Selasa, 11 Januari 2011

Dalil Hukum dan Sistematikanya

BAB I
PENDAHULUAN

Keempat Imam mazhab sepakat mengatakan bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW. Dua sumber tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena keduanya merupakan petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah SWT.

Ada juga dalil-dalil lain selain Al-Qur'an dan Sunnah seperti Qiyas, Istihsan, Istishlah, dan lainnya, tetapi dalil ini hanya sebagai dalil pendukung yang hanya merupakan alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW. Karena hanya sebagai alat bantu untuk memahami Al-Qur'an dan Sunnah, sebagian ulama menyebutnya sebagai metode istinbath.

Oleh karena yang disebut sebagai "dalil-dalil pendukung" di atas pada sisi lain disebut juga sebagai metode istinbath, para ulama Imam mazhab tidak sependapat dalam mempergunakannya sebagai sumber hukum Islam.

Berdasarkan hal ini, maka perlu kiranya dilakukan studi perbandingan terhadap pendapat-pendapat para imam mazhab tersebut agar diperoleh pengetahuan yang jelas tentang rumusan dasar pijakan mereka dalam melakukan istinbath hukum dan sistematika sumber hukum yang mereka gunakan dalam menetapkan suatu persoalan ijtihad.

Di dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang dalil hukum dan sistematika sumber dalam istinbath yang dipergunakan oleh masing-masing imam mazhab. Pembahasan ini dimulai dengan menjelaskan pengertian dalil hukum dari perspektif etimologis dan terminologis, kemudian uraian tentang pembagian sumber dalil dilihat dari segi keberadaannya, selanjutnya penjelasan tentang macam-macam sumber dalil menurut urutan dan sistematika yang digariskan oleh masing-masing mazhab; seperti sistematika sumber dalil mazhab Hanafi, sistematika sumber dalil mazhab Maliki, sistematika sumber dalil mazhab Syafi’i, sistematika sumber dalil mazhab Hanbali, sistematika sumber dalil mazhab Zhahiri dan sistematika sumber dalil mazhab Syi’ah.

Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan sumbangsih pengetahuan bagi kita semua. Amin ...


BAB II
PEMBAHASAN

DALIL HUKUM DAN SISTEMATIKA SUMBER HUKUM DALAM ISTINBATH

A. Pengertian Dalil Hukum

Dalam kajian ushul fiqh, secara lughawi para ulama ushul mengartikan dalil dengan ”sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”. Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa menurut bahasa yang dimaksud dengan dalil ialah:

الهَادِى إِلَى أَيِّ شَيْئٍ حِسِّيٍّ أَوْ مَعْنَوِيٍّ خَيْرٍ أَوْ شَرٍّ

”Dalil ialah yang memberi petunjuk kepada sesuatu yang dirasakan atau yang dipahami baik sifatnya hal yang baik maupun yang tidak baik”.

Adapun menurut istilah ushul, para ulama ushul – secara redaksional – berbeda dalam mendefinisikan dalil hukum. Abdul Wahab Khallaf menyebutkan, menurut istilah yang dimaksud dengan dalil hukum ialah:

مَا يُسْتَدَلَّ بِالنَّظْرِ الصَّحِيْحِ فِيْهِ عَلَى حُكْمٍ شَرْعِيٍّ عَمَلِيٍّ عَلَى سَبِيْلِ الْقَطْعِ أَوِ الظَّنِّ

”Segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dalam menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara’ yang bersifat ’amali, baik secara qath’i maupun secara zhanni.”

Kemudian, Ibn al-Subki, dalam kitab Matn Jam’i al-Jawami’, menyebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan dalil hukum ialah:

مَا يُمْكِنُ التَّوَصُّلُ بِصَحِيْحِ النَّظَرِ فِيْهِ إِلَى مَطْلُوْبٍ خَبَرِيٍّ

”Apa saja yang dapat dipergunakan untuk sampai kepada yang dikehendaki, yaitu hukum syara’ dengan berpijak pada pemikiran yang benar”.

Dari pengertian yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya yang disebut dengan dalil hukum ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.

Oleh karena itu, dalam istinbath hukum persoalan yang paling mendasar yang harus diperhatikan ialah menyangkut apa yang menjadi dalil atau pijakan yang dapat dipergunakan dalam menetapkan hukum syara’ dari sesuatu persoalan yang dihadapi. Tentu saja, penetapan hukum syara’ harus didukung oleh pertimbangan yang tepat dan cermat (shahih al-nazhar) dengan menggunakan dalil atau pijakan yang jelas.

Terhadap dalil hukum, memang di kalangan ulama ushul terdapat beberapa sebutan yang berbeda satu sama lainnya. Abdul Wahab Khallaf misalnya, mengemukakan bahwa dalil hukum itu, kadang-kadang disebut dengan adillat al-ahkam (dalil-dalil hukum), ushul al-ahkam (pokok-pokok hukum), mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum). Menurut Khallaf ke-semua sebutan ini mempunyai pengertian yang sama. Sementara itu, Imam Abu Ishaq al-Syathibi menyebutnya dengan adillat al-syari’ah (dalil-dalil syari’at), asas al-tasyri’ (dasar-dasar penetapan hukum syara’) dan ushul al-syari’ah (pokok-pokok hukum syara’).

Ada lagi sebutan lain, seperti dikemukakan oleh Hasan Abu Thalib, sebagaimana yang dikutip oleh Romli SA, yaitu mashadir al-syari’ah atau oleh Sya’ban Muhammad Isma’il menyebutnya dengan mashadir al-tasyri’, yang artinya sumber hukum syara’.

Secara bahasa, istilah-istilah yang disebutkan di atas, memang mempunyai pengertian yang berbeda. Jika disebut sumber hukum, maka jelas mengandung makna tempat pengambilan atau rujukan utama serta merupakan asal sesuatu. Istilah-istilah: mashadir al-ahkam, mashadir al-syari’ah atau mashadir al-tasyri’, sebenarnya termasuk pada pengertian yang disebut terakhir ini. Dan dalam pemikiran hukum Islam, yang dikatakan sumber hukum itu tidak lain adalah al-Qur'an dan al-Sunnah saja.

Sedangkan dalil, mengacu kepada pengertian sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk sebagai alasan dalam menetapkan hukum syara’. Demikian pula yang diistilahkan dengan adillat al-ahkam, ushul al-ahkam, asas al-tasyri’ dan adillat al-syari’ah. Dalam konteks ini al-Qur'an dan al-Sunnah di samping sebagai sumber, juga disebut sebagai dalil hukum, karena selain dari keduanya - al-Qur'an dan al-Sunnah – seperti al-Ijma’, al-Qiyas dan lain-lainnya disebut dalil hukum. Dengan demikian hukum mencakup al-Qur'an dan al-Sunnah serta dalil-dalil lain selain keduanya. Oleh karena itu, jika disebut sumber hukum, maka yang dimaksud adalah al-Qur'an dan al-Sunnah saja, sedangkan yang lainnya tidak dapat disebut sebagai sumber hukum.

Akan tetapi, dalam perkembangan pemikiran ushul fiqh – karena terlihat dalam pemikiran ushul fiqh kontemporer – istilah sumber hukum dan dalil hukum dalam kegiatan istinbath hukum keduanya tidak dibedakan. Sebab, baik istilah sumber hukum maupun dalil hukum merupakan istilah-istilah yang dipakai oleh para ulama ushul untuk menyatakan segala sesuatu yang dijadikan alasan atau dasar dalam istinbath hukum dan dalam prakteknya mencakup al-Qur'an, al-Sunnah dan dalil-dalil atau sumber-sumber selain keduanya.

Para pakar ushul fiqh kontemporer, seperti Abdul Wahab Khallaf, Abdul Karim Zaidan, Syaikh al-Khudhari dan Zakiyuddin Sya’ban, di mana mereka menyatakan bahwa apa yang disebut dengan dalil hukum adalah mencakup dalil-dalil lain yang dipergunakan dalam istinbath hukum selain al-Qur'an dan al-Sunnah.

Diakui, sebagian ada yang menyatakan, bahwa al-Qur'an dan al-Sunnah adalah merupakan sumber hukum dan sekaligus menjadi dalil hukum, sedangkan selain dari al-Qur'an dan al-Sunnah tidak dapat disebut sebagai sumber, kecuali hanya sebagai dalil, karena ia tidak dapat berdiri sendiri.

Sebetulnya, secara teknis, membuat perbedaan seperti disebutkan di atas tidak ada artinya, karena dalil-dalil selain al-Qur'an dan al-Sunnah itu, dalam prakteknya dipakai oleh para ulama ushul sebagai alasan dalam istinbath hukum terhadap sesuatu masalah ketika tidak ditemukan jawabannya dari al-Qur'an dan al-Sunnah.


B. Pembagian Sumber Dalil Dilihat Dari Segi Keberadaannya

Jika dilihat dari segi keberadaannya, maka dalil dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu:

1. Disebut dengan الأدلة الأحكام المنصوصة (dalil-dalil hukum yang keberadaannya secara tekstual terdapat dalam nash). Dalil-dalil hukum yang dikategorikan kepada bagian ini adalah al-Qur'an dan al-Sunnah. Syaikh Khudhari Beik menyebutnya dengan dalil naqli. Yang dimaksud oleh Khudhari Beik dengan istilah yang disebut terakhir ini ialah nash al-Qur'an dan al-Sunnah.

Nash al-Qur'an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW menjadi rujukan utama dalam istinbath hukum. Demikian juga halnya dengan al-Sunnah yang merupakan sabda Nabi SAW, di mana di samping berfungsi sebagai penjelasan nash al-Qur'an juga menetapkan hukum-hukum yang tidak dijelaskan oleh al-Qur'an. Keduanya, baik al-Qur'an maupun al-Sunnah masing-masing tidak berdiri sendiri, melainkan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

2. Disebut dengan الأدلة الأحكام غير المنصوصة atau الأدلة الأحكام فيما لا نص فيها yaitu dalil-dalil hukum yang secara tekstual tidak disebutkan oleh nash al-Qur'an dan al-Sunnah. Dalil-dalil ini dirumuskan melalui ijtihad dengan menggunakan penalaran ra’yu. Khudhari Beik menyatakan bahwa dalil-dalil hukum selain al-Qur'an dan al-Sunnah disebut dengan dalil-dalil yang didasarkan kepada ra’yu atau disebut pula dengan dalil-dalil ’aqli.

Adapun dalil-dalil yang dikelompokkan kepada kategori yang disebut terakhir ini adalah meliputi: al-Ijma’, al-Qiyas, al-Istihsan, al-Mashalih al-Mursalah, al-Istishhab, al-’Urf, Syar’u Man Qablana dan Qawl Shahabi. Terhadap dalil al-Ijma’ dan al-Qiyas termasuk dua dalil yang disepakati oleh para ulama. Tegasnya, al-Ijma’ dan Qiyas merupakan dalil-dalil yang hampir seluruh mazhab ushul mempergunakannya. Perbedaan terjadi pada intensitas penerapannya dalam istinbath hukum. Dengan kata lain, dalil-dalil yang disepakati ulama itu mencakup al-Qur'an, al-Sunnah, Ijma’ dan al-Qiyas, meskipun derajatnya tidak sama ketika digunakan dalam mengistinbathkan hukum.

Mengenai dalil-dalil aqli atau ra’yu selain al-Ijma’ dan al-Qiyas, keberadaannya menimbulkan perdebatan (ikhtilaf) di kalangan ulama mazhab ushul. Hal ini disebabkan karena sebagian mereka memandang dan menjadikannya sebagai dalil dalam istinbath hukum, sementara yang lain menolaknya.

Diakui bahwa perbedaan ini muncul karena para ulama ushul ketika tidak menemukan dalil atau alasan yang mendasari suatu ketetapan hukum dari nash, maka mereka menggunakan ra’yu mereka masing-masing dengan membuat rumusan masing-masing.

Penggunaan ra’yu sebagai alasan atau dasar dalam istinbath hukum, ketika tidak ditemukan jawabannya dari nash menjadi keharusan yang tak bisa dielakkan. Dalam hubungan ini, Zakariya al-Biri, sebagaimana yang dikutip oleh Romli SA, mengatakan bahwa nash al-Qur'an dan al-Sunnah terbatas serta telah final, sementara persoalan zaman dan kasus-kasus yang dihadapi manusia tidak pernah berhenti. Oleh karena itu, keterbatasan nash yang tidak memadai untuk menyelesaikan kasus-kasus yang baru yang terus bermunculan itu, maka kedudukan ra’yu mendapat tempat yang sangat menentukan dalam istinbath hukum.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa keberadaan ra’yu yang telah dirumuskan dengan sistematis dalam berbagai dimensinya itu – dalam praktek penggunaannya – pada akhirnya dipandang sebagai bagian dari dalil hukum yang meskipun otoritasnya lebih rendah dari nash.


C. Macam-Macam Sumber Dalil dan Sistematikanya

Sebagaimana yang telah disinggung pada pembahasan yang terdahulu bahwa di kalangan mazhab ushul dalam melakukan istinbath hukum mereka telah menyusun macam-macam sumber dalil secara sistematik. Dan di dalam kenyataannya, macam-macam sumber dalil tersebut ada yang disepakati dan tidak disepakati. Dengan kata lain, dalil-dalil yang menjadi sumber penetapan hukum, di kalangan ulama ushul tersebut di satu pihak terdapat persamaan dan di pihak lain terdapat perbedaan.

Perbedaan ini, kadang-kadang bukan saja dari segi intensitas dan otoritas penggunaan suatu dalil, bahkan perbedaan tersebut menyangkut keberadaan suatu dalil, di mana sebagian kalangan mazhab memandangnya sebagai dalil sementara yang lainnya tidak menjadikannya sebagai dalil.

Sebetulnya, di samping terdapat keragaman sumber dalil dan sistematika dalam istinbath hukum di kalangan mazhab ushul, juga terdapat kesamaan dan kesepakatan di kalangan mereka. Sebagai telah disinggung sebelum ini, maka berikut ini akan diuraikan macam-macam sumber dalil dan sistematikanya yang menjadi pijakan bagi berbagai mazhab dalam melakukan istinbath hukum.

1. Mazhab Hanafi

Sampai akhir hayatnya, Imam Abu Hanifah belum mengkodifikasikan metode penetapan hukum yang digunakannya, meskipun secara praktis dan aplikatif telah diterapkannya dalam menyelesaikan beberapa persoalan hukum.

Thaha Jabir Fayadl al-'Ulwani, sebagaimana yang dikutip oleh Jaih Mubarok, membagi cara ijtihad Imam Abu Hanifah menjadi dua cara: cara ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang merupakan tambahan. Cara ijtihadnya yang pokok dapat dipahami dari ucapan beliau sendiri, yaitu:

إِنِّى أَخَذْتُ بِكِتَابِ اللهِ إِذَا وَجَدْتُهُ، فَمَا لَمْ أَجِدْ فِيْهِ أَخَذْتُ بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ اْلآّثّارِ. فَإِذَا لَمْ أَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ وَ لاَ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَخَذْتُ بِقَوْلِ أَصْحَابِهِ مَنْ شِئْتُ وَأَدْعُ مَنْ شِئْتُ، لاَ أَخْرُجُ مِنْ قَوْلِهِمْ إِلَى قَوْلِ غَيْرِهِمْ، فَإِذَا انْتَهَى اْلأَمْرُ إِلَى إِبْرَاهِيْمَ الشَّعْبِى وَ الْحَسَنَ وَ ابْنِ سِيْرِيْنَ وَ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَلَى أَنْ أَجْتَهِدَ كَمَا اجْتَهَدُوْا ...

”Saya berpegang kepada Kitab Allah (al-Qur'an) apabila menemukannya, jika saya tidak menemukannya saya berpegang kepada Sunnah dan Atsar. Jika saya tidak temukan dalam dalam Kitab dan Sunnah, saya berpegang kepada pendapat para shahabat dan mengambil mana yang saya sukai dan meninggalkan yang lainnya, saya tidak keluar (pindah) dari pendapat mereka kepada yang lainnya. Maka jika persoalan sampai kepada Ibrahim al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin, Said ibn al-Musayyab, maka saya harus berijtihad sebagaimana mereka telah berijtihad ...

Sahal ibn Muzahim, sebagaimana yang dikutip oleh Hasbi ash-Shiddieqy, menerangkan bahwa dasar-dasar (sumber-sumber) hukum Abu Hanifah dalam menegakkan fiqih adalah:

"Abu Hanifah memegangi riwayat orang yang terpercaya dan menjauhkan diri dari keburukan serta memperhatikan muamalat manusia dan adat serta 'uruf mereka itu. Beliau memegang Qiyas. Kalau tidak baik dalam satu-satu masalah didasarkan kepada Qiyas, beliau memegangi istihsan selama yang demikian itu dapat dilakukan. Kalau tidak, beliau berpegang kepada adat dan 'uruf."

Ringkasnya, dari beberapa sumber ditemukan bahwa yang menjadi dasar istinbath (ushul al-istinbath) dan sistematika mazhab Hanafi adalah: (a) Al-Kitab, (b) Al-Sunnah, (c) Al-Atsar (d) Al-Ijma’, (e) Al-Qiyas, (f) Al-Istihsan dan (g)Al-’Urf.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Abu Hanifah dalam melakukan istinbath hukum berpegang kepada sumber dalil yang sistematika atau tertib urutannya seperti apa yang ia ucapkan itu tersebut.

Dari sistematika atau tertib urutan sumber dalil di atas nampak bahwa Abu Hanifah menempatkan al-Kitab atau al-Qur'an pada urutan pertama, kemudian al-Sunnah pada urutan kedua dan seterusnya secara berurutan Qaul Shahabi, al-Ijma’, al-Qiyas, al-Istihsan dan yang terakhir adalah al-’Urf.

Dalam hal terjadinya pertentangan Qiyas dengan Istihsan, sementara Qiyas tidak dapat dilakukan, maka Abu Hanifah meninggalkan Qiyas dan berpegang kepada Istihsan karena adanya pertimbangan maslahat. Dengan kata lain penggunaan Qiyas sepanjang dapat diterapkan jika memenuhi persyaratan. Jika Qiyas tidak mungkin dilakukan terhadap kasus-kasus yang dihadapi maka pilihan alternatifnya adalah menggunakan Istihsan dengan alasan maslahat.

Sedangkan cara ijtihad Imam Abu Hanifah yang bersifat tambahan adalah:

a. Bahwa dilalah lafaz umum ('am) adalah qath'iy, seperti lafaz khash;
b. Bahwa pendapat sahabat yang "tidak sejalan" dengan pendapat umum adalah bersifat khusus;
c. Bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (rajih);
d. Adanya penolakan terhadap mafhum (makna tersirat) syarat dan shifat;
e. Bahwa apabila perbuatan rawi menyalahi riwayatnya, yang dijadikan dalil adalah perbuatannya, bukan riwayatnya;
f. Mendahulukan Qiyas Jali atas khabar ahad yang dipertentangkan;
g. Menggunakan istihsan dan meninggalkan Qiyas apabila diperlukan.
Atas dasar seperti inilah Abu Hanifah melakukan istinbath hukum dan cara ini menjadi dasar pegangan atau ushul mazhab Hanafi dalam menetapkan dan membina hukum Islam.

2. Mazhab Maliki

Sebagaimana halnya mazhab Hanafi, kalangan mazhab Maliki juga menyusun dan menetapkan dasar-dasar pijakan dalam istinbath hukum dengan berpegang kepada sumber-sumber dalil yang telah mereka gariskan, yaitu sebagai berikut:

a. Al-Kitab (al-Qur'an)

Dalam memegang Al-Qur'an ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas zahir nash Al-Qur'an atau keumumannya, meliputi mafhum al-Mukhalafah dan mafhum al-Aula dengan memperhatikan 'illatnya.

b. Al-Sunnah

Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada Al-Qur'an. Apabila dalil syar'i menghendaki adanya penta'wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta'wil tersebut.

Apabila terdapat pertentangan antara makna zahir Al-Qur'an dengan makna yang terkandung dalam sunnah, maka yang dipegang adalah makna zahir Al-Qur'an. Tetapi apabila makna yang dikandung oleh sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma' ahl Al-Madinah, maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah dari pada zahir Al-Qur'an (sunnah yang dimaksud disini adalah sunnah mutawatir atau masyhurah).

c. Al-Ijma’ Ahl al-Madinah

Ijma' ahl al-Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma' ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil ijtihad ahl al-Madinah. Ijma' semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.

Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Huzaemah T. Yanggo, yang dimaksud dengan ijma' ahl al-Madinah tersebut ialah ijma' ahl al-Madinah pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi SAW. Sedangkan kesepakatan ahl al-Madinah yang hidup kemudian, sama sekali bukan merupakan hujjah. Ijma' ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql, sudah merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin sebagai hujjah.

Dikalangan mazhab Maliki, ijma' ahl al-Madinah lebih diutamakan dari pada khabar ahad, sebab ijma' ahl al-Madinah merupakan pemberitaan oleh jama'ah, sedang khabar ahad hanya merupakan pemberitaan perseorangan.

d. Fatwa Shahabat

Yang dimaksud dengan Sahabat disini adalah sahabat besar, yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-Naql. Ini berarti bahwa yang dimaksud dengan fatwa sahabat itu adalah berwujud hadits-hadits yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar itu tidak akan memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah SAW. Namun demikian, beliau mensyaratkan bahwa fatwa sahabat tersebut tidak boleh bertentangan dengan hadits marfu' yang dapat diamalkan dan fatwa sahabat yang demikian ini lebih didahulukan dari pada Qiyas.

e. Khabar Ahad dan Qiyas

Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah, jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil istinbath, kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang qath'iy.

Dalam menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik tidak selalu konsisten. Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas dari pada khabar ahad. Kalau khabar ahad itu tidak dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat Madinah, maka hal ini dianggap sebagai petunjuk, bahwa khabar ahad tersebut tidak benar berasal dari Rasulullah SAW. Dengan demikian, maka khabar ahad tersebut tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi ia menggunakan qiyas dan mashlahah.

f. Al-Istihsan

Menurut mazhab Maliki, al-Istihsan adalah: "Menurut hukum dengan mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlal al-Mursal dari pada qiyas, sebab menggunakan istihsan itu,tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat syara' secara keseluruhan".

Dari ta'rif tersebut, jelas bahwa istihsan lebih mementingkan maslahah juz'iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam ungkapan yang lain sering dikatakan bahwa istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari'at diturunkan.

Artinya jika terdapat satu masalah yang menurut qiyas semestinya diterapkan hukum tertentu, tetapi dengan hukum tertentu itu ternyata akan menghilangkan suatu mashlahah atau membawa madharat tertentu, maka ketentuan qiyas yang demikian itu harus dialihkan ke qiyas lain yang tidak akan membawa kepada akibat negatif.

Tegasnya, istihsan selalu melihat dampak suatu ketentuan hukum. Jangan sampai suatu ketentuan hukum membawa dampak merugikan. Dampak suatu ketentuan hukum harus mendatangkan mashlahat atau menghindarkan madharat.

g. Al-Mashalih al-Mursalah

Maslahah Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash. Dengan demikian, maka maslahah mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan syari'at diturunkan. Tujuan syari'at diturunkan dapat diketahui melalui Al-Qur'an, sunnah atau ijma'.

Para ulama yang berpegang kepada maslahah mursalah sebagai dasar hukum, menetapkan beberapa syarat untuk dipenuhi sebagai berikut:

1. Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah menurut penelitian yang seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja.
2. Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum, bukan sekedar maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu.
3. Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum dan tidak bertentangan dengan ketentuan nash atau ijma'.

h. Sadd Al-Zara'i

Imam Malik menggunakan sadd al-Zara'i sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.

i. Istishhab

Imam Malik menjadikan istishhab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Istishhab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah dinyatakan adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut, hukumnya tetap seperti hukum pertama, yaitu tetap ada. Begitu pula sebaliknya.

j. Syar'u Man Qablana

Menurut Qadhy Abd. Wahab al-Maliky, bahwa Imam Malik menggunakan kaedah syar'u man qablana syar'un lana, sebagai dasar hukum. Tetapi menurut Sayyid Muhammad Musa, tidak kita temukan secara jelas pernyataan Imam Malik yang menyatakan demikian. Dalam prakteknya, dalil-dalil yang disebutkan ini menjadi dasar pijakan mazhab (ushul al-mazhab) Maliki dalam melakukan istinbath hukum.

Di samping itu perbedaannya dengan kalangan Hanafiyah tampak bukan saja dari jumlah sumber dalil, tetapi juga segi penerapan dalil terutama yang berkaitan dengan dalil-dalil ijtihadiyah. Misalnya tentang dalil amal ahli Madinah. Bagi kalangan Malikiyah dalil amal ahli Madinah merupakan salah satu dalil yang mereka pegangi. Bahkan kalangan Malikiyah lebih mendahulukan penggunaan amal ahli Madinah daripada penggunaan Qiyas. Begitu pula, mereka meninggalkan hadits ahad bila tidak sejalan atau tidak menguatkan amal ahli Madinah.

Di samping itu kalangan Malikiyah berpendapat bahwa amal ahli Madinah merupakan sumber dalil yang berdiri sendiri dan lebih diutamakan dari dalil-dalil akal lainnya.

3. Mazhab Syafi’i

Adapun pegangan Imam Syafi'i dalam menetapkan hukum adalah Al-Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan Imam Syafi'i dalam kitabnya, al-Risalah, sebagai berikut:

لَيْسَ لأََِحَدٍ أَنْ يَقُوْلَ أَبَدًا فِى شَيْءٍ حِلٌّ أَوْ حَرَمٌ إِلاَّ مِنْ جِهَةِ الْعِلْمِ وَجِهَةِ الْخَبْرِ فِى الْكِتَابِ وَ السُّنَّةِ وَ اْلإِجْمَاعِ وَ الْقِيَاسِ

"Tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum selamanya, ini halal, ini haram kecuali kalau ada pengetahuan tentang itu. Pengetahuan itu adalah kitab suci Al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan Qiyas."

Pokok pikiran Imam Syafi'i dapat dipahami dari perkataannya yang tercantum dalam kitabnya, al-Umm, sebagaimana dikutip oleh Jaih Mubarok sebagai berikut:

اْلأَصْلُ قُرْآنٌ وَ سُنَّةٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَقِيَاسٌ عَلَيْهِمَا. وَإِذَا اتَّصَلَ الْحَدِيْثُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ وَ صَحَّ اْلإِسْنَادُ فَهُوَ الْمُنْتَهَى. وَاْلإِجْمَاعُ أَكْبَرُ مِنَ الْخَبْرِ الْمُفْرَدِ وَالْحَدِيْثُ عَلَى ظَاهِرِهِ وَإِذَا احْتَمَلَ الْمَعَانِى فَمَا أَشْبَهَ مِنْهَا ظَاهِرُهُ أَوْلاَهَا بِهِ وَ إِذَا تَكَافَأَتِ اْلأَحَادِيْثُ فَأَصَحُّهَا إِسْنَادًا أَوْلاَهَا، وَ لَيْسَ الْمُنْقَطِعُ بِشَيْءٍ مَا عَدَا مُنْقَطِعِ ابْنِ الْمُسَيَّبِ وَلاَ قِيَاسَ أَصْلٍ عَلَى أَصْلٍ وَلاَ يُقَالُ ِلأَصْلٍ لِمَا وَ كَيْفَ؟ وَإِنَّمَا يُقَالُ لِلْفَرْعِ لِمَا؟ فَإِذَا صَحَّ قِيَاسُهُ عَلَى اْلأَصْلِ صَحَّ وَ قَامَتْ بِهِ حُجَّةٌ.

"Dasar utama dalam menetapkan hukum adalah Al-Qur'an dan sunnah. Jika tidak ada, maka dengan mengqiyaskan kepada Al-Qur'an dan sunnah. Apabila sanad hadits bersambung sampai kepada Rasulullah SAW dan shahih sanadnya,maka itulah yang dikehendaki. Ijma' sebagai dalil adalah lebih kuat khabar ahad dan hadits menurut zhahirnya. Apabila suatu hadits mengandung arti lebih dari satu pengertian, maka arti yang zhahir-lah yang utama. Kalau hadits itu sama tingkatannya, maka yang lebih shahih-lah yang lebih utama. Hadits Munqathi' tidak dapat dijadikan dalil kecuali jika diriwayatkan oleh Ibnu al-Musayyab. Suatu pokok tidak dapat diqiyaskan kepada pokok yang lain dan terhadap pokok tidak dapat dikatakan mengapa dan bagaimana, tetapi kepada cabang dapat dikatakan mengapa. Apabila sah mengqiyaskan cabang kepada pokok, maka qiyas itu sah dan dapat dijadikan hujjah."

Dari perkataan beliau tersebut, dapat diambil kesimpulan, bahwa pokok-pokok pikiran beliau dalam mengistinbathkan hukum adalah:

a. Al-Qur'an dan Al-Sunnah

Imam Syafi'i memandang Al-Qur'an dan Sunnah berada dalam satu martabat. Beliau menempatkan Al-Sunnah sejajar dengan Al-Qur'an, karena menurut beliau, Sunnah itu menjelaskan Al-Qur'an, kecuali hadits ahad tidak sama nilainya dengan Al-Qur'an dan hadits mutawatir. Di samping itu, karena Al-Qur'an dan Sunnah keduanya adalah wahyu, meskipun kekuatan Sunnah secara terpisah tidak sekuat seperti Al-Qur'an.

Imam Syafi'i dalam menerima hadits ahad mensyaratkan sebagai berikut:

1. Perawinya terpercaya.
2. Perawinya berakal, memahami apa yang diriwayatkannya.
3. Perawinya dhabith (kuat ingatannya).
4. Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadits itu dari orang yang menyampaikan kepadanya.
5. Perawi itu tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadits itu.

b. Ijma'

Imam Syafi'i mengatakan bahwa ijma' adalah hujjah dan ia menempatkan ijma' ini sesudah Al-Qur'an dan Al-Sunnah sebelum qiyas. Imam Syafi'i menerima ijma' sebagai hujjah dalam masalah-masalah yang tidak diterangkan dalam Al-Qur'an dan sunnah.
Ijma' menurut pendapat Imam Syafi'i adalah ijma' ulama pada suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan ijma' suatu negeri saja dan bukan pula ijma' kaum tertentu saja. Namun Imam Syafi'i mengakui bahwa ijma' sahabat merupakan ijma' yang paling kuat.

Imam Syafi'i hanya mengambil ijma' sharih sebagai dalil hukum dan menolak ijma' sukuti menjadi dalil hukum. Alasannya menerima ijma' sharih, karena kesepakatan itu disandarkan kepada nash dan berasal dari semua mujtahid secara jelas dan tegas sehingga tidak mengandung keraguan. Sementara alasannya menolak ijma' sukuti karena tidak merupakan kesepakatan semua mujtahid. Diamnya sebagian mujtahid menurutnya belum tentu menunjukkan setuju.

c. Qiyas

Imam Syafi'i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil keempat setelah Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma' dalam menetapkan hukum.

Imam Syafi'i adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan asas-asasnya. Sedangkan mujtahid sebelumnya sekalipun telah menggunakan qiyas dalam berijtihad, namun belum membuat rumusan patokan kaidah.
Dari beberapa sumber lainnya, Imam Syafi’i juga menggunakan al-Istishab dan maslahah mursalah sebagai sumber dalil.

4. Mazhab Hanbali

Adapun sumber hukum dan metode istinbath Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan hukum adalah:

a. Nash dari Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih.
Apabila beliau telah mendapati suatu nash dari Al-Qur'an dan dari Sunnah Rasul yang shahihah, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan nash itu.

b. Fatwa para sahabat Nabi SAW
Apabila ia tidak mendapatkan suatu nash yang jelas, baik dari Al-Qur'an maupun dari hadits shahih, maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di kalangan mereka.

c. Apabila terdapat perbedaan di antara fatwa para sahabat, maka Imam Ahmad ibn Hanbal memilih pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur'an dan Sunnah.

d. Hadits Mursal dan Hadits Dha'if
Apabila ia tidak menemukan dari tiga poin di atas, maka beliau menetapkan hukum dengan hadits mursal dan hadits dha'if. Dalam pandangan Imam Ahmad ibn Hanbal, hadits hanya dua kelompok yaitu, hadits shahih dan hadits dha'if.

e. Qiyas
Apabila Imam Ahmad ibn Hanbal tidak mendapatkan nash dari hadits mursal dan hadits dha'if, maka ia menganalogikan / menggunakan qiyas. Qiyas adalah dalil yang digunakan dalam keadaan dharurat (terpaksa).

f. Langkah terakhir adalah menggunakan sadd al-dzara'i, yaitu melakukan tindakan preventif terhadap hal-hal yang negatif.


5. Mazhab Zhahiri

Mazhab ini dinisbatkan kepada Imam Daud bin Ali, salah seorang tokoh yang hanya berpegang kepada zahir nash, sehingga ia digelari dengan Al-Zahiri dan pengikut beliau yang banyak mengembangkan pemikirannya adalah Ibn Hazm.

Adapun sistematika sumber dalil yang menjadi pegangan mazhab ini dalam melakukan istinbath hukum adalah:

a. Al-Kitab
b. Al-Sunnah
c. Ijma’ Shahabat

Mazhab ini hanya berpijak pada zahir nash (apa yang tampak) dari penuturan nash baik perintah maupun larangan. Mazhab ini tidak membahas masalah ’illat hukum dan tidak mengakui Qiyas sebagai dalil atau sumber hukum.

Tentang Ijma’, mereka berpendapat bahwa Ijma’ yang dapat dijadikan adalah Ijma’ Shahabat. Mereka tidak menerima pendapat adanya Ijma’ sebagai hujjah seperti dipegangi oleh fuqaha lainnya. Dengan kata lain kalangan Zhahiriyah tidak mengakui adanya ”ijma’, kecuali Ijma’ Shahabat saja.

6. Mazhab Syi’ah

Mazhab ini dalam melakukan istibath hukum berpegang kepada empat sumber dengan urutannya sebagai berikut:

a. Al-Kitab
b. Al-Sunnah
c. Al-Ijma’
d. Al-’Aqal

Mazhab ini, dalam melakukan ijtihad bila tidak ada nash dan Ijma’ mereka menggunakan akal dan menolak Qiyas. Sungguhpun demikian, di antara kalangan Syi’ah ini ada yang hanya berpegang terhadap pendapat imam dan tidak menggunakan akal. Demikian juga mereka tidak menerima dan memandang al-Ijma’ sebagai dalil hukum sebagaimana umumnya dipegangi oleh kalangan ulama Ahlu Sunnah. Ijma’ yang mereka terima adalah Ijma’ para imam mereka yang dipandang ma’shum.

Dari apa yang telah diuraikan di atas, ternyata di kalangan ulama mazhab terdapat perbedaan-perbedaan satu sama lainnya dalam hal menetapkan sumber dalil dan sistematikanya sebagai pijakan atau dasar ketika melakukan istinbath hukum.

Perbedaan yang paling mendasar ialah berkaitan dengan sumber-sumber yang bukan nash.
Adapun sumber dalil yang manshus (nash) hampir tidak ada perbedaannya, karena seluruh ulama mazhab berpijak kepada kedua sumber itu yang dalam prakteknya al-Sunnah ditempatkan pada urutan kedua setelah al-Kitab (al-Qur'an).

Begitu juga tentang Ijma’, seluruh ulama mazhab menjadikannya sebagai sumber dalam menetapkan hukum. Perbedaannya terlihat – seperti tergambar pada uraian di atas – bahwa jika kalangan Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah menyebutkan ijma’ para mujtahid dari setiap masa, sedangkan kalangan Zhahiriyah membatasi ijma’ shahabat saja dan kalangan Syi’ah ijma’ yang mereka maksudkan adalah dari kalangan imam-imam mereka yang dipandang ma’shum. Bahkan secara eksplisit Syi’ah menyebutkan bahwa ijma’ yang mereka terima ialah yang berasal dari imam-imam mereka saja.

Tentang Qiyas, kalangan mazhab empat – Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali – memandangnya sebagai salah satu sumber dalil dalam menetapkan hukum. Akan tetapi, kalangan Ahlu Zhahir dan Syi’ah tidak memandang Qiyas sebagai salah satu dalil hukum.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalil-dalil al-Kitab, al-Sunnah, al-Ijma’ dan Qiyas hampir seluruh kalangan mazhab menjadikannya sebagai sumber dalil dalam menetapkan hukum. Dan keempat sumber dalil yang disebut terakhir ini merupakan sumber yang disepakati oleh Jumhur Ushuliyyun. Bahkan dikatakan ia wajib diikuti oleh umat Islam, meskipun masing-masing keempat dalil tersebut tidak mempunyai otoritas (kekuatan) yang sama dalam posisinya. Artinya, sistematika pengurutannya menunjukkan peringkatnya masing-masing di mana al-Kitab ditempatkan pada peringkat pertama, al-Sunnah pada peringkat kedua dan pada peringkat ketiga al-Ijma’ serta Qiyas pada peringkat terakhir.

Sistematika pengurutan sumber dalil berdasar peringkat ini, bukan tidak mempunyai dasar filosofis. Dasar filosofis pengurutan dalil berdasar peringkatnya ini adalah:

Pertama; menunjukkan proses atau langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pencarian alasan sebagai pijakan dalam istinbath hukum.

Kedua; menunjukkan otoritas (kekuatan) dalil (alasan) sebagai hujjah dalam istinbath hukum.

Di samping itu, pengurutan seperti ini agaknya, dilatarbelakangi oleh hadits Nabi yang sering dirujuk oleh ulama sebagai dasar ijtihad, yaitu dialog antara Nabi dengan Mu’az ibn Jabal yang diutus ke negeri Yaman untuk mengajarkan agama Islam di sana.

Dari isi dialog antara Nabi dengan Mu’az ibn Jabal tersebut dapat dipahami bahwa langkah-langkah penyelesaian persoalan-persoalan hukum, secara tertib harus berpijak kepada dalil nash al-Kitab, al-Sunnah, dan bila tidak ditemukan di dalam nash jawabannya, maka harus menempuh upaya lain dengan menggunakan penalaran ra’yu.

Penggunaan penalaran ra’yu ini, merupakan upaya yang ditempuh setelah tidak menemukan jawaban atau alasan di dalam nash dari berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan umat. Tradisi menggunakan ra’yu ini pada akhirnya dalam pemikiran ushul fiqh menjelma menjadi dalil hukum setelah dirumuskan secara sistematis yang dalam kenyataannya muncul dalam berbagai bentuk: seperti al-Ijma’, al-Qiyas, al-Istihsan dan seterusnya. Dan di kalangan ulama ushul sering diistilahkan dengan al-adillah al-ijtihadiyah.

Atas dasar ini, maka para ulama ushul di berbagai mazhab menyusun sistematika istinbath, secara berurutan dengan menempatkan dalil-dalil ra’yu setelah al-Qur'an dan al-Sunnah di mana otoritasnya lebih rendah dari kedua dalil nash yang telah disebutkan ini. Di kalangan ulama mazhab mempunyai kaidah istinbath dengan berpijak pada sistematika yang telah mereka susun masing-masing.

Sistematika istinbath yang disusun oleh masing-masing mazhab tersebut, merupakan manhaj (metode) dalam melakukan istinbath terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian yang telah dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Sistematika sumber hukum Islam dan sistem istinbath Imam Abu Hanifah adalah Kitabullah (Al-Qur'an), Sunnah Rasulullah SAW (hadits) dan atsar-atsar yang shahih yang telah masyhur diantara para ulama, Fatwa-fatwa para sahabat, Qiyas, Istihsan, dan Adat serta 'uruf masyarakat.

2. Sistematika sumber hukum Islam dan sistem istinbath Imam Malik adalah berpegang pada Al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Ahl al-Madinah, Fatwa Sahabat, Khabar Ahad dan Qiyas, Al-Istihsan, Al-Mashlahah Al-Mursalah, Sadd Al-Zara'i, Istishhab, dan Syar'u Man Qablana.

3. Sistematika sumber hukum Islam dan sistem istinbath Imam Syafi'i adalah Al-Qur'an, Al-Sunnah, Ijma', dan Qiyas.

4. Sistematika sumber hukum Islam dan sistem istinbath Imam Ahmad ibn Hanbal adalah Nash dari Al-Qur'an, Sunnah yang shahih, Fatwa para sahabat Nabi SAW, Fatwa sahabat yang lebih dekat kepada Al-Qur'an dan Sunnah, Hadits Mursal dan Hadits Dha'if, Qiyas, dan langkah terakhir adalah menggunakan sadd al-dzara'i, yaitu melakukan tindakan preventif terhadap hal-hal yang negatif.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Subki, Ibn. tt. Matn Jam’i al-Jawami’. ttp: Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-’Arabiyah

Al-Syathibi, Abu Ishak. tt. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, jil. I. Mesir: Dar al-Fikr al-’Arabi

Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Prof. Dr. 1980. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang

Djamil, Fathurrahman DR. H. MA. 1997. Filsafat Hukum Islam (Bagian Pertama), Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Haswir, MAg. dan Muhammad Nurwahid, MAg. 2006. Perbandingan Mazhab, Realitas Pergulatan Pemikiran Ulama Fiqih. Pekanbaru: Alaf Riau

Khallaf, Abdul Wahab. 1984. ’Ilmu Ushul al-Fiqh, cet. VIII. Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah

M. Zein, Satria Effendi, Prof. Dr. H. MA. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana

Mubarok, Jaih, Dr. 2000. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Mubarok, Jaih, Dr. 2002. Modifikasi Hukum Islam: Studi Tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Romli SA, Drs. M.Ag. 1999. Muqaranah Mazahib Fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama

Syafi’i, Rachmat, Prof. DR. MA. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia

Yanggo, Huzaemah Tahido, Dr. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar