Jumat, 21 Februari 2014

Sejarah Perkembangan Persoalan Kalam



A. Faktor Penyebab Munculnya Persoalan Kalam

Agak aneh kiranya kalau dikatakan bahwa dalam islam, sebagai suatu agama, persoalan yang pertama-tama muncul adalah dalam bidang politik dan bukan dalam bidang teologi. Tetapi persoalan politik ini menjadi meningkat menjadi persoalan teologi. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa dalam sejarah Islam, ketika Nabi tidak menunjuk seseorang sebagai penggantinya menjadi khalifah dan persoalan itu sepenuhnya menjadi urusan ummat, maka muncul persaingan ketat antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin dalam memperebutkan masalah itu. Dalam pertemuan di Tsaqifah Bani Saidah telah terjadi suasana yang sangat panas dan menegangkan yang nyaris membawa ummat Islam kepada perpecahan dan kehancuran.

Di saat itu, masing-masing kelompok bersikeras bahwa merekalah yang patut menjadi khalifah pengganti Nabi. Dan yang pertama-tama yang membicarakan masalah ini adalah orang Anshar. Mereka mengklaim bahwa khalifah itu adalah hak mereka, karena kaum Anshar-lah yang telah membantu dan melindungi Nabi dari serangan kaum kafir Quraiys pada waktu dan sesudah hijrah. Sementara itu kaum Muhajirin juga mengklaim bahwa merekalah yang patut menjadi khalifah karena mereka orang-orang yang mula-mula masuk islam sebelum orang lain masuk islam dan Nabi berasal dari kalangan mereka.

Proses pemilihan khalifah yang panas dan menegangkan itu berubah menjadi dingin dan damai setelah Abu bakar mengingatkan kaum Anshar akan Hadits yang di sebutkan Nabi "Imam (pemimpin) itu dari orang Qurays". Akhirnya mereka sepakat mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Nabi dalam kedudukannya sebagai kepala negara. Dan tanda setia kepada khalifah dilakukan bai’at dengan berjabat tangan. Pada mulanya dari mereka yang hadir dalam pertemuan itu dan dilanjutkan dari rakyat banyak di Masjid Nabawi.

Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, kaum Anshar tidak pernah lagi terlibat dalam memperebutkan jabatan khalifah malahan pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, kaum Anshar ini telah kehilangan kedudukan dan pengaruh dalam pemerintahan. Mereka tidak memperoleh bagian apa yang seharusnya menjadi hak mereka dalam urusan-urusan pemerintahan.

Tidak terjunnya lagi kaum Anshar ke gelanggang politik seperti yang dijelaskan diatas, dapat diduga karena mereka sudah menyadari bahwa pemimpin itu dari orang Quraiys seperti yang diriwayatkan Abu Bakar terdapat Hadits Nabi yang menyatakan hal itu. Mereka telah ikhlas bahwa pemimpin ummat Islam diserahkan kepada orang-orang Quraiys.

Maka persaingan memperebutkan khalifah justru terjadi antara sesama Quraiys yaitu Bani Hasyim dan Bani Umayah, dua keturunan yang di masa jahiliyah juga bersaing. Kedua keturunan itu kini terwakili dalam diri Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan. Utsman akhirnya terpilih menjadi khalifah melalui musyawarah (majlis syura) dengan tata cara yang sudah diatur atas petunjuk khalifah Umar bin Khattab. Satu sisi pengangkatan Utsman sebagai khalifah kurang didukung oleh seluruh anggota majlis syura yang ditetapkan oleh Umar bin Khattab. Hal ini antara lain terlihat dari adanya dominasi Abdurrahman bin A’uf yang merupakan salah satu anggota majlis syura sekaligus ketua majlis syura tersebut, kurang memperhatikan suara anggota majlis lainnya. Ia kelihatan lebih menggunakan legalitas yang diberikan oleh Umar.

Demikian pula pengangkatan Utsman yang didasarkan pada sifat, kepribadian yang lunak dan keahlian di bidang administrasi tampaknya juga kurang tepat dijadikan pertimbangan pengangkatannya. Utsman tidak mempunyai kecerdasan sebagaimana yang dimiliki Abu Bakar, dan tidak pula mempunyai keberanian seperti Umar bin Khattab. Keramahan Utsman dan sifatnya yang cenderung menganggap kurang penting masalah-masalah yang tumbuh dalam pemerintahan, membuat ia menjadi alat yang gampang dibelokkan oleh tangan sanak saudaranya yang ambisius. Berdasarkan kenyataan di atas, wajar jika ia sulit menegakkan keadilan dan kebersamaan sebagai faktor penting dalam menjalankan pemerintahan.

Diantara khalifah al-Rasyidin yang empat, Utsman terhitung paling lama memerintah yaitu selama 12 tahun (24-35 H). Dalam menjalankan roda pemerintahan pada dasarnya garis kebijaksanaan yang dilaksanakan Utsman adalah mencoba mengacu kepada kebijakan yang pernah dibuat oleh pendahulunya yakni Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Seperti halnya Umar, Utsman juga melakukan perluasan wilayah Islam dan melakukan pembangunan dalam bidang infrastruktur. Pada masa beliau kekuasaan Islam semakin luas, pada bidang infrastruktur Beliau berhasil membangun berbagai sarana dan prasarana, seperti membangun bendungan untuk mengantisipasi banjir dan untuk kelancaran suplai air ke Madinah. Selain itu membangun jalan-jalan, jembatan, membangun perumahan penduduk, memperluas dan merenovasi Masjid Nabawi. Dan karya yang paling besar dibuat oleh khalifah Utsman dalam masa pemerintahannya adalah mengkodifikasi ayat-ayat Al-Quran ke dalam satu mushhaf yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit. Mushhaf tersebut dibuat lima buah, empat mushhaf dikirim ke wilayah Makkah, Syiria, Basrah dan Kufah dan satu tinggal di kota Madinah.

Dari penjelasan tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwasanya awal pemerintahan atau para sejarawan menyebut 6 tahun pertama pemerintahan Utsman dapat berjalan dengan baik. Pada enam tahun kedua, pemerintahan Utsman mulai goyah dan terguncang. Khalifah Utsman dinilai oleh sebagian sahabat telah memperlihatkan kebijaksanaan politik yang tidak bijaksana. Ia, misalnya dipandang melakukan kebijakan politik yang bernuansa nepotisme, cenderung mengutamakan orang dekat dan kalangan keluarga.

Secara pribadi, Utsman tidaklah berbeda dengan dua orang khalifah pendahulunya. Hanya saja ia tampak lemah menghadapi rongrongan keluarga dekatnya dari Bani Umayyah, yang selalu menuntut kedudukan dan jabatan. Lebih parah lagi, mayoritas pejabat penting, gubernur yang diangkat oleh khalifah Utsman ternyata tidak mampu menjalankan tugasnya untuk keadilan dan kepentingan rakyat, bahkan ada di antara mereka ada yang terkenal berakhlak tercela. Sikap dan tindakan para pejabat daerah yang tidak memikirkan kepentingan bahkan merugikan rakyat ini, sudah barang tentu mengundang antipati ummat bahkan berakibat fatal terhadap diri khalifah Utsman sendiri.

Melihat adanya kebijakan khalifah Utsman yang dinilai nepotis dan kurang tepat, ditambah tindakan para pembantunya yang tidak terpuji, sebagian sahabat yang semula mendukung khalifah Utsman, mulai menjauh. Sementara itu di daerah-daerah, karena berbagai penyimpangan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh para pejabat, perasaan antipati rakyat terus bergejolak.

Di Mesir, sebagai reaksi terhadap perilaku gubernur Abdullah Ibn Abi Sarh, yang bertindak semenah-mena terhadap rakyatnya, sejumlah pengunjuk rasa berkumpul dan berangkat menuju Madinah menghadap khalifah Utsman untuk menyampaikan keberatan mereka tentang pergantian gubernur tersebut, seraya menyampaikan ketidaksenangan mereka akan perilaku gubernur yang baru.

Kehadiran kelompok pengunjuk rasa dari Mesir ini ternyata berakibat buruk dan fatal bagi khalifah Utsman yang mana Beliau mati terbunuh mengenaskan oleh oknum para pengujuk rasa. Dengan wafatnya khalifah Utsman bin Affan menurut Prof. Dr. Harun Nasution telah memicu munculnya persoalan kalam yang akhirnya berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.

Setelah Utsman wafat, Ali sebagai calon terkuat menjadi khalifah yang keempat dan ditetapkan melalui pemilihan yang penyelenggaraannya jauh dari sempurna. Setelah para pemberontak membunuh Utsman, mereka mendesak Ali agar bersedia menjadi khalifah. Pada waktu itu Madinah dapat dikatakan kosong. Banyak sahabat senior yang sedang berkunjung ke wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan, dan hanya sedikit yang tinggal di kota Madinah, seperti Thalhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam.

Selain itu tidak semua yang masih ada di Madinah itu sepenuhnya mendukung Ali seperti halnya Sa’ad bin Abi Waqas dan Abdullah bin Umar. Thalhah dan Zubair termasuk kelompok yang menentang kekhalifahan Ali. Mereka berdua kemudian bergabung dengan ‘Aisyah untuk menentang kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Namun tantangan dari ‘Aisyah, Thalhah dan Zubair dapat dipatahkan oleh Ali dalam suatu pertempuran di Irak pada tahun 656 M. Thalhah dan Zubair mati terbunuh, sedangkan ‘Aisyah dikirim kembali ke Makkah. Peperangan tersebut dalam sejarah disebut perang jamal.

Tantangan kedua datang dari Muawiyah, gubernur Damaskus dan keluarga dekat dari Utsman. Jika Abu Sofyan sebagai penentang utama Nabi yang gigih pada awal Islam, maka muawiyah juga melakukan hal yang sama kepada Ali. Muawiyah tidak mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Dulu Abu sofyan dan Muawiyah mengakui kerasulan Nabi Muhammad karena sudah terdesak dan tidak ada ada jalan lain kecuali melakukan hal itu. Kini Muawiyah punya banyak pendukung untuk menentang khalifah Ali karena orang-orang Bani Umayyah dalam jumlah ribuan telah berkumpul di Syiria, pada waktu pengangkatan Ali sebagai khalifah mereka menyatakan bergabung dengan Muawiyah.

Selain itu Muawiyah punya dana finansial yang lumayan banyak jumlahnya, karena ia menguasai seluruh sumber yang ada di Syiria yang luas dan subur. Maka berarti Muawiyah telah siap secara personil dan finansial untuk menghadapi Ali berperang. Oleh karena itu Muawiyah bersikeras menolak kekhalifahan Alidan malahan menentangnya meletakkan jabatan itu.

Ali bin Abi Thalib sebenarnya punya landasan yang kuat sebagai khalifah, ia dipilih secara demokratis, melalui proses pemilihan yang demokratis juga, karena rakyat sebelum memilih Ali bin Abi Thalib, mereka juga telah menawarkan jabatan itu kepada sahabat yang lain, seperti kepada Sa’ad bin Abi Waqqas akan tetapi semua mereka menolak, maka Ali secara terpaksa demi kepentingan Islam mau menerima jabatan itu, ia di bai’at oleh rakyat banyak, walaupun diakui juga bahwa ada beberapa sahabat senior tidak memberikan bai’at kepadanya. Tapi hal itu dalam pemerintahan demokrasi tidak mengurangi otoritasnya sebagai khalifah. Dengan demikian, tidak ada alasan sebenarnya untuk mengatakan bahwa Ali tidak sah sebagai khalifah.

Maka adanya penolakan Muawiyah terhadap kepemimpinan Ali lebih mengkedepankan masalah pribadi dibanding masalah lainnya. Muawiyah tidak bisa mempermasalahkan keabsahan khalifah Ali sebagai pemimpin. Bagaimanapun juga Ali sah sebagai khalifah dan ambisi Muawiyah menjadi khalifahlah yang memotivasi dia menentang Ali karena menolak memberikan jabatan itu kepada Bani Hasyim.

Muawiyah memanfaatkan pembunuhan khalifah Utsman untuk menarik simpati rakyat dan menjatuhkan nama khalifah Ali di mata ummat Islam. Dia membangkitkan kemarahan rakyat dengan memperlihatkan baju Utsman yang berlumuran darah digantungkan di Masjid. Dia menuntut khalifah Ali menemukan dan menghukum para pembunuh khalifah Utsman. Muawiyah bahkan menuduh Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu. Salah seorang pemuka pemberontak-pemberontak Mesir, yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh Utsman adalah Muhammad ibn Abi Bakr, anak angkat dari Ali ibn Abi Thalib. Dan pula Ali tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad ibn Abi Bakr diangkat menjadi gubernur Mesir.

Maka tidak ada alternatif lain bagi Ali kecuali memerangi Muawiyah. Karena Muawiyah dipandangnya sebagai pembangkang maka dia harus diperangi. Oleh karena itu bersama 50.000 orang tentaranya khalifah Ali berangkat menuju ke utara dan di suatu tempat yang bernama Shiffin, di sebelah barat sungai Euprat, ia bertemu dengan pasukan Muawiyah sebanyak 70.000 orang. Ikut bersama Ali delapan ratus sahabat yang membai’at bai’atur ridwan, sedangkan bersama Muawiyah beberapa qurra’, ahli ibadah dan beberapa sahabat, malah bersama pasukan Muawiyah terdapat ‘Aqil bin Abu Thalib, saudara Ali sendiri.

Untuk menghindari pertumpahan darah di kalangan ummat Islam khalifah Ali ingin menyelesaikan perselisihan itu dengan cara damai namun muawiyah tidak menyetujui perdamaian dengan syarat apapun. Karena usaha penyelesaian secara damai menemui jalan buntu atau gagal, maka pertumpuhan darahpun meletus yang mana dalam sejarah dikenal dengan peperangan shiffin yang berlangsung pada tanggal 10 shafar tahun 37 H.
Pertempuran terjadi antara kedua lasykar berlangsung beberapa hari lamanya.

Ali dengan keberanian pribadinya dapat membangkitkan semangat dan kekuatan lasykarnya, sehingga kemenangan sudah membayang baginya. Muawiyah yang sudah cemas dan kehilangan akal, buru-buru memanggil Amr bin ‘Ash dan berkata: mana simpananmu wahai Amr bin Ash? Keluarkanlah! Kita sudah hampir binasa! Amr bin Ash berseru kepada pasukannya: barang siapa yang membawa mushhaf supaya diangkat dengan tombaknya keatas! Mendengar seruan tersebut beberapa orang pasukan Amr bin Ash mengangkat mushhaf dengan ujung tombaknya, dengan seruan yang ditujukan kepada pasukan Ali. Inilah kitabullah yang akan menjadi hakim antara kami dan kamu.

Khalifah Ali mengetahui bahwa hal itu adalah tipu daya, akan tetapi para Qurra’ dan ahli ibadah takut kalau tidak menerima Al-Quran sebagai hukum, mereka lalu menemui Ali untuk meminta supaya ia menerima penghukuman (tahkim) dengan Al-Quran tersebut. Ali bin Abi thalib menesehati mereka bahwa itu adalah tipu daya, akan tetapi mereka tidak puas dengan jawaban Ali, mereka terus mendesak hingga Ali menerima dengan terpaksa, lalu mengutus seseorang untuk menemui Muawiyah dan menanyakan maksud tujuan diangkatnya mushhaf. Ia berkata, wahai Muawiyah, kenapa engkau mengangkat mushhaf? Muawiyah menjawab, supaya engkau dan kami kembali terhadap apa yang diperintahkan Allah dalam kitab-Nya, engkau kirim satu utusan dan kami kirim satu utusan pula, kemudian kita bersepakat untuk melaksanakan apa yang ada dalam kitab Allah tersebut dan tidak melanggarnya.

Mungkin Muawiyah menggunakan ayat ini sebagai landasannya yang ma’nanya: Jika engkau takut terjadi perselisihan di antara mereka berdua, maka utuslah hakim dari keluarga suami dan utus pula keluarga dari pihak isteri, jika keduanya mengharapkan perdamaian semoga Allah memberikan taufik kepada keduanya. Dan ayat: Dihukumi oleh dua orang adil diantara kamu.

Kemudian kedua pihak sepakat bertahkim setelah melewati dialog panjang. Yaitu masing-masing kedua belah pihak yakni Ali dan Muawiyah mengangkat seorang hakim dari pihaknya. Kemudian kedua juru runding tersebut membuat kesepakatan yang membawa maslahat bagi kaum muslimin. Muawiyah menunjuk Amr bin ‘Ash sebagai wakilnya, dan dari pihak Ali, khalifah Ali bin Abi thalib ingin menunjuk Abdullah bin Abbas sebagai wakilnya, namun para Qurra’ menolaknya, mereka berkata, kami tidak menerima selain Abu Musa al-‘Asy’ari. Kemudian Ali kembali berkata, aku akan menunjuk al-Aystar sebagai juru runding! Mereka berkata, tidakkah yang menyalakan api peperangan melainkan Asytar itu sendiri? Ali berkata, lakukanlah apa yang kalian sukai.

Amr bin ‘Ash sangat berkepentingan dengan Muawiyah, jika Muawiyah menang ada harapan kehidupannya pun cemerlang, selain itu masih ada pertalian keluarga antara Amr bin ‘Ash dengan Muawiyah. Tidak demikian halnya dengan Abu Musa al-Asy’ari, ia tidak punya kepentingan politik dengan Ali bin Abi Thalib dan nasibnya tidak ada sangkut pautnya dengan nasib Ali, lebih dari itu ia adalah bekas gubernur Kufah yang baru dipecat Ali bin Abi Thalib dan diganti dengan Ammarah ibnu Syihab, akan tetapi ditolak penduduk Kufah dan mereka tetap menginginkan Abu Musa al-Asy’ari.

Jadi hubungan batin antara khalifah Ali dengan Abu Musa al-Asy’ari seakan-akan hambar dan tidak hangat. Maka tidak mengherankan jika Amr bin ‘Ash mati-matian membela Muawiyah dan mencurahkan seluruh tenaganya dan berbagai daya upaya, mempergunakan siasat dan tipu muslihat untuk memenangkan Muawiyah dan tidak demikian halnya dengan Abu Musa al-Asy’ari dalam memperjuangkan Ali bin Abi Thalib.

Dibelakang Amr bin ‘ash berdiri pasukan meliter yang masih kuat yang belum bener-benar kalah dalam peperangan shiffin, tetapi di belakang Abu Musa al-Asy’ari hanya ada tentara yang telah terpecah belah dan tidak bersatu padu.

Akhirnya tahkim dilaksanakan pada bulan Ramadhan tahun 37 H. Di suatu tempat yang bernama Daumatul Jandal, antara Madinah dan Damaskus. Bertemulah dua hakim yang mewakili dua golongan, disini nampaklah kepandaian Amr bin ‘Ash, karena ia tahu bahwa Abu Musa tidak pernah terlibat dalam fitnah dan ia sangat tahu dengan fitnah tersebut. Untuk itu ia harus menggiring Abu Musa dari sisi emosinya agar ia mau menerima rencana dari Muawiyah. Amru bin ‘Ash memang lebih mampu dan berani untuk memutar permasalahan sehingga mendapatkan hasil yang memuaskan.

Materi perundingan pertama adalah apakah Utsman bin Affan terbunuh secara zhalim. Dalam hal ini, Amr bin ‘Ash berkata kepada Abu Musa. Wahai Abu Musa, bukankah engkau mengetahui bahwa Utsman dibunuh dengan zhalim? Ia menjawab, “Ya”. Kemudian Amr bin ‘Ash berkata lagi, bukankah engkau telah mengetahui bahwa Muawiyah dan keluarganya adalah para wali dari pada Utsman? Ia menjawab, “Ya”. Lalu Amr bin ’Ash membaca ayat:

Artinya: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (QS Al-Isra’: 33)

Materi perundingan kedua adalah siapa yang tepat untuk menjadi khalifah. Abu Musa menginginkan Abdullah bin Umar, sementara Amr bin ‘Ash menampilkan Muawiyah bin Abi Sofyan. Masing-masing mempertahankan pendiriannya, karena tidak tercapai kesepakatan, mereka memutuskan menjatuhkan Ali dan Muawiyah dari kedudukannya masing-masing dan menyerahkan masalah khalifah selanjutnya kepada ummat Islam.

Dari perundingan yang dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa ternyata Amr bin ‘Ash sangat gigih memperjuangkan Muawiyah. Hasil perundingan pertama, membawa kemenangan pada pihak Muawiyah, sebab jika Muawiyah yang paling pantas menuntut kematian Utsman, maka sekiranya ia berperang lagi melawan Ali, maka ia tidak dipandang lagi sebagai pembangkang tapi sebagai orang yang menuntut haknya atas kematian Utsman bin Affan.

Sedangkan materi kedua Amr bin ‘Ash tetap bersikukuh mengusulkan Muawiyah menjadi khalifah. Sementara Abu Musa justru mengusulkan Abdullah ibnu Umar. Dari sikap Abu Musa ini menjadi suatu indikator bahwa ia tidak begitu setia kepada Ali bin Abi Thalib.

Selanjutnya hasil keputusan itu akan disampaikan kepada orang banyak. Abu Musa tampil yang pertama kepada khalayak ramai dan menyampaikan sesuai dengan isi persetujuan yang telah mereka sepakati. Tetapi Amr bin ‘Ash yang berbicara kemudian, menguatkan pelengseran Ali dari jabatan khalifah dan menetapkan Muawiyah sebagai khalifah.

Pernyataan Amr bin ‘Ash yang kontroversial itu menimbulkan kebingungan dan kekecewaan. Hasil tahkim tidak diterima Ali karena ia berpendapat kedua arbiter telah menyimpang dari Kitabullah dan Sunnah Rasul. Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa ummat Islam tidak terikat dengan keputusan itu. Ia merasa dirinya tetap sebagai khalifah dan Muawiyah sebagai pembangkang.

Melihat hasil tahkim yang demikian, kelompok al-Qurra’ dari barisan khalifah Ali kontan menolak dengan keras, dan lebih dari itu mereka menyalahkan kebijakan tahkim itu sendiri. Kelompok yang tidak setuju dengan tahkim ini akhirnya mengambil sikap ekstrem keluar dari barisan khalifah Ali. Karena itulah kelompok ini terkenal dengan sebutan kaum Khawarij. Selanjutnya golongan khawarij ini mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang berbau teologis. Mereka misalnya memandang bahwa Ali, Muawiyah, Amr bin ‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan orang-orang yang menerima tahkim atau arbitrase adalah orang-orang kafir karena Al-Quran mengatakan:

Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS Al-Maidah: 44)

Pernyataan kafir yang mereka kemukakan itu sudah bukan lagi persoalan politik tetapi persoalan yang dibahas dalam teologi. Itulah sebabnya Harun Nasution mengatakan bahwa persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik sebagaimana yang digambarkan di atas akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan teologi.

Dalam pada itu Fazlur Rahman berkata bahwa pernyataan pertama yang muncul dalam Islam yaitu tetapkah seorang muslim sebagai muslim setelah melakukan dosa besar? Atau cukupkah iman itu dengan hati dan ucapan? Atau haruskah iman itu dinyatakan dalam perbuatan-perbuatan sedemikian rupa? Golongan khawarij menegaskan bahwa seorang pelaku dosa besar tidak lagi seorang muslim dan mengalihkan perang suci terhadap mereka merupakan kewajiban.

Sebagai reaksi terhadap pandangan kaum khawarij timbullah kaum Murji’ah. Menurut kelompok Murji’ah orang Islam yang berdosa besar tidak menjadi kafir, tetapi tetap mukmin. Soal dosa besar yang bersangkutan, mereka serahkan kepada keputusan Allah di hari perhitungan kelak. Kalau dosa besarnya diampuni Allah, ia segera masuk surga, dan kalau tidak, ia akan masuk neraka untuk jangka waktu sesuai dengan dosa yang dilakukannya dan kemudian ia masuk surga.

Mereka disebut kaum Murji’ah, karena menangguhkan persoalan dosa besar yang dilakukan seseorang kepada Allah di hari kiamat nanti. Mereka tidak menghukum pelaku dosa besar di dunia ini dengan menjadi kafir dan menganggap tidak masuk surga, melainkan menundanya pada keputusan Allah di hari akhirat.

Selain masalah orang Islam yang berdosa besar, muncul pula masalah takdir Tuhan. Masalah ini muncul berkenaan dengan kedudukan Tuhan sebagai pencipta alam semesta, termasuk Tuhan di dalamnya. Tuhan bersifat Maha Kuasa dan mempunyai kehendak mutlak. Disini timbullah pertanyaan sampai manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Diberi Tuhankah manusia kemerdekaan dalam perjalanan hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?

Dalam masalah ini muncul dua aliran teologi yakni paham Qadariyah dan paham Jabariyah. Menurut paham Qadariyah bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengetian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.

Sedangkan dalam pandangan paham jabariyah, Tuhan telah menakdirkan perbuatan manusia sejak awal, dan pada hakikatnya manusia tidak memiliki kehendak dan qudrah. Manusia tak ubahnya seperti debu yang diterbangkan angin. Manusia dipaksa (majbur) oleh Tuhan. Menurut paham jabariyah bahwa manusia bertindak karena Tuhan, dan segala gerak geriknya ditentukan oleh-Nya.

Sehubungan dengan masalah orang yang berbuat dosa besar sebagaimana yang diperdebatkan oleh kaum Khawarij dan Murjiah, timbul pula kaum mu’tazilah, sebagai aliran ketiga dalam ilmu kalam. Bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir bukan pula mukmin. Orang yang seperti ini menurut mereka mengambil posisi di antara kedua posisi mukmin dan kafir yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi).

Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasionil ini mendapat tantangan keras dari golongan tradisionil Islam, terutama golongan Hambali, yaitu pengikut-pengikut madzhab Ibn Hambal. Politik menyiarkan aliran Mu’tazilah secara kekerasan berkurang setelah khalifah al-Ma’mun meninggal pada tahun 833M, dan akhirnya aliran Mu’tazilah sebagai madzhab resmi negara dibatalkan oleh khalifah al-Mutawakkil pada tahun 856M.

Perlawanan terhadap aliran Mu’tazilah tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak berpaham Mu’tazilah, namun juga dilakukan oleh orang-orang Mu’tazilah itu sendiri. Perlawanan dari orang-orang tersebut kemudian mengambil bentuk aliran teologi baru yang bercorak tradisional yang dimajukan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari yang akhirnya membentuk aliran baru yang dikenal dengan nama aliran teologi Asy’ariyah.

Disamping aliran Asy’ariyah terdapat pula di Samarkand suatu aliran yang bermaksud menentang aliran Mu’tazilah. Aliran ini didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi. Aliran ini pada perkembangan selanjutnya terkenal dengan nama aliran teologi al-Maturidiah.

Dengan memperhatikan uraian di atas, nampaklah bahwa aliran-aliran teologi yang terdapat dalam Islam yang timbul dari peristiwa politik itu ada lima, yaitu Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Aliran Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah tidak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah, sedangkan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah yang keduanya kemudian dikenal dengan aliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah masih ada dan dianut oleh masyarakat Islam sampai sekarang. Aliran Maturidiyah banyak dianut oleh ummat Islam yang bermazdhab Hanafi, sedangkan aliran Asy’ariyah pada umumnya dianut oleh ummat Islam Sunni lainnya.

Namun dengan masuknya kembali paham rasionalisme ke dalam dunia Islam melalui kebudayaan Barat modern, ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah mulai timbul kembali, terutama di kalangan intelegensia Islam yang mendapat pendidikan Barat. Kata neo-Mu’tazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai Islam.

B. Sejarah Ilmu Kalam

1. Ilmu Kalam di Awal Sejarah Pemikiran Islam

Pada awal-awal sejarah pemikiran dalam Islam, ilmu kalam, tidak seperti ilmu Fiqh, kurang mendapat perhatian bahkan tidak disetuji di kalangan muslimin. Sikap ummat yang demikian tidak terlepas dari pengaruh pola pembinaan keimanan di masa-masa awal Islam itu sendiri, yaitu masa Rasulullah dan para sahabatnya.

Pada masa Rasulullah penanaman, pembinaan, dan cara penerimaan keimanan cukup melalui hati, al-tashdiq bi al –qalbi. Sementara itu, suatu keimanan sudah dipandang cukup dengan mengimani apa yang harus diimani secara global, tanpa membicarakannya lebih jauh dan mempertanyakan secara detail dan mendalam. Para sahabat tidak pernah mempertanyakan lebih jauh masalah- masalah keimanan. Mereka telah puas mengimani melalui pembenaran hati terhadap apa-apa yang disampaikan oleh Rasulullah, tanpa mempersoalkan dan mempertimbangkannya melalui analisa akal. Di masa Rasulullah, tidak ada seorang sahabatpun yang mempertanyakan, misalnya, bagaimana cara Allah ber-istiwa' di ‘Arasy, seperti yang dikemukakan dalam Al-Quran.

Sekiranya ada yang mempertanyakan hal tersebut, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Mahmuda Subhi, niscaya ia akan menerima jawaban seperti yang diberikan oleh Imam Malik, bahwa istiwa itu sudah jelas, bagaimananya tidak dapat diketahui, mempertanyakannya adalah bid’ah dan mengimaninya adalah wajib.

Kenyataan Rasulullah tidak pernah membicarakan masalah keimanan secara rinci, melainkan menganjurkan ummat cukup mengimaninya tanpa banyak bertanya, menyebabkan para sahabat dan tabi’in tidak berkenan bahkan melarang membicarakan masalah-masalah keimanan secara kalam, dalam arti memperbincangkannya secara detail berdasarkan argumen dan analisis rasional.

Bagaimana Imam Malik misalnya, salah satu tokoh Tabi’in, menyampaikan fatwa kepada para muridnya seraya berkata: hati-hatilah kalian terhadap para pelaku bid’ah. Muridnya berkata, siapakah gerangan mereka itu? Ia menjawab, mereka adalah yang memperbincangkan perihal nama, sifat, kalam, ilmu dan kekuasaan Allah, mereka memperbincangkan apa yang sengaja tdak dibicarakan oleh para sahabat dan tabi’in.

Demikian, ilmu kalam sama sekali tidak mendapat tempat di masa-masa awal Islam. Pada masa Rasulullah, sahabat dan generasi tabi’in, belum ada pembicaraan masalah aqidah dan keimanan secara kalami yang berdasarkan analisis mendalam dan argumen rasional. Para sahabat dan tabi’in mengimani materi pokok aqidah yang disampaikan oleh Rasulullah secara global dan sepenuh hati, tanpa mempertanyakan secara detail dan rinci, apalagi mempersalahkan dan memperdebatkannya.

2. Sejarah Lahir dan Definisi Ilmu Kalam

Sebutan ilmu kalam sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri untuk pertama kalinya dipakai pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun, yang dipelopori oleh kaum Mu’tazilah yang mengadopsi filsafat Yunani dan memadukannya dengan metode ilmu kalam. Sungguhpun demikian, sebagai wacana jauh sebelumnya Hasan Al-Basri (642-728) telah menggunakan istilah kalam untuk mengacu kepada pembahasan tentang persoalan kebebasan manusia dan taqdir dalam konteks pertentangan pendapat antara kaum Qadariyah dan Jabariyah.

Untuk memahami ilmu kalam, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kalam. Secara harfiyah, kalam berarti pembicaraan atau perkataan. Didalam lapangan pemikiran Islam, istilah kalam memiliki dua pengertian: Pertama, sabda Allah dan kedua ilmu Al-kalam. Pengertian yang kedua ini lebih menunjukkan kepada teologi dogmatik dalam islam.

Didalam Al-Quran, istilah kalam dapat ditemukan dalam ayat-ayat yang berhubungan dengn salah satu sifat Allah, yakni lafazh kalamullah. Hal ini dapat kita lihat dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 75:

Artinya: Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui? (Q.S. Al-Baqarah: 75)

Dengan demikian, secara harfiyah perkataan kalam berarti pembicaraan atau perkataan. Sedangkan menurut ayat tersebut istilah kalam berarti firman Allah, sebagaimana juga menurut para mufassir, sebutan kalam tiada lain adalah menunjukkan pengertian kalamullah.

Setelah memahami arti kalam secara harfiyah, selanjutnya kita akan membahas pengertian kalam secara maknawiyah, atau yang secara metodologis lebih mendekati kepada pengertian keilmuan. Ada beberapa pengertian atau definisi ilmu kalam yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya:

a. Ibn Khaldun, menurutnya ilmu kalam adalah ilmu yang memuat diskusi-diskusi tentang aqidah atau keimanan berdasarkan argumen rasional dan berisi bantahan terhadap para pelaku bid’ah yang menyimpang dari madzhab salaf dan Ahlu al-Sunnah.

b. Al-Tahanawi, menurutnya ilmu kalam adalah ilmu yang dengannya aqidah agama (Islam) dapat diyakinkan kepada orang lain dengan cara mengemukakan berbagai argumen dan menangkis berbagai keraguan.

c. Al-Iji, menurutnya ilmu kalam adalah ilmu yang dengannya aqidah agama dapat ditetapkan dengan mengemukakan argumen-argumen dan menangkis berbagai kerancuan serta keraguan.

Dari berbagai definisi yang ada di atas, dapat kita ambil sebuah kesimpulan bahwasanya ilmu kalam adalah ilmu keislaman yang membahas masalah aqidah atau keimanan berdasarkan argumen rasional dan tentu saja, tanpa mengesampingkan nash Al-Quran dan Al-Sunnah. Didalam pembahasannya, para mutakallimin lazim mengetengahkan dalil rasional terlebih dahulu, lalu kemudian memperkuatnya dengan dalil nash Al-Quran dan Al-Sunnah.

3. Faktor pendorong Lahirnya Ilmu Kalam

Ilmu kalam, seperti lazimnya seluruh bidang ilmu, tidak lahir dari ruang yang kosong. Lahirnya ilmu ini sangat terkait dengan berbagai faktor, baik faktor intern maupun faktor ekstern. Adapun faktor intren yang mendorong lahirnya ilmu kalam antara lain:

1. Al-Quran

Kandungan Al-Quran sangat banyak menyinggung masalah tauhid dan masalah lainnya yang menjadi materi bahasan di dalam ilmu kalam. Di dalam menyerukan dakwah tauhidiah, misalnya Al-Quran lazim mengemukakan keyakinan agama atau golongan lain, lalu menunjukkan kelemahan serta melontarkan sanggahan. Al-Quran antara lain, membantah paham politeisme (QS. 21: 22), membantah orang-orang yang mempertuhankan Isa AS (QS. 3: 59) dan menyanggah orang-orang yang mengingkari hari kebangkitan (QS. 21: 104).

Al-Quran juga menganjurkan berdakwah dan memperbolehkan perdebatan dengan tutur kata dan cara yang baik. Namun perlu digarisbawahi, kebolehan debat ini sebatas dipandang perlu dan bersifat eksidentil, sejauh orang yang menjadi sasaran dakwah itu menggunakan cara debat.

Al-Quran sudah barang tentu, bukan kitab debat dan dakwahnya kepada iman tidak pula menggunakan metode perdebatan. Adalah wajar kalau para mutakallimin gigih membela Islam dihadapan orang-orang yang menentangnya melalui perdebatan dan terus berusaha memperbaharui argumen mereka di hadapan setiap lawan yang menampilkan argumen baru.

Demikian, ilmu kalam lahir atas pengaruh dan berdiri atas sumber Al-Quran itu sendiri. Materi dan metode ilmu kalam, seperti telah disinggung, pada hakikatnya adalah bermuara dan bersumber dari Al-Quran.

2. Kondisi Sosial Dunia Islam

Islam telah memiliki kekuatan serta stabilitas politik yang menjamin suasana tenang, ditambah tercapainya kemakmuran. Sementara Rasulullah SAW, sebagai satu-satunya tempat bertanya sudah kembali kehariban Ilahi Rabbi, maka ummat Islam mulai memanfaatkan waktu senggang mereka dan berbagai fasilitas untuk mempelajari ajaran agama secara lebih mendalam berdasarkan analisis rasional.

Mereka mulai membahas, menganalisis dan membandingkan ayat-ayat yang secara harfiyah kontradiktif, seperti antara ayat yang mengisyaratkan sikap jabari di satu pihak dan yang menekankan sikap ikhtiari di pihak lain. Mereka mulai memperbincangkan dan menganalisis masalah-masalah keimanan seperti masalah qadha dan qadar yang oleh generasi sebelumnya tidak pernah diperbincangkan.

3. Kondisi Politik

Sepeninggal Rasulullah SAW, ummat Islam segera terlibat dalam pembicaraan mengenai masalah politik sekitar khilafah, yaitu tentang pengganti Rasulullah untuk memimpin negara Islam yang baru ditinggalkan pendirinya. Persoalan politik ini dapat diselesaikan dan Abu Bakar terpilih sebagai khalifah yang pertama.

Ketika pemerintahan dipegang oleh Khalifah Utsman, suasana politik Islam mulai bergolak, yang mengakibatkan kematian berdarah sang Khalifah. Ketika jabatan Khalifah ditempati oleh Ali bin Abi Thalib, kaum Muslimin telah terpecah menjadi beberapa kelompok kepentingan politik.

Pembangkangan Mu’awiyah terhadap khalifah Ali berakibat bentrok meliter di medan perang Shiffin. Upaya damai dilakukan melalui majlis tahkim atau arbitrase. Namun hasil tahkim yang dinodai oleh kelicikan politik dari pihak Mu’awiyah menyebabkan sebagian pengikut Ali tidak puas dan menyatakan keluar dari barisan Khalifah, mereka membentuk kelompok sendiri yang dikenal dengan nama Khawarij.

Kelompok inilah yang memunculkan persoalan kalam di tengah-tengah perselisihan politik, dengan menyebut kafir para lawan politiknya yang terlibat dalam tahkim. Sejak itulah persoalan kalam muncul dalam perbincangan ummat yang pada gilirannya melahirkan ilmu kalam.

Disamping faktor intern seperti telah diuraikan, lahirnya ilmu kalam sedikit banyaknya, juga tidak lepas pengaruh faktor ekstern yang datang dari luar Islam. Faktor ekstern yang dimaksud antara lain:

1. Paham Agama Lain

Paham agama lain ini masuk atau terbawa oleh Ummat agama lain yang berkonversi kepada Islam, seperti Yahudi dan Nashrani. Di tengah-tengah keberagamaan mereka di dalam Islam, ada kalanya ajaran dan metode pemahaman agama sebelumnya, terutama yang berkaitan dengan masalah akidah, secara tidak sengaja mereka munculkan dalam konteks keislaman yang tidak jarang memancing munculnya persoalan-persoalan yang lain.

2. Kontak dengan Ummat Agama Lain

Pertemuan Ummat Islam dengan ummat agama lain, terutama yahudi dan Nashrani, tidak jarang menimbulkan diskusi dan perdebatan agama. Karena ummat agama lain tersebut menggunakan argumen filosofis, maka untuk mengimbanginya, ummat Islam pun harus menggunakan argumen serupa. Keharusan Muslimin membela dan menyebarkan agama Islam di hadapan orang-orang yang terbiasa menggunakan argumen rasional ini, sedikit banyaknya, ikut mendorong lahirnya ilmu kalam di dunia Islam.

Membandingkan mana di antara dua kategori faktor tersebut yang lebih dominan, dapat dikatakan faktor intern lebih dominan, tanpa menafikan sama sekali faktor ekstern. Untuk mengatakan ilmu kalam sebagai ilmu yang murni berasal dari Islam mungkin terasa kurang tepat, tetapi lebih tidak tepat lagi kalau dikatakan ilmu tersebut sebagai yang dibawa dan diimpor dari luar.

Barangkali ungkapan yang tepat adalah bahwa ilmu kalam lahir sebagai hasil perenungan kaum muslimin terhadap aqidah Islam itu sendiri, yang mengacu kepada kandungan Al-Quran. Hanya saja didalam pembahasan rasionalnya ilmu ini meminjam, tidak seluruhnya, metode mantik dan filsafat.

Sebelum berargumen secara rasional, bagaimanapun, para mutakallimin sudah mempunyai keyakinan yang kuat terhadap kebenaran tema kalam yang didapat dari keterangan sumber Islam tersebut, Al-Quran dan Al-Sunnah. Argumen rasional yang dipergunakan lebih dimaksudkan sebagai penguat terhadap apa yang telah diyakini.

WALLAHU A’LAM BISHSHAWAB



DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, Dan Tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1998

Adeng Muchtar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam Dari Klasik Hingga Modern, Bandung, Pustaka Setia, 2005

Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta, Pustaka Al Husna, 1992

Al-Hafizh Ibnu Katsir, perjalanan Hidup Empat Khalifah Rasul yang Agung, Edisi Indonesia, Jakarta, Darul Haq, 2011

Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam, Bandung, CV Pustaka Setia, 2007

Asmal Mai, Sejarah Perkembangan kebudayaan dan Peradaban Islam, Pekanbaru, Suska Press, 2010

Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, UI PRESS, 1986

Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam Jilid 1, Padang, IAIN, IB Press, 2002

Mustapa P, M. Quraish Shihab membumikan Kalam di Indonesia,Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010

Suryan A. Jamrah, Studi Ilmu Kalam, Pekanbaru, PPS UIN Suska Riau, 2008

Syamruddin Nasution, Arbitrase Menjadi Penyebab Timbulnya Sekte-sekte dalam Islam, Pekanbaru, Yayasan pustaka Riau, 2011

Yusuf Al’isy, Sejarah Dinasti Umawiyah Edisi Indonesia, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2007



Mata kuliah: Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam
Dosen pembimbing: DR. Khairunnas Rajab, M.Ag

Disusun oleh: GUSRIANTO
NIM. 21194104099

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2012