Minggu, 09 Januari 2011

Nikah dan Memilih Calon Isteri

BAB I
PENDAHULUAN

Pernikahan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk-Nya, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Pernikahan merupakan suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak, dan melestarikan kehidupannya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan.
Tuhan tidak mau menjadikan manusia seperti makhluk lain, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarkhi tanpa adanya suatu aturan. Oleh karena itu, untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan manusia, Allah wujudkan hukum yang sesuai dengan martabatnya. Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling meridhai, dengan upacara ijab qabul sebagai lambang dari adanya rasa saling meridhai serta dihadiri oleh para saksi yang menyaksikan bahwa kedua pasangan tersebut telah saling terikat.
Islam dalam menganjurkan pernikahan menggunakan beberapa cara. Sekali, disebutnya sebagai salah satu sunnah para nabi dan petunjuknya, yang mereka itu merupakan tokoh-tokoh teladan yang wajib diikuti jejaknya (QS. Ar-Ra’d [13]: 38). Terkadang disebutnya sebagai satu karunia yang baik (QS. An-Nahl [16]: 72). Terkadang dikatakannya sebagai salah satu tanda kekuasan-Nya (QS. Ar-Rum [30]: 21).
Terkadang ada orang yang ragu-ragu untuk menikah karena sangat takut memikul beban berat dan menghindarkan diri dari kesulitan-kesulitan. Islam memperingatkan bahwa dengan menikah, Allah akan memberikan kepadanya jalan kecukupan, menghilangkan kesulitan-kesulitannya dan memberikan kekuatan untuk mengatasi kemiskinannya (QS. An-Nur [24]: 32).
Begitu juga dalam memilih calon isteri, Islam juga memberikan tuntunan kepada umatnya. Isteri merupakan tempat penenang bagi suaminya. Juga tempat menyemaikan benihnya, teman hidupnya, pengatur rumah tangganya, ibu dari anak-anaknya, tambatan hatinya, tempat menumpahkan rahasia dan mengadukan nasibnya.
Oleh karena itu, Islam menganjurkan agar memilih isteri yang salehah dan menyatakannya sebagai perhiasan terbaik yang sepatutnya dicari dan diusahakan untuk mendapatkannya dengan sungguh-sungguh.
Berdasarkan apa yang terurai di atas, dalam makalah ini penulis mencoba memberikan penjelasan betapa Islam –melalui hadits-hadits nabinya- menganjurkan melakukan pernikahan dan memberikan tuntunan dalam memilih calon isteri.
Dalam makalah ini, penulis akan mencantumkan tiga hadits pokok, yaitu hadits tentang nikah sebagai sunnah nabi, hadits tentang anjuran nikah dan hadits tentang memilih calon isteri. Pada masing-masing hadits, penulis akan menguraikan terjemahan hadits, membahas kajian hadits dari segi mufradat, asbabul wurud hadits (jika ada), pemahaman kandungan hadits serta tinjauan rawi hadits.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin…


BAB II
HADITS TENTANG
NIKAH DAN MEMILIH CALON ISTERI

A. Nikah Sebagai Sunnah Nabi
1. Hadits Tentang Nikah Sebagai Sunnah Nabi Muhammad SAW

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِىَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَمِدَ اللهَ، وَأَثْنَى عَلَيْهِ، وَقَالَ: لَكِنِّيْ أُصَلِّيْ وَأَنَامُ، وَأَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ. (متفق عليه)
2. Terjemah Hadits
“Dari Anas bin Malik r.a bahwa Nabi Muhammad SAW setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya, beliau bersabda: “Tetapi sesungguhnya aku melakukan shalat dan tidur, aku berpuasa dan berbuka dan aku menikahi para wanita. Siapa yang tidak menyukai sunnahku maka ia bukan termasuk umatku.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

3. Tinjauan Rawi Hadits
Anas bin Malik bin Nadhar Al-Anshari An-Najjari telah mengabdikan diri kepada nabi Muhammad SAW selama sepuluh tahun. Dia menyaksikan Perang Badar dan meriwayatkan 1.286 hadits. Anas meninggal dunia di Bashrah pada tahun 90 H dalam usia 100 tahun lebih dan ia termasuk sahabat Bashrah yang terakhir meninggal.

4. Kajian Mufradat Hadits
a. لَكِنِّي (Lakinnii): artinya tetapi, kata ini merupakan pembetulan keterangan hadits panjang sebelumnya yang dipotong.
b. رَغِبَ عَنْ (Raghiba ‘An): artinya berpaling dari suatu hal. Maksudnya di sini adalah siapa yang meninggalkan caraku dan mengambil cara lain ia bukan termasuk (umat)ku. Dalam hal Rasulullah SAW menyinggung mereka yang menggunakan cara kependetaan yang dibuat-buatnya sendiri untuk memperketat cara hidup (dengan tidak menikah).

5. Asbab al-Wurud Hadits
Hadits ini mempunyai sebab muncul, sebagaimana yang dituturkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya yaitu: Ada tiga orang datang ke rumah isteri-isteri Nabi Muhammad SAW untuk bertanya mengenai ibadah beliau. Ketika mereka diberitahu, mereka bertanya-tanya sendiri, di mana posisi mereka dibanding dengan nabi Muhammad SAW. Sedangkan Rasulullah SAW telah diampuni, baik dosanya yang telah lalu maupun di masa mendatang jikalau memang ada. Salah satu dari mereka berkata, “Aku akan melakukan shalat malam selama-lamanya.” Yang satu lagi berkata, “Aku akan berpuasa setahun penuh dan tidak akan berbuka.” Sementara yang ketiga berkata, “Aku akan menjauhi wanita, dan aku tidak akan menikah selama-lamanya.” Setelah mendengar itu semua, Rasulullah SAW bersabda kepada mereka bertiga:
َأنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ؟ أَمَا وَاللهِ إِنِّي أَخْشَاكُمْ لِلَّهِ، وَ أَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُوْمُ وَ أُفْطِرُ ... إلخ
“Kalian yang mengatakan begini begini? Sungguh aku – demi Allah – adalah orang yang paling takut kepada Allah SWT di antara kalian, yang paling bertaqwa di antara kalian, namun aku berpuasa dan aku berbuka……(hingga akhir hadits)”

6. Pemahaman Kandungan Hadits
Hadits di atas memberikan beberapa pemahaman sebagai berikut:
a. Keutamaan nikah sebagai tindakan terpuji dalam membina dan memelihara keturunan.
b. Penelusuran terhadap masalah-masalah penting guna menghindari penyesalan di kemudian hari, dan kebolehan untuk mengadakan penelusuran tersebut melalui kaum wanita, apabila kaum pria tidak memiliki pengetahuan tentang masalah tersebut.
c. Hadits ini merupakan dalil bahwa yang disyari’atkan dalam agama adalah tidak berlebih-lebihan dalam beribadah sehingga menyiksa diri dan menjauhi hal-hal yang dibolehkan.
d. Syari’at Islam didirikan di atas konsep toleransi atas kemampuan manusia, kemudahan, sesuai dengan keinginan jiwa terhadap hal-hal yang baik. Syari’at Islam tidak menyukai keketatan hidup dan tidak menghalangi jiwa manusia untuk menyukai apa yang diperbolehkan oleh Allah SWT.
e. Mewajibkan sesuatu yang mempersulit diri bukan bagian dari agama Islam itu sendiri. Sebaliknya itu adalah perilaku para pelaku bid’ah yang menentang Sunnah Rasulullah SAW.
f. Meninggalkan sama sekali kenikmatan duniawi yang diizinkan adalah keluar dari Sunnah suci dan bukan merupakan langkah orang-orang yang beriman.
g. Hadits ini menerangkan bahwa agama Islam bukan agama Rahbaniyyah (kependetaan). Ia adalah agama yang datang untuk memperbaiki kehidupan dunia dan akhirat. Ia adalah agama yang menempatkan segala sesuatunya pada tempatnya. Ada hak Allah untuk disembah dan ada hak badan untuk menikmati kenikmatan-kenikmatan duniawi yang diizinkan. Begitu juga jiwa punya hak untuk beristirahat.
h. As-Sunnah adalah cara (Thariqah). Orang yang tidak menyukai Sunnah-nya tidak kemudian dianggap keluar dari agama Islam. Hal ini untuk mereka yang meninggalkan Sunnah-nya dengan didasarkan pada takwil di mana pelakunya dapat dimaklumi/dimaafkan.
i. Tidak suka terhadap sesuatu artinya berpaling darinya. Yang dilarang adalah meninggalkan Sunnah untuk bisa lebih serius beribadah dan dengan keyakinan mengharamkan apa yang Allah SWT halalkan.

B. Anjuran Nikah
1. Hadits Tentang Anjuran Nikah

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَآءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَآءٌ. (متفق عليه)

2. Terjemah Hadits
“Dari Abdullah bin Mas’ud r.a dia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepada kami, “Wahai kaum muda, siapa di antara kalian yang telah mampu (mempunyai biaya pernikahan) hendaklah ia menikah. Sesungguhnya pernikahan lebih bisa menjaga pandangan dan memelihara kemaluan. Siapa yang tidak mampu (tidak memilikinya) maka hendaklah ia berpuasa. Sesungguhnya puasa merupakan perisai baginya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
3. Tinjauan Rawi Hadits
Ibnu Mas’ud adalah Abdullah bin Mas’ud Abu Abdurrahman Al-Kufi Ibnu Ummi Ma’bad Al-Hadzali, seorang sahabat Rasulullah SAW yang juga pembantu beliau. Ibnu Mas’ud termasuk salah seorang As-Sabiquuna Al-Awwaluun. Dia telah menghafal alqur’an sebanyak 70 surat. Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa barangsiapa yang ingin membaca Al-Qur’an sebagaimana diturunkannya, dia membaca sebagaimana halnya bacaan Ibnu Ummi Ma’bad. Dia menyaksikan banyak peperangan. Dia meriwayatkan 848 hadits yang kemudian sejumlah orang meriwayatkan darinya. Ibnu Mas’ud meninggal dunia tahun 32 H dalam usia 60 tahun lebih.

4. Kajian Mufradat Hadits
a. مَعْشَرَ (Ma’syar): Sekelompok orang yang dikumpulkan dalam satu kriteria. Seperti sekelompok pemuda atau orang tua. Kata ini merupakan bentuk jamak tanpa bentuk tunggalnya. Ia dapat dijamakkan lagi menjadi ma’aasyir.
b. الشَّبَابِ (Asy-Syabab): Jamak dari kata syaab. Bentuk jamaknya yang lain adalah syubbaan. Kata syaab diungkapkan untuk orang dengan rentang usia sejak baligh hingga usia empat puluh tahun. Arahan menikah diungkapkan secara khusus untuk kelompok syabaab (pemuda) karena dorongan seksual yang cukup kuat pada seusia mereka. Berbeda halnya dengan mereka yang berusia lanjut.
c. مَنِ اسْتَطَاعَ (Man Istathaa’a): Al Qurthubi sebagaimana yang dikutip oleh Al Bassam mengatakan, maksud “mampu” (Istithaa’ah) di sini adalah mampu menyediakan apa yang diperlukan untuk suatu pernikahan, bukan kemampuan berhubungan badan.
d. الْبَآءَةَ (Al Baa’ah): Ada empat dialek sehubungan kata ini. Yang masyhur adalah dengan dibaca maad dan adanya taa’ ta’nis. Secara bahasa, al baa’ah berarti jima’ atau berhubungan badan, namun yang dimaksud di sini adalah mahar dan nafkah. Dengan begitu artinya secara lengkap, siapa di antara kalian yang mampu menyediakan sebab-sebab jima’ dan biayanya maka menikahlah.
e. فَإِنَّهُ (Fa Innahu): Kata ganti di sini kembali kepada kata “tazawwuj” (menikah), sebagaimana ditunjukkan oleh kata fal yatazawwaj.
f. أَغَضُّ (Aghadhdhu): Berasal dari kata Ghadhdha yang artinya menghindari pandangan mata dari melihat apa yang tidak halal dilihat. Maksudnya di sini, pernikahan dapat menurunkan keinginan memandang yang tidak halal.
g. أَحْصَنُ (Ahshan): Berasal dari kata hashuna yang artinya menghalangi atau melindungi. Maksudnya di sini pernikahan dapat melindungi kemaluan (dari perbuatan haram).
h. فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ (Fa ‘Alaihi bi Ash-Shaum): Sebagian ulama mengatakan i’rab kalimat adalah mahall nashab dengan tarkiib ighraa’. Sebagian lagi mengatakan bahwa ba’ dalam kata bi Ash-Shaum adalah ba’ tambahan. Dengan begitu kalimat ini bermakna khabar.
i. الْوِجَآءُ (Al Wijaa’): berasal dari kata waja’a yang artinya memukul dengan pisau pada bagian mana saja. Sementara al wijaa’ artinya menghancurkan dua biji testis. Sebagian lagi mengartikan menghancurkan uratnya, sedangkan kedua biji testis tetap dalam kondisinya. Gunanya untuk menghilangkan dorongan seksual. Demikian juga dengan berpuasa –yang digambarkan oleh Rasulullah SAW sebagai al wijaa’– dapat memperlemah dorongan nafsu seksual. Sehingga diharapkan berpuasa dapat menjadi tameng atau pelindung bagi seseorang dari jatuh ke dalam keburukan nafsu seksual.

5. Pemahaman Kandungan Hadits
1. Menjauhkan diri dari segala yang tidak baik adalah wajib. Begitu juga sebaliknya. Hal yang tidak baik yang dimaksud di sini diakibatkan oleh dorongan nafsu seksual dan rendahnya keimanan. Untuk itu, Rasulullah SAW memberi petunjuk bagaimana seharusnya menjaga diri dari keburukan semacam itu. Bagi mereka yang memiliki biaya dan nafkah maka ia harus menikah. Sedangkan mereka yang tidak mempunyai biaya dan tidak mampu memberi nafkah isteri maka berpuasa.
2. Anjuran menikah ini ditujukan kepada mereka yang masih muda mengingat dorongan berhubungan badan pada mereka begitu kuat.
3. Alasan bahwa menikah lebih bisa menjaga pandangan dan lebih memelihara kemaluan merupakan dalil bahwa memejamkan mata dari melihat sesuatu yang tidak boleh dilihat dan menjaga kemaluan adalah wajib. Hal ini disepakati oleh para ulama secara ijma’. Allah SWT berfirman,
            •     
Artinya:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nuur [24]: 30)


Dan firman Allah SWT,
    
Artinya:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,” (QS. Al-Mu’minuun [23]: 5).
4. Kasih sayang Allah SWT dan kepedulian-Nya untuk menjauhkan manusia dari perbuatan buruk. Ketika dia melanggar sesuatu maka ia memberikan alternatif lain yang halal yang dapat menggantikannya.
5. Perintah meninggalkan hal yang buruk semampu mungkin dengan cara-cara yang memungkinkan. Beliau menganjurkan pernikahan kepada umatnya. Namun bagi mereka yang tidak mampu beliau memberikan petunjuk lain.
6. Hadits ini juga memberi petunjuk mengenai kewajiban mahar dan nafkah atas suami untuk isteri dan anak-anaknya.
7. Perintah menikah bagi mereka yang mampu ini adalah sunnah menurut mayoritas ulama. Dasarnya adalah firman Allah SWT,
                              
Artinya:
“Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa’ [4]: 3).
Jika menikah wajib tentu Allah SWT tidak memberikan pilihan antara menikah dan memiliki budak. Di antara ulama yang mewajibkan pernikahan adalah Daud Azh-Zhahiri dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya. Alasan mereka karena ada perintah untuk menikah.

C. Memilih Calon Isteri
1. Hadits Tentang Memilih Calon Isteri

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَ لِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. (متفق عليه)
2. Terjemah Hadits
“Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Nabi SAW bersabda: “Seorang wanita dinikahi karena empat perkara: (1) karena hartanya, (2) karena keturunannya, (3) karena kecantikannya, (4) karena agamanya. Karena itu nikahilah (wanita) karena agamanya, niscaya engkau bahagia.” (HR. Muttafaq ‘Alaih dan tujuh Imam lainnya).

3. Tinjauan Rawi Hadits
Abu Hurairah adalah Abdurrahman bin Shakhar Al-Yamani Ad-Dausi. Abu Hurairah masuk Islam pada tahun ke-7 H. Dia meriwayatkan hadits sebanyak 5.374 hadits. Oleh karena itu, dia termasuk sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Abu Hurairah meninggal pada tahun 59 H dalam usia 78 tahun dan dimakamkan di Madinah.



4. Kajian Mufradat Hadits
a. تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ (Tunkahu Al Mar’atu): Mabni majhul, dibaca dhammah dengan ta’ mudhari’, maksudnya berkehendak menikahi seorang wanita.
b. تُنْكَحُ (Tunkahu): نَكَحَ (Nakaha), makna asalnya adalah berkumpul dan bercampur. Tapi ahli bahasa berselisih pendapat mengenai hal ini. Sebagian mengatakan, “Nikah adalah hakikat dalam akad, majaz dalam hubungan intim.” Sebagian lain berpendapat sebaliknya; dan sebagian yang lainnya mengatakan berpendapat nikah merupakan hakikat dalam akad dan hubungan intim, demikian yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
c. تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ (Tunkahu Al Mar’atu li Arba’): Fi’ilnya berbentuk mabni majhul, al-mar’ah di sini sebagai ganti dari fa’il yang dibaca rafa’.
d. لِأَرْبَعٍ (Li Arba’): Maksudnya menikahi wanita karena empat perkara.
e. حَسَبِهَا (Hasabiha): maknanya kemuliaan wanita, atau keluarga dan kerabatnya.
f. وَلِمَالِهَا (Wa li Maliha): Sebagai badal (pengganti) dari lafazh arba’ (empat), yakni dengan cara mengembalikan ‘amil. Dalam riwayat muslim, huruf lam yang bermakna karena di sini disebut berulang kali dalam keempat perkara tersebut. Sedangkan dalam Shahih Bukhari tidak demikian, sebab masing-masing dari keempat perkara tersebut mempunyai tujuan yang berbeda-beda.
g. فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ (Fazfar bi Dzati Al-Din): Maksudnya, jika keempat perkara tersebut terealisir pada diri seorang wanita, hendaknya engkau memilihnya atas dasar agamanya. Makna az-zafar adalah, pilihlah wanita yang beragama baik, niscaya engkau bakal meraih kebahagiaan, dan menangkanlah atas orang lain untuk mendapatkannya.
h. تَرِبَتْ يَدَاكَ (Taribat Yadaka): Maksudnya tanganmu berpadu dengan debu dari kefakiran. Sebenarnya kalimat ini tidak umum diucapkan oleh kebanyakan manusia, dan kalimat ini juga bukan dimaksudkan Nabi SAW sebagai do’a.

5. Pemahaman Kandungan Hadits
a. Nabi SAW mengabarkan bahwa hal-hal yang mendorong seorang pria memilih seorang wanita sebagai pendamping hidupnya adalah empat perkara berikut ini:
1. Sebagian pria menyukai seorang wanita atas dasar keturunan.
2. Sebagian pria menyukai seorang wanita atas dasar harta dan kekayaannya.
3. Sebagian pria memilih seorang wanita hanya dilihat dari sudut kecantikannya saja.
4. Sebagian pria memilih wanita sebagai isterinya melalui kacamata agama dan ketaqwaan. Faktor inilah yang menjadi tujuan pernikahannya. Sifat yang terakhir ini adalah sifat yang dianjurkan Nabi SAW dalam hadits di atas.
b. Hadits ini menunjukkan anjuran mendampingi dan mengetahui betul siapa orang yang akan menjadi pilihannya itu. Hal ini bertujuan untuk mengambil pelajaran dari keutamaannya, keteladanannya, moralnya, dan untuk menjauhi keburukannya dan keburukan keluarganya.
c. Hadits di atas menunjukkan bahwa seseorang tidak sepantasnya menjadikan manusia dengan segala perilaku mereka sebagai teladan dan sandarannya. Dalam hadits tersebut Nabi SAW mengingatkan bahwa tiga kelompok manusia keliru dalam memilih pasangan hidup, sementara hanya satu kelompok saja yang dianggap benar dalam menentukan wanita pilihan.
d. Hadits di atas tidak mengharamkan seorang pria yang memilih seorang wanita sebagai isterinya atas dasar keturunan, kecantikan, harta, dan agama. Tapi faktor agama yang menjadi sifat terpenting bagi seorang calon isteri tidak boleh diacuhkan begitu saja, karena bakal menuai konsekuensi negatif.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari uraian yang telah dijelaskan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Keutamaan nikah sebagai tindakan terpuji dalam membina dan memelihara keturunan dan merupakan sunnah para nabi yang suci.
2. Mewajibkan sesuatu yang mempersulit diri bukan bagian dari agama Islam itu sendiri. Meninggalkan sama sekali kenikmatan duniawi yang diizinkan adalah keluar dari Sunnah suci dan bukan merupakan langkah orang-orang yang beriman.
3. Anjuran menikah ditujukan kepada mereka yang masih muda mengingat dorongan berhubungan badan pada mereka begitu kuat.
4. Perintah menikah bagi mereka yang mampu ini adalah sunnah menurut mayoritas ulama.
5. Nabi SAW mengabarkan bahwa hal-hal yang mendorong seorang pria memilih seorang wanita sebagai pendamping hidupnya adalah empat perkara berikut ini:
a. Sebagian pria menyukai seorang wanita atas dasar keturunan.
b. Sebagian pria menyukai seorang wanita atas dasar harta dan kekayaannya.
c. Sebagian pria memilih seorang wanita hanya dilihat dari sudut kecantikannya saja.
d. Sebagian pria memilih wanita sebagai isterinya melalui kacamata agama dan ketaqwaan. Faktor inilah yang menjadi tujuan pernikahannya. Sifat yang terakhir ini adalah sifat yang dianjurkan Nabi SAW.


DAFTAR PUSTAKA



Al Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. 2006. Syarah Bulughul Maram. terj. Thahirin Suparta, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam

Abdul Baqi, Muhammad Fu’ad. 1996. Al-Lu’lu’ Wal Marjan. Terj. H. Salim Bahreisy. Surabaya: PT Bina Ilmu

Ash-Shan’ani, Muhammad bin Isma’il Al-Amir. 2007. Subulus Salam Syarah Bulughul Maram (jilid 2), terj. Muhammad Isnan, Lc. dkk. Jakarta: Darus Sunnah

Ayyub, Syaikh Hasan. 2006. Fikih Keluarga. Terj. M. Abdul Ghaffar, EM. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

Rahman, Taufik, Drs. M.Ag. 2000. Hadis-Hadis Hukum. Bandung: Pustaka Setia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar