Selasa, 11 Januari 2011

Prosedur Berarbitrase

BAB I
PENDAHULUAN

Tidak jarang suatu kasus perdata membutuhkan tiga sampai enam tahun untuk mendapatkan putusan. Permasalahannya tidak berhenti sampai disini, meskipun putusan telah didapatkan kemungkinan besar para pihak yang merasa tidak puas atas putusan tersebut mengajukan upaya hukum lainnya seperti banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali. Apabila dijumlahkan, maka total waktu yang dibutuhkan sampai dengan suatu putusan memiliki kekuatan hukum yang tetap adalah lima belas hingga dua puluh tahun. Berdasarkan waktu yang panjang tersebut permasalahan timbul kembali jika putusan tersebut hendak dieksekusi. Tidak jarang, ketika putusan hendak dieksekusi, objek sengketanya telah musnah.
Selain membutuhkan waktu yang lama, ada permasalahan lain yang timbul ketika seseorang ingin menyelesaikan suatu sengketa melalui jalur litigasi. Contohnya adalah diperlukan biaya yang tidak sedikit dalam menyelesaikan perkara melalui jalur litigasi. Hal tersebut dapat dipahami, karena waktu yang lama selalu berkorelasi dengan besarnya biaya yang dikeluarkan. Terkadang biaya terbesar yang dikeluarkan justru tidak digunakan secara langsung untuk proses Pengadilan, melainkan biaya tersebut banyak digunakan untuk urusan di luar Pengadilan.
Berkaitan dengan permasalahan tersebut, perlu terobosan baru di bidang hukum, khususnya mengenai mekanisme penyelesaian sengketa. Caranya adalah menerapkan mekanisme alternatif dalam penyelesaian sengketa yaitu dengan mekanisme penyelesaian sengketa diluar Pengadilan atau yang biasa disebut sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Istilah APS merupakan terjemahan dari Alternative Dispute Resolution (ADR). Dalam tulisan ini, mekanisme APS yang akan dibahas adalah arbitrase.
Permasalahan yang akan diuraikan dalam tulisan ini adalah tentang prosedur atau tata cara berperkara dalam arbitrase. Sehingga diharapkan dengan tulisan ini, kita mengetahui bagaimana cara berperkara dalam arbitrase.



BAB II
PROSEDUR BERARBITRASE

A. Prosedur Administrasi
Secara umum, prosedur berarbitrase dapat dikelompokkan menjadi tiga tahapan, yaitu tahap pendaftaran permohonan, tahap pemeriksaan dan tahap putusan. Prosedur arbitrase dimulai dengan didaftarkannya surat permohonan para pihak yang bersengketa untuk mengadakan arbitrase, dalam register lembaga arbitrase.
Berkas permohonan tersebut mesti mencantumkan alamat kantor atau tempat tinggal terakhir atau kantor dagang yang dinyatakan dengan tegas dalam klausula arbitrase. Berkas permohonan itu berisikan nama lengkap, tempat tinggal atau tempat kedudukan kedua belah pihak atau para pihak. Berkas juga memuat uraian singkat tentang duduknya sengketa dan juga apa yang dituntut.
Pada dasarnya pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Dengan adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis, maka perjanjian meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. Dalam hal ini, pengadilan negeri menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang.
Surat perjanjian tertulis bahwa para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase, hendaklah ditandatangani oleh para pihak, di mana di dalam perjanjian tersebut disebutkan bahwa para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase. Perjanjian itu harus dibuat dalam bentuk akta notaris.
Para pihak boleh mengajukan tuntutan ingkar jika terdapat cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter yang ditunjuk akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil keputusan.
Usaha penyelesaian sengketa melalui mediator (arbiter) hendaklah memegang teguh kerahasiaan, dan dalam waktu paling lama 30 hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan i’tikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
Mengenai biaya arbitrase ditentukan sendiri oleh arbiter, yang meliputi honorarium arbiter, biaya perjalanan dan biaya lain-lain yang dikeluarkan arbiter, biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan, dan biaya administrasi.
Bahasa yang digunakan dalam proses arbitrase adalah bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang digunakan. Selanjutnya para pihak dan kuasanya mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapat masing-masing.
Secara garis besar, prosedur arbitrase konvensional seperti yang terdapat di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 menurut versi Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah sebagai berikut:
1. Tahap pendaftaran permohonan atau prosedur sebelum dengar pendapat.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase, diawali dengan tahap pendaftaran permohonan atau prosedur sebelum dengar pendapat yang terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut.
a. Telah ada kesepakatan di antara para pihak bahwa penyelesaian perselisihan yang telah atau akan timbul akan diselesaikan oleh badan arbitrase dan menurut prosedur badan arbitrase tersebut. Kesepakatan ini dicantumkan dalam klausula arbitrase.
b. Pemohon mengajukan permohonan arbitrase kepada badan arbitrase dengan membayar biaya pendaftaran, biaya administrasi dan biaya persidangan. Menurut ketentuan pasal 77 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 biaya administrasi dan persidangan adalah menjadi tanggung jawab pihak yang kalah.

c. Permohonan akan ditolak paling lama 30 hari jika jelas bahwa penyelesaian perselisihan tersebut bukan kewenangan badan arbitrase.
d. Pemberitahuan secara tertulis kepada seorang ahli, baik ketua badan arbitrase atau lainnya bahwa ia telah dipilih sebagai arbiter untuk menyelesaikan suatu sengketa.
e. Persiapan arbiter. Hal penting yang perlu diperhatikan oleh arbiter adalah penunjukkannya sudah dilakukan berdasarkan hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku.
f. Pemeriksaaan pendahuluan. Berdasarkan praktek, biasanya arbiter mengadakan pertemuan terlebih dahulu dengan para pihak sebelum mengadakan dengar pendapat secara resmi.
g. Prosedur pelaksanaan tugas arbiter. Berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, arbiter berwenang untuk memerintahkan dan melakukan interogasi dalam proses dengar pendapat. Dalam proses tersebut, arbiter dapat bersikap aktif, yaitu arbiter bertindak mencari data. Namun, arbiter juga dapat bersikap pasif, yaitu para pihaklah yang menyampaikan data-data sedangkan arbiter cukup mendengarkan saja.
h. Menentukan waktu dan dengar pendapat. Jika ada salah satu pihak yang tidak datang pada saat dengar pendapat, maka ketua badan arbitrase/arbiter tetap dapat melakukan dengar pendapat tersebut.
i. Ketua badan arbitrase akan menyampaikan salinan surat permohonan pemohon kepada termohon.
j. Termohon harus mengajukan jawaban secara tertulis paling lama 30 hari sejak diterimanya salinan permohonan pemohon.
k. Ketua badan arbitrase mengirim jawaban termohon kepada pemohon.
l. Kepada kedua belah pihak diperintahkan untuk segera menghadap ke persidangan paling lama 14 hari sejak perintah dikeluarkan.
m. Jika pemohon tidak hadir dalam persidangan, permohonan arbitrasenya digugurkan.
n. Jika termohon tidak hadir, dan tidak hadir juga setelah dipanggil secara patut untuk kedua kalinya, majelis akan memutuskan perselisihan secara verstek.
o. Komunikasi perorangan para pihak. Apabila salah satu pihak dalam proses arbitrase menghubungi arbiter tanpa sepengetahuan pihak lain, ketua badan arbitrase wajib menolaknya.

2. Tahap pemeriksaan atau prosedur pada waktu dengar pendapat.
Ketua badan arbitrase selaku arbiter memiliki kedudukan sebagai seorang hakim berdasarkan adanya kesepakatan penunjukan para pihak yang bersengketa. Penunjukan oleh para pihak ini memberikan wewenang kepada arbiter untuk dapat memutus berdasarkan fakta yang diberikan kepadanya. Pada saat proses arbitrase berlangsung pihak ketiga atau pihak lain (umum) tidak diperbolehkan hadir dalam proses. Hal ini merupakan cerminan dari sifat arbitrase yang menjaga kerahasian para pihak yang bersengketa.
Apabila kedua belah pihak datang menghadap, sesuai dengan acara sidang perdata menurut HIR, terlebih dahulu badan arbitrase akan mengusahakan tercapainya suatu perdamaian. Jika upaya perdamaian itu berhasil maka badan arbitrase akan membuatkan suatu akte perdamaian dan menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi perdamaian tersebut. Jika usaha perdamaian tidak berhasil, badan arbitrase meneruskan pemeriksaan terhadap pokok sengketa yang dimintakan putusan itu.
Selama pemeriksaan, kedua belah pihak dipersilakan untuk menjelaskan masing-masing pendirian serta mengajukan bukti-bukti yang mereka anggap perlu untuk menguatkannya. Ketua, baik atas permintaan para pihak maupun atas prakarsa badan arbitrase sendiri, dapat memanggil saksi-saksi atau ahli-ahli untuk didengar keterangan mereka.
Sesuai dengan ketentuan hukum acara yang diatur dalam HIR, dalam pemeriksaan perkara perdata, pencabutan permohonan arbitrase dapat dilakukan sebelum dijatuhkan keputusan. Sudah ada jawaban dari termohon, pencabutan tersebut hanya diperbolehkan dengan persetujuan termohon.
Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. Jika diperlukan, maka jangka waktu ini dapat diperpanjang. Mengenai biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang meminta.
Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan segera ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan putusan arbitrase. Putusan ditetapkan dalam waktu paling lama 30 hari setelah pemeriksaan ditutup.

3. Tahap putusan.
Apabila badan arbitrase menganggap telah cukup, maka ketua menutup pemeriksaan itu dan menetapkan suatu hari sidang untuk mengucapkan putusan yang akan diambil. Putusan ini akan dilakukan dalam waktu satu bulan setelah ditutupnya pemeriksaan.
Dalam melaksanakan putusan arbitrase ada tata cara pelaksanaan yang harus ditempuh. Berdasarkan Pasal 59 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, tata cara pelaksanaan pokok-pokok di dalam putusan tergantung pada telah didaftarkannya di pengadilan atau belum.
Terhadap keputusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Surat dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. Putusan diambil dari tipu muslihat yang diakui oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Permohonan pembatalan tersebut harus diajukan secara tertulis ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Jika permohonan pembatalan tersebut dikabulkan, maka Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak permohonan pembatalan diajukan, menjatuhkan putusan pembatalan. Dalam hal ini, para pihak dapat mengajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung juga hanya diberi waktu maksimal 30 hari untuk memutuskan permohonan banding tersebut.

B. Penentuan Arbiter (hakam) dan Keputusannya
Persyaratan untuk menjadi arbiter, termasuk dalam hal ini arbiter syari’ah di BASYARNAS adalah:
a. cakap melakukan tindakan hukum;
b. berumur paling rendah 35 tahun;
c. tidak punya hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;
d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase;
e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit lima belas tahun;
f. bukan jaksa, hakim panitera dan pejabat peradilan lainnya.
Dalam hal para pihak tidak dapat memilih arbiter, maka Ketua Pengadilan Negeri atau majelis arbitrase dapat menunjuk arbiter. Selanjutnya, arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti disertai dengan terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Arbiter atau majelis arbitrase dapat mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada tempat tertentu di luar tempat arbitrase diadakan. Pemeriksaan saksi-saksi dan para saksi ahli di hadapan arbiter atau majelis arbitrase, diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara perdata.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari uraian yang telah dijelaskan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara umum, prosedur berarbitrase dapat dikelompokkan menjadi tiga tahapan, yaitu:
a. Tahap pendaftaran permohonan atau prosedur sebelum dengar pendapat.
b. Tahap pemeriksaan atau prosedur pada waktu dengar pendapat.
c. Tahap putusan.
2. Berkas permohonan mesti mencantumkan alamat kantor atau tempat tinggal terakhir atau kantor dagang yang dinyatakan dengan tegas dalam klausula arbitrase. Berkas permohonan itu berisikan nama lengkap, tempat tinggal atau tempat kedudukan kedua belah pihak atau para pihak. Berkas juga memuat uraian singkat tentang duduknya sengketa dan juga apa yang dituntut.
3. Surat perjanjian tertulis bahwa para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase, hendaklah ditandatangani oleh para pihak, di mana di dalam perjanjian tersebut disebutkan bahwa para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase. Perjanjian itu harus dibuat dalam bentuk akta notaris.
4. Apabila kedua belah pihak datang menghadap, sesuai dengan acara sidang perdata menurut HIR, terlebih dahulu badan arbitrase akan mengusahakan tercapainya suatu perdamaian.
5. Jika usaha perdamaian tidak berhasil, badan arbitrase meneruskan pemeriksaan terhadap pokok sengketa yang dimintakan putusan itu.
6. Terhadap keputusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur ketidakadilan bagi salah satu pihak.


DAFTAR PUSTAKA


Arto, Mukti, Drs, H. A. SH. 1996. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Fauzan, Drs. M. SH. MM. 2005. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia. Jakarta: Kencana

Heri Sunandar, Dr. Mcl. 2008. Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Basyarnas (Badan Arbitrase Syari’ah Nasional) dalam Hukum Islam; Journal For Islamic Law. Vol. VII. Pekanbaru: Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UIN Suska Riau

Jauhari, Ahmad. 2004. Arbitrase Syari’ah dan Eksistensinya. Jakarta: Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS)

Johari, Drs. M.Ag. dan Dra. Yusliati, M.Ag. 2008. Arbitrase Syari’ah, Pekanbaru: Suska Press

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2003. Hukum Arbitrase. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Internet: http://www.hukumonline.com/download.asp?c=15081.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar