat itu tidak menuntut dilakukannya suatu gerakan. Akan tetapi, jika gerakan itu dilakukan untuk menghindari serangan ular berbisa, kalajengking, dan binatang berbisa lainnya, maka pergerakan tersebut diperbolehkan.

Dengan kata lain, shalat yang kita lakukan tanpa adanya gangguan termasuk kategori keadaan lapang (ittasa’a), sehingga hukumnya menjadi sempit dan terbatas (dhaqa), yakni tidak boleh melakukan pergerakan yang berlebihan.

3. كُلُّ مَا تَجَاوَزَ عَنْ حَدِّهِ انْعَكَسَ إِلَى ضِدِّهِ

“Setiap sesuatu yang sudah melewati batas kewajaran, memiliki hukum yang sebaliknya”
Kaidah yang ketiga ini adalah hasil sintesa (perpaduan) dua kaidah sebelumnya. Artinya, kaidah ini memandang, sempit dan luasnya suatu keadaan akan berakibat timbulnya hukum kebalikannya; ketika kondisi sulit berarti hukumnya ringan; saat keadaan lapang akan membuat hukum menjadi ketat. Al-Ghazali-lah yang melakukan upaya sintetik tersebut, yakni melalui perpaduan dua kaidah cabang sebelumnya, yang jika dilihat sepintas agaknya saling bertolak belakang, padahal kenyataannya mempunyai substansi yang senada.

4. إِذَا تَعَزَّرَ اْلأَصْلُ يُصَارُ إِلَى اْلبَدَلِ

“Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya”

Contohnya: Tayamum sebagai ganti wudhu.

5. مَا لاَ يُمْكِنُ التَّحَرُزُ مِنْهُ مَعْفُوْ عَنْهُ

“Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan”

Contohnya: Pada waktu sedang shaum, kita berkumur-kumur, maka tidak mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau masih ada sisa-sisa

6. الرُّخْصُ لاَ تُنَاطُ بِالْمَعَاصِى

“Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”

Contohnya: Orang bepergian dengan tujuan melakukan maksiat, misalnya untuk membunuh orang atau untuk berjudi atau berdagang barang-barang yang diharamkan, maka orang semacam ini tidak boleh menggunakan keringanan-keringanan di dalam hukum Islam.

7. إِذَا تَعَزَّرَتِ الْحَقِيْقَةُ يُصَارُ إِلَى الْمَجَاِز

“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”.

8. إِذَا تَعَزَّرَ إِعْمَالُ الْكَلاَمِ يُهْمَلُ

“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan”.

9. يُغْتَفَرُ فِى الدَّوَامِ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِى اْلإِبْتِدَاءِ

“Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya”.

10. يُغْتَفَرُ فِى اْلإِبْتِدَاءِ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِى الدَّوَامِ

“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”.

11. يُغْتَفَرُ فِى التَّوَابِعِ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِى غَيْرِهَا

“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:

1. Dari akumulasi beberapa ayat dan hadits, maka tercetuslah sebuah kaidah fiqh: al-masyaqqah tajlib al-taysir yang bermakna bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya menekankan besarnya apresiasi syari’at pada bentuk-bentuk kemudahan dan keringanan hukum.

2. Karakteristik masyaqqah secara umum terbagi dalam dua pembagian pokok:

a. Masyaqqah yang tidak dapat menggugurkan kewajiban (ibadah).

b. Masyaqqah yang dapat menggugurkan kewajiban. Masyaqqah jenis kedua ini terbagi lagi dalam tiga tingkatan:
1. Masyaqqah yang sangat berat dan umumnya sulit ditanggung (a’la).
2. Masyaqqah yang sangat ringan (adna).
3. Masyaqqah pertengahan (al-mutawassthah) yang berada pada titik interval di antara dua bagian sebelumnya.

3. Bila ditilik dari sisi hukumnya, rukhshah terbagi menjadi lima: Rukhshah wajib, Rukhshah sunnah, Rukhshah mubah, Rukhshah khilaf al-awla (lebih utama ditinggalkan), Rukhshah makruh.

4. Jika ditilik dari bentuknya, rukhshah terbagi menjadi enam: Takhfif Isqath: Rukhshah yang berbentuk pengguguran kewajiban; Takhfif Tanqish: Rukhshah yang berupa pengurangan kuantitas pekerjaan; Takhfif Ibdal: Rukhshah berbentuk penggantian; Takhfif Taqdim: Rukhshah dengan mendahulukan; Takhfif Ta’khir: Rukhshah berupa penundaan aktivitas; Takhfif Tarkhish: Rukhshah berbentuk peringanan.

5. Setidaknya ada tujuh obyek yang bisa mendapat rukhshah. Ketujuh obyek tersebut adalah paksaan (ikrah), lupa (nisyan), tidak tahu (jahl), kondisi sulit (‘usr), perjalanan (safar), sakit (maradh), dan nilai “minus” (naqsh).

6. Pada kaidah al-masyaqqah tajlib al-taysir ini, terdapat beberapa kaidah cabang, di antaranya:
(1) إِذَا ضَاقَ اْلأَمْرُ اتَّسَعَ ;

(2) إِذَا اتَّسَعَ اْلأَمْرُ ضَاقَ ;

(3) كُلُّ مَا تَجَاوَزَ عَنْ حَدِّهِ انْعَكَسَ إِلَى ضِدِّهِ .



DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Falsafah Hukum Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra

Bakry, Nazar, Drs. 1996. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Djazuli, Prof. H. A. 2006. Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana

Haq, Abdul, dkk. 2006. Formulasi Nalar Fiqh: Telaah Kaidah Fiqh Konseptual. Surabaya: Khalista

Mubarok, Jaih. 2002. Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah Asasi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Musbikin, Imam. 2001. Qawa’id al-Fiqhiyah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Rahman, Asmuni A. Drs. H. 1976. Qa’idah-Qa’idah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyah). Jakarta: Bulan Bintang

Usman, Muchlis, Drs. H. MA. 1999. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah: Pedoman Dasar Dalam Intinbath Hukum Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada