Minggu, 09 Januari 2011

Ayat-Ayat Tentang Zakat dan Infaq

BAB I
PENDAHULUAN

Zakat, yang secara harfiah berarti tambah (al-ziyadah), berkembang, tumbuh (an-nuwuw), bersih (al-tazkiyah) dan suci (al-thaharah), ialah nama atau sebutan bagi sebagian harta tertentu yang dikeluarkan untuk orang-orang tertentu, menurut aturan dan dengan ukuran-ukuran yang tertentu pula.
Zakat disyari’atkan pada tahun kedua atau tahun ketiga Hijriah. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Ada yang menyatakan pensyari’atan zakat lebih dahulu dari pada puasa; dan ada pula yang menyatakan sebaliknya, yakni pensyari’atan puasa lebih dahulu dari pada pensyari’atan zakat. Karenanya mudah dimengerti jika posisi zakat terkadang diletakkan sebagai rukun Islam ketiga, tetapi pada kesempatan yang lain sering pula dinyatakan sebagai rukun Islam keempat.
Lepas dari perbedaan pendapat yang ada, yang pasti zakat merupakan rukun Islam yang tidak boleh diabaikan. Bila kita simak dengan seksama ayat-ayat suci al-Qur’an terdapat 82 ayat tentang zakat yang langsung dikaitkan dengan perintah shalat. Sehingga dalam rukun Islam, zakat menempati posisi penting ketiga setelah syahadat dan shalat.
Cukup banyak ayat al-Qur'an dan matan Hadits yang memerintahkan kaum muslimin supaya mengeluarkan zakat, dan tidak sedikit pula ayat dan Hadits Nabi Muhammad SAW yang mengancam orang-orang yang mengingkari kewajiban zakat.
Dalam makalah ini akan dibahas ayat-ayat hukum tentang zakat, terutama ayat yang bertalian dengan perintah berzakat dan orang-orang yang berhak menerima zakat, yaitu Surat al-Taubat ayat 60 dan 103, Surat al-An’am ayat 141 dan Surat al-Baqarah ayat 267 dan 271.



BAB II
PEMBAHASAN
AYAT TENTANG ZAKAT DAN INFAQ

A. Surat al-Taubat [9]: 60
                        

1. Terjemah Ayat
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. al-Taubat [9]: 60)

2. Tafsir Mufradat
a. الصدقات: zakat wajibah berlaku dalam bentuk uang tunai dan binatang ternak, maupun tanam-tanaman dan perdagangan/perniagaan. Hanya saja, seperti akan diuraikan nanti dalam penjelasan ayat, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai apa yang dimaksud dengan sedekah pada ayat ini, apakah sedekah wajib atau termasuk di dalamnya sedekah tathawwu’.
b. الفقرآء: jamak dari فقير yaitu orang yang berpenghasilan tidak tetap lagi kecil (tidak mencukupi) penghasilannya.
c. المساكين: jamak dari مسكين, yang berasal dari kata سكن - يسكن artinya: hilang kegiatannya, karena menggantungkan kehidupannya kepada manusia. Miskin yaitu orang yang memiliki penghasilan tetap, tetapi penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan hidupnya.
d. العاملين: orang atau panitia/badan yang mengurusi penerimaan dan penyaluran zakat/sedekah, terutama yang diangkat oleh ulil amri (pemerintah)
e. المؤلفة قلوبهم: orang-orang yang diharapkan hatinya condong (melirik) kepada Islam atau berketetapan dalam agama Islam yang dianutnya.
f. الرقاب: pemerdekaan budak. Kata الرقاب adalah bentuk jamak dari kata raqabah yang pada mulanya berarti “leher”. Makna ini berkembang sehingga bermakna “hamba sahaya” karena tidak jarang hamba sahaya berasal dari tawanan perang yang saat ditawan, tangan mereka dibelenggu dengan mengikatnya ke leher.
g. الغارمين: orang yang berhutang (debitur) yang tidak mampu membayar hutangnya.
h. سبيل الله: jalan/sarana yang mengantarkan penggunanya menuju ridha Allah dan pahala dari-Nya; dan yang dimaksud dengannya adalah setiap orangyang melakukan aktivitas (kegiatan) yang masuk ke dalam kategori mentaati Allah seperti untuk membiayai peperangan, haji dan lain sebagainya.
i. إبن السبيل: musafir yang kekurangan/kehabisan bekal di perjalanan yang relatif cukup jauh, yang mengalami kesulitan meskipun di kampung halamannya dia tergolong orang yang berada.
j. فرضة من الله: Yakni Allah telah menetapkan ketentuan yang demikian itu sebagai suatu kewajiban yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun.

3. Sabab an-Nuzul Ayat
Banyak riwayat tentang sebab turunnya ayat ini, yang menceritakan kisah–kisah tertentu mengenai orang-orang tertentu yang mencela keadilan Rasulullah SAW dalam pendistribusian zakat ini.
Salah satunya adalah: Imam Bukhari dan an-Nasa’i meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ra. ia berkata, “ketika Nabi melakukan pembagian zakat, tiba-tiba datanglah Dzul Huwaishir at-Tamimi kepada beliau lalu berkata, ‘Yang adillah wahai Rasululah!’ Kemudian beliau bersabda, ‘Celakalah kamu! Siapakah yang berbuat adil kalau aku tidak berbuat adil?’ Kemudian Umar ibn Khattab berkata, ‘Izinkanlah aku untuk memenggal kepalanya!’ Rasulullah bersabda, ‘Biarkanlah dia! Sesungguhnya dia mempunyai kawan-kawan yang salah seorang dari kamu meremehkan shalatnya bersama shalat mereka, dan puasanya bersama puasa mereka. Mereka lepas dari agama sebagaimana anak panah lepas dari busur…’ Maka, mengenai mereka turunlah ayat, ‘Di antara mereka ada yang mencelamu tentang (pemberian) zakat.”

4. Munasabah Dengan Ayat Sebelumnya
Setelah Allah SWT menyebutkan celaan orang-orang munafik tentang pembagian zakat dalam ayat 58-59 al-Taubah, Dia mengiringinya dengan keterangan mengenai kebenaran pembagian zakat yang dilakukan oleh Rasululah SAW, karena dalam pembagian zakat kepada golongan yang disyari’atkan, beliau tidak melampaui batas, yaitu asas keadilan. Yang demikian itu adalah bahwa Allah SWT mensyari’atkan pembagian zakat itu kepada golongan-golongan tersebut, Dia tidak mewakilkan pembagian tersebut kepada seorang pun selain kepada Rasulullah SAW, dan beliau tidak mengambil sedikit pun dari zakat itu untuk dirinya sendiri. Maka dalam hal apakah celaan tersebut ditimpakan kepada orang yang melakukan pembagian zakat, yakni Rasulullah SAW?
Jadi ayat di atas merupakan bantahan terhadap ucapan para pencela itu, merupakan pemutus ketamakan mereka, dan menerangkan bahwa mereka jauh dari hak menerima pembagian zakat, dan merupakan pemberitahuan tentang orang-orang yang apabila mereka diberi bagian zakat adalah merupakan bagian keadilan, dan apabila mereka tidak diberi bagian merupakan kezaliman.

5. Penjelasan Pokok Kandungan Ayat
Kata ” انما” –adat hashr- pada ayat di atas menunjukkan bahwasanya sedekah itu (pembagiannya) terbatas hanya kepada delapan kelompok penerima zakat (mustahiq); tidak boleh untuk dibagikan kepada selain mereka. Hanya saja, di masa-masa Islam, kata sedekah itu bisa mencakup zakat wajib dan sedekah sunnah sekaligus. Karenanya, mudah dimengerti jika di kalangan para ulama terdapat perselisihan pendapat dalam menafsirkan kata الصدقات pada ayat di atas. Bahwa yang dimaksud di dalamnya adalah “al-zakat al-wajibah”, itu telah menjadi konsensus (ijma’) mereka. Namun di balik itu mereka berlainan persepsi ketika dihadapkan pada pertanyaan: adakah dalam ayat tersebut termasuk juga sedekah mandubah (sunah)?
Sebagian mereka memasukkan sedekah sunnah ke dalam ayat tersebut; sementara sebagian yang lain tidak memasukkannya. Orang yang memasukkan sedekah mandubah ked lam makna ayat tersebut, melihat bahwa lafal الصدقات di sini bersifat umum, tidak dibatasi hanya dalam sedekah wajib, yaitu zakat. Karenanya, memasukkan sedekah sunnah ke dalamnya merupakan suatu hal yang sangat wajar. Bahkan, demikian ujar mereka lebih lanjut, pengertian yang langsung diperoleh dari ayat ini menunjuk kepada sedekah-sedekah mandubah.
Adapun mereka yang berpendirian bahwa yang dimaksud dengan الصدقات di sini adalah zakat-zakat wajibah, mereka mendalilkan argumentasinya pada alasan-alasan berikut:
1. Alif-Lam/ al ( ال ) yang terdapat pada kata الصدقات itu adalah “al li al-‘ahl al-dzikri”, yang maksudnya adalah sedekah-sedekah wajib (al-shadaqat al-wajibah) yang telah Allah tunjukkan pada ayat yang sebelumnya, yakni ayat “وَمِنْهُمْ مَن يَلْمِزُكَ فِيْ الصَّدَقَاتِ “ (al-Taubat: 58)
2. Sedekah-sedekah yang mandubah, pentasarrufan (penyalurannya) boleh-boleh saja diberikan kepada selain delapan ashnaf di atas, menurut kesepakatan kaum muslimin, seperti membangun masjid, pengurusan jenazah, pemberian beasiswa dan lain-lain kepentingan umum.
3. Allah SWT menjadikan atau menempatkan ‘amilin (panitia zakat) sebagai salah satu kelompok yang berhak mendapatkan bagian zakat wajibah, sesuatu yang tidak pernah dikenal keberadaannya dalam rangkaian pembagian sedekah-sedekah mandubah.
4. Allah SWT menetapkan الصدقات di sini dengan menggunakan redaksi “lam al-tamlik” bagi kelompok delapan yang berhak menerimanya; dan karenanya perlu diingat, bahwa sedekah-sedekah yang kepemilikannya diberikan kepada mereka itu hanyalah zakat-zakat wajibah.
Berbarengan dengan itu para ulama juga berlainan pendirian dalam menjawab pertanyaan apakah pembagian zakat itu harus diratakan kesemua delapan kelompok di atas, atau boleh diberikan kepada kelompok-kelompok tertentu saja dari delapan ashnaf penerima zakat di atas?. Menurut sebagian mereka –di antaranya al-Syafi’i- penyerahan zakat harus diberikan kepada semua kelompok yang ada, tidak boleh hanya diberikan kepada sebagian kelompok saja. Tetapi menurut pendapat kedua, di antaranya dipegang oleh Abu Hanifah, Malik dan lain-lain, boleh-boleh saja pembagian itu diprioritaskan kepada kelompok-kelompok tertentu yang lebih membutuhkan, sesuai dengan kebijakan ulil amri yang berhak menilai kelompok mana saja yang lebih berhak.
Ayat ini merupakan dasar pokok menyangkut menyangkut kelompok-kelompok yang berhak mendapat zakat. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami masing-masing kelompok. Secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut:
Dua kelompok pertama dan kedua adalah fuqara’ dan masakin. Ulama bahasa demikian juga fiqh berbeda pendapat tentang makna fakir dan miskin. Ada sembilan pendapat yang dikemukakan oleh al-Qurthubi di dalam tafsirnya. Salah satu di antaranya ialah: fakir adalah yang butuh dari kaum muslimin dan miskin adalah orang yang butuh dari Ahl al-Kitab (Yahudi dan Nasrani). Betapapun ditemukan aneka pendapat, namun yang jelas, fakir dan miskin keduanya membutuhkan bantuan karena penghasilan mereka tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak.
Para ulama – berdasar sekian banyak teks keagamaan – menetapkan sekian syarat bagi fakir dan miskin yang berhak menerima zakat. Salah satu di antaranya ialah ketidakmampuan mencari nafkah. Tentu saja ketidakmampuan tersebut mencakup sekian banyak penyebab, baik karena tidak ada lapangan kerja, maupun kualifikasi atau kemempuan yang dimilikinyatidak memadai untuk menghasilkan kecukupannya bersama siapa yang berada dalam tanggungannya.
Kelompok ketiga, adalah al-‘Amilun, mereka adalah orang-orang yang oleh pihak yang berwenang diberi kepercayaan untuk menangani pemungutan dan penyaluran zakat, termasuk di dalamnya para karyawan yang dipekerjakan untuk itu, dalam istilah sekarang semisal BAZIS (Badan Amil Zakat, Infak dan Shadakah) dan lain sebagainya. Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa jumlah pemberian yang boleh diterima mereka, sebagian menyatakan seperdelapan, ada juga yang menyerahkan pada kelayakan menurut penilaian pihak yang berwenang. Karenanya, ada sebagian ulama yang mengambil pemahaman dari firman Allah SWT ”wa al-‘amilina ‘alayha” ini sebagai suatu kewajiban bagi ulil amri untuk membentuk badan atau lembaga yang khusus menangani ihwal zakat dan shadakah.
Kelompok keempat, adalah al-mu’allafah qulubuhum, yaitu suatu kaum kafir yang terdapat di awal permulaan Islam. Terdapat perbedaan pendapat dalam menafsirkan al-mu’allafah qulubuhum. Sebagian mengatakan, mereka adalah orang-orang kafir yang oleh Nabi dibujuk hatinya supaya menganut agama Islam; mereka tidak mau masuk ke dalam Islam kecuali dengan mendapatkan pemberian harta. Pendapat lain menyebutkan, mereka adalah orang-orang yang secara lahiriah-formal mengaku diri min al-muslimin, tetapi dalam prakteknya, keislaman mereka belum baik. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah memeluk agama Islam; di samping ada pula yang menafsirkan al-mu’allafah qulubuhum dengan pemuka-pemuka kaum musyrikin yang diperlunak hatinya oleh Nabi dengan pemberian.
Kelompok kelima. ialah untuk memerdekakan budak. Hanya saja, di zaman sekarang ini secara formal sistem perbudakan ini sudah tidak ada lagi, dan karenanya maka tidak penting dibahas panjang lebar di sini.
Kelompok keenam, al-gharimin. Secara lughawi, kata al-gharam berarti ketetapan atau keharusan (al-luzum). Adapun yang punya hutang itu dinamai al-gharim ialah karena dia dibebani kewajiban untuk membayar hutangnya. Lahiriah ayat ini mengisyaratkan bahwa orang yang punya hutang, boleh diberi zakat secara mutlak, apakah dia memiliki kesanggupan untuk membayar hutangnya atau tidak, dan apakah hutang itu dilakukan untuk kepentingan dirinya atau orang lain, serta apakah hutang itu digunakan untuk kemaksiatan atau tidak. Akan tetapi para ulama Hanafiah mengkhususkan kata al-gharim untuk sebutan bagi orang-orang yang tidak memiliki harta minimal saru nishab di luar hutang yang dimilikinya. Alasannya, kata mereka, sabda Rasulullah SAW yang menyatakan, “ و اردها في فقرآئكم “ yang pada intinya menunjukkan bahwa sedekah tidak boleh diberikan kepada siapa pun kecuali kepada orang-orang fakir.
Kelompok ketujuh, sabil Allah. Abu Hanifah, Malik dan al-Syafi’i berkata bahwa bagian sabil Allah yang tersebut dalam ayat di atas, diberikan kepada tentara atau para pejuang yang tidak mendapatkan pembayaran (honorarium) dari departemen yang bersangkutan. Sedangkan menurut Ahmad bin Hanbal, menurut riwayat yang paling shahih, saham sabil Allah boleh diberikan kepada orang-orang yang mau haji tetapi mereka tidak mempunyai biaya.
Jumhur ulama berpendirian bahwa ibadah haji memang dapat dikategorikan ke dalam sabil Allah, tetapi ayat di atas lebih tepat diartikan ke dalam peperangan seperti yang telah dikemukakan.
Sebagian kalangan ulama Hanafiah menafsirkan kata sabil Allah dengan menuntut ilmu. Bahkan lebih dari itu bisa juga ditafsirkan dengan segenap kegiatan yang mengandung nilai positif seperti untuk mengkafani mayat, membangun jembatan, ta’mir masjid dan lain sebagainya. Alasannya, kata mereka karena firman Allah “Wa fi sabil Allah”, bersifat umum, mencakup semuanya.
Kelompok kedelapan, Ibn al-sabil. Yang dimaksud dengan firman Allah Ibn al-sabil ialah musafir, yaitu orang yang meninggalkan kampung halaman dan menuju tempat yang relatif jauh, tapi kemudian ia mengalami kekurangan biaya hidup di perjalanan tersebut. Orang yang seperti ini, berhak menerima pemberian zakat meskipun di kampung halamannya sendiri tergolong orang berada.
Berkenaan dengan soal ini, al-Sayis mengemukakan bahwa ibn al-sabil yang layak diberi sedekah ialah orang yang melakukan perjalanannya bukan untuk kemaksiatan, dan dia tidak akan sampai ke tempat tujuan tanpa bantuan dari sedekah itu.
Demikian kelompok-kelompok orang-orang yang butuh lagi perlu mendapat uluran tangan dari mereka yang mampu.

B. Surat al-Taubat [9]: 103
          •        

1. Terjemah Ayat
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Taubat [9]: 103)




2. Tafsir Mufradat
a. من : kata min dalam firman Allah SWT خذ من أموالهم صدقة berarti بعض (sebagian).
b. تطهرهم: artinya dengan sedekah itu kamu membersihkan mereka (dari daki-daki keterbelakangan yang melumuri mereka dan dari sifat cinta harta yang menyebabkan keterbelakangan).
c. تزكيهم: artinya dengan sedekah itu kamu mensucikan mereka (dari seluruh perangai tercela yang ditimbulkan oleh harta).
d. وصل عليهم: artinya berbelas kasih-lah kepada mereka dan mintalah rahmat dari Allah untuk mereka.
e. إن صلاتك سكن لهم: artinya sesungguhnya doamu itu membuat jiwa mereka menjadi tenteram, hati mereka menjadi tenang, dan mereka percaya bahwa Allah SWT menerima taubat mereka.

3. Munasabah Dengan Ayat Sebelumnya
Mereka yang mengakui dosanya sewajarnya dibersihkan dari noda, dan karena sebab utama ketidakikutan mereka ke medan juang adalah ingin bersenang-senang dengan harta yang mereka miliki, atau disebabkan karena hartalah yang menghalangi mereka berangkat, maka ayat ini memberi tuntunan tentang cara membersihkan diri, dan untuk itu Allah SWT memerintahkan Nabi SAW mengambil harta mereka untuk disedekahkan kepada yang berhak. Demikian lebih kurang Thahir Ibnu ‘Asyur sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab dalam tafsirnya menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya.
Dapat juga dikatakan, bahwa ayat yang lalu berbicara tentang sekelompok orang yang imannya masih lemah, yang mencampurbaurkan amal baik dan buruk dalam kegiatannya. Mereka diharapkan dapat diampuni Allah. salah satu cara pengampunan-Nya adalah melalui sedekah dan pembayaran zakat.

4. Penjelasan Pokok Kandungan Ayat
a. Dikatakan orang bahwa yang diperintahkan untuk diambil dalam ayat tersebut adalah zakat, dan bahwa kata min dalam ayat tersebut berarti “sebagian”. Mereka –para sahabat- hendak menyedekahkan seluruh harta mereka, maka Allah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengambil sebagian dari harta mereka (sebagai pertanda) bagi taubat mereka, karena zakat itu tidak diterima dari sebagian orang-orang munafik. Dengan demikian ayat tersebut berkaitan dengan ayat sebelumnya.
Pendapat lain menyatakan bahwa yang diperintahkan untuk diambil dalam ayat ini bukanlah sedekah yang difardhukan itu (zakat). Akan tetapi setelah mereka bertaubat, mereka hendak memberikan seluruh harta mereka sebagai kafarat bagi dosa yang telah mereka kerjakan. Maka Allah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengambil sebagian dari harta mereka, yaitu sepertiga. Pendapat ini diriwayatkan dari al-Hasan, dan pendapat inilah yang terpilih di kalangan para ulama.
b. Ulama mengemukakan dalil sunatnya mendoakan orang yang bersedekah dengan firman Allah SWT: وصل عليهم (dan berdo’alah untuk mereka).
Asy-Syafi’i berkata: “sunat bagi seorang imam mendoakan orang yang bersedekah apabila ia memungut sedekah, seraya berkata:
أجرك الله فيما أعطيت وجعله طهورا وبرك لك فيما أبقيت
“Semoga Allah memberi pahala kepadamu dari apa yang kamu berikan, semoga Dia menjadikannya sebagai penyuci (dosa-dosamu), dan semoga Dia melimpahkan berkah kepadamu pada harta yang masih kusimpan.”
c. Ayat tersebut menunjukkan kebolehan membaca shalawat kepada selain para Nabi secara bebas.
d. Mengenai rahasia do’a Nabi SAW merupakan ketenteraman bagi mereka adalah bahwa jiwa beliau adalah jiwa yang kuat, bercahaya, jernih dan luhur. Maka apabila beliau mendoakan mereka dan memohonkan kebaikan bagi mereka, meresaplah pengaruh kekuatan beliau yang bersifat kejiwaan ke dalam jiwa mereka, sehingga lantaran pengaruh ini bercahayalah jiwa mereka dan jernihlah hati mereka.

C. Surat al-An’am [6]: 141
   • •   • •   • •                      

1. Terjemah Ayat
“Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (QS. al-An’am [6]: 141)

2. Tafsir Mufradat
a. معروشات : berarti disangga oleh tiang-tiang yang kamu buat.
b. وغير معرشات: berarti dibiarkan begitu saja di permukaan tanah, tidak disangga oleh tiang.
c. والنخل: maksudnya: dan Dia menjadikan pohon kurma yang berbuah sebagai buah-buahan dan makanan.
d. والزرع : maksudnya: dan menjadikan tanam-tanaman yang menghasilkan bermacam-macam bahan makanan.
e. مختلفا أكله : maksudnya: buah dan bijinya bermacam-macam warna, rasa, ukuran dan baunya.
f. كلوا من ثمره إذا أثمر : maksudnya: makanlah masing-masing dari buah-buahan yang disebutkan itu apabila didapat.
g. وأتوا حقه يوم حصاده : artinya: tunaikanlah haknya pada hari memetik hasilnya.

3. Munasabah Dengan Ayat Sebelumnya
Pada ayat yang lalu Allah telah menerangkan bagaimana kaum musyrikin Mekah dan pemimpin-pemimpin mereka telah mengada-adakan ketetapan-ketetapan dan peraturan-peraturan yang hanya berdasarkan kemauan dan keinginan mereka saja bahkan mereka mendakwakan bahwa peraturan-peraturan itu adalah dari Allah SWT. Hal ini dibantah oleh Allah dengan menegaskan bahwa peraturan-peraturan itu hanya dibikin oleh setan-setan dari pemimpin mereka saja, bahwa merekalah bersama sekutu-sekutu mereka yang membikin dan mentaati peraturan-peraturan itu. Mereka telah tersesat dari jalan yang lurus, dan akan mendapatkan siksaan yang setimpal dengan dosa-dosa mereka.
Maka pada ayat-ayat ini Allah menjelaskan lagi nikmat dan kurnia-Nya yang diberikan-Nya kepada hamba-Nya. Seharusnya kurnia yang demikian besar disambut oleh hamba-Nya dengan bersyukur dan mentaati perintah-Nya, tetapi kaum musyrikin Mekah menyambutnya dengan mengharamkan dan menghalalkan nikmat itu dan mengada-adakan dusta terhadap Allah dengan mendakwakan bahwa peraturan itu adalah dari Allah datangnya.

4. Penjelasan Pokok Kandungan Ayat
Ayat ini menunjukkan adanya hak orang lain pada harta yang dimiliki seseorang. Hak itu merupakan kewajiban bagi pemilik harta. Sementara ulama berpendapat bahwa penggalan ayat di atas menunjukkan kewajiban menunaikan zakat. Pendapat ini disanggah oleh ulama lain dengan alasan bahwa ayat, bahkan surat ini turun di Mekah sebelum Nabi SAW berhijrah ke Madinah, sedang zakat baru diwajibkan setelah Nabi SAW berhijrah ke Madinah.
Kata حصاد (hashad/memetik) dijadian sebagai waktu penunaian kewajiban atau tuntunan memberi kepada orang lain, karena biasanya memetik hasil tanaman, bertujuan untuk menghimpun dan menyisihkannya untuk masa datang atau untuk menjualnya. Alhasil, pemetikan bukan bertujuan memenuhi kepentingan mendesak untuk dimakan oleh pemilik dan keluarganya pada hari-hari terjadinya pemetikan itu. Penyisihan tersebut adalah indikator adanya kelebihan pemilik, dan dari sini lahir kewajiban atau anjuran menyisihkan sebagian untuk orang lain. Di sisi lain, panen tersebut merupakan bukti konkret adanya kelebihan begi pemilik.
Dahulu mayoritas ulama membagi jenis-jenis tertentu dari tumbuhan dan buah-buahan yang wajib dizakati. Imam Malik berpendapat bahwa yang wajib dizakati hanya yang dapat disimpan dan yang merupakan bahan makanan pokok. Imam Syafi’i dalam hal ini berpendapat serupa dan menambah satu syarat, yaitu kering, karena itu buah zaitun –menurutnya- tidak wajib dizakati begitu juga sayur mayur.
Pendapat tersebut tidak lagi relevan dewasa ini, karena sekian banyak jenis tumbuhan yang tidak dikenal oleh masyarakat Nabi SAW ketika turunnya al-Qur’an, atau tidak produktif ketika itu, tetapi kini sudah merupakan komoditi yang sangat potensial serta menghasilkan keuntungan yang tidak sedikit. Jika yang demikian itu tidak dizakati, maka akan kabur bahkan sirna unsur keadilan yang didambakan ajaran Islam. Dalam hal ini, jika kita berkata bahwa ayat di atas merupakan perintah berzakat, maka itu berarti bahwa paling tidak, jenis tumbuh-tumbuhan yang disebutnya termasuk yang wajib dizakati. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah, bahkan menurut beliau segala hasil bumi apa pun jenisnya harus dizakati, setelah memenuhi syarat-syaratnya.



D. Surat Al-Baqarah [2]: 267
                           •    

1. Terjemah Ayat
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-Baqarah [2]: 267)

2. Tafsir Mufradat
a. أنفقوا : kata infaq berasal dari akar kata nafaqa – yanfaqu – nafaqan – nifaqan yang artinya “berlalu, habis, laris, ramai”. Kalimat nafaqa asy-syai’u artinya sesuatu itu habis, baik habis karena dijual, mati atau karena dibelanjakan.
b. طيبات : terambil dari kata thayyib yang artinya baik dan disenangi (disukai); lawannya khabis yang berarti buruk dan dibenci (tak disukai).
c. ولا تيمموا : artinya: janganlah kamu bermaksud, menuju, menghendaki.
d. تغمضوا : artinya: meremehkan, memicingkan mata.
e. حميد : Maha Terpuji; maksudnya berhak mendapat pujian atas segala nikmat-Nya yang besar.



3. Sabab an-Nuzul Ayat
Diriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi SAW memerintahkan umat Islam agar mengeluarkan zakat fitrah sebanyak 1 (satu) sha’ kurma, lalu datanglah seseorang membawa kurma berkualitas rendah. Maka turunlah ayat tersebut (QS. 2: 267). Menurut al-Barra’, ayat ini turun berkenaan dengan kaum Anshar. Ketika memetik (panen) kurma mereka mengeluarkan beberapa tandan kurma, baik yang sudah matang maupun yang belum matang, lalu digantung pada tambang di antara dua tiang masjid Nabi yang diperuntukkan orang miskin dari kaum Muhajirin. Syahdan, seorang laki-laki dengan sengaja mengeluarkan satu tandan kurma yang kualitasnya sangat buruk. Ia mengira bahwa hal itu dibolehkan mengingat sudah cukup banyak tandanan kurma yang tergantung. Maka berkenaan dengan orang tersebut turunlah ayat yang artinya: “… dan janganlah kamu memilih-milih yang buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya…”. Yakni, tandanan kurma bermutu sangat buruk yang seandainya diberikan kepadamu, kamu tidak mau menerimanya.
Tidak ada perbedaan pendapat bahwa ayat di atas turun berkenaan dengan peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya, yaitu bahwa seseorang datang membawa setandan kurma yang sangat buruk lalu digantungkan di mesjid untuk dimakan fakir miskin. Maka turunlah ayat yang artinya: “… dan janganlah kamu memilih-milih yang buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya…”.

4. Munasabah Dengan Ayat Sebelumnya
Pada ayat sebelumnya, Allah dengan bahasa yang indah namun tegas, mengemukakan sifat dan niat yang harus disandang oleh seseorang ketika berinfaq, seperti ikhlas karena Allah, niat membersihkan jiwa dan menjauhi sifat riya’, serta sikap yang harus diperhatikan setelah berinfaq, yaitu tidak menyebut-nyebut infaqnya dan tidak pula menyakiti penerimanya. Itu semua merupakan pedoman yang berkenaan dengan orang yang berinfaq dan cara bagaimana seharusnya ia berinfaq.
Pada ayat ini Allah menjelaskan pedoman yang harus diperhatikan berkaitan dengan kualitas harta yang akan diinfakkan, yaitu bahwa harta tersebut hendaknya merupakan harta terbaik dan paling dicintai, sehingga dengan demikian pedoman tentang infaq dan penggunaan kekayaan pada jalan Allah menjadi lengkap dan sempurna.

5. Penjelasan Pokok Kandungan Ayat
Kalau ayat-ayat sebelum ini berbicara tentang motivasi memberi nafkah, baik tulus maupun tidak tulus, maka ayat ini menguraikan nafkah yang diberikan serta sifat nafkah tersebut. Yang pertama digarisbawahinya adalah bahwa yang dinafkahkan hendaknya yang baik-baik. Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dinafkahkan itu adalah dari hasil usaha sendiri dan apa yang dikeluarkan Allah dari bumi.
Ibnu Qayyim berpendapat ada beberapa kemungkinan alasan mengapa Allah hanya menyebutkan secara khusus dua jenis kekayaan dalam ayat di atas, yaitu kekayaan yang keluar dari bumi dan harta niaga. Kemungkinan yang pertama karena melihat kenyataan bahwa keduanya merupakan jenis kekayaan yang umum dimiliki masyarakat pada saat itu. Kemungkinan kedua adalah karena keduanya merupakan harta kekayaan yang utama (pokok). Sedangkan jenis kekayaan yang lain sudah termasuk di dalam atau timbul dari keduanya.
Hal ini karena istilah “usaha” mencakup segala bentuk perniagaan dengan berbagai ragam dan jenis harta seperti pakaian, makanan, budak, hewan, peralatan, dan segala benda lainnya yang berkaitan dengan perdagangan. Sedangkan “harta yang keluar dari bumi” meliputi biji-bijian, buah-buahan, harta terpendam (rikaz) dan pertambangan. Jelaslah bahwa keduanya merupakan harta yang pokok dan dominan.
Allah melarang mengeluarkan (menginfakkan) dengan sengaja harta yang buruk, berkualitas rendah, sebagaimana dorongan jiwa pada umumnya yaitu menyimpan harta yang baik dan mengeluarkan harta berkualitas rendah.

E. Surat Al-Baqarah [2]: 271
                       

1. Terjemah Ayat
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, Maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah [2]: 271)

2. Tafsir Mufradat
a. تبدوا : artinya: menampakkan.
b. تخفوها : artinya: menyembunyikan.
c. تؤتوها : artinya: memberikan.
d. يكفر : artinya: menghapuskan.

3. Penjelasan Pokok Kandungan Ayat
Nafkah, baik yang wajib seperti zakat maupun yang sunnah termasuk sedekah, bisa dinampakkan dan juga bisa dirahasiakan. Jangan menduga ia baru diterima Allah bila dirahasiakan. Tidak!
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah sedekah tatawwu’ (sunnah). Adapun pada sedekah wajib/zakat maka menampakkannya adalah lebih utama.
Keikhlasan memang sesuatu yang sangat rahasia bagi manusia, hanya Allah yang mengetahui kadarnya, tapi itu bukan berarti hanya bersedekah secara rahasia yang ikhlas. Siapa yang menyumbang dengan terang-terangan pun, keikhlasannya dapat tidak kurang atau melebihi yang menyumbang dengan rahasia. Mengumumkan sedekah dapat mendorong orang lain bersedekah dan menutup pintu peasangka buruk yang menjerumukan penyangka ke dalam dosa. Karena itu, jika kamu menampakkan sedekahmu maka itu ialah baik sekali selama sedekah itu didasari keikhlasan dan bukan semata-mata memilih yang buruk untuk diberikan. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu, karena ini lebih mencegah lahirnya riya’ dan pamrih, serta lebih memelihara air muka kaum fakir yang menerima.
Dengan sedekah dari harta yang halal, dan memenuhi anjuran-anjuran ayat-ayat yang lalu, Allah menghapus sebahagian bukan seluruhnya kesalahan-kesalahan kamu yang bersifat dosa kecil, bukan dosa besar dan bukan juga yang berkaitan dengan hak manusia dengan masyarakat. Ini perlu digarisbawahi agar jangan timbul dugaan, bahwa harta yang haram itu bila disedekahkan sebahagian sisanya akan menjadi halal atau menghapus dosa.





BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Kata “sedekah” itu bisa mencakup zakat wajib dan sedekah sunnah sekaligus. Karenanya, mudah dimengerti jika di kalangan para ulama terdapat perselisihan pendapat dalam menafsirkan kata الصدقات pada ayat 60 surat al-taubat di atas. Bahwa yang dimaksud di dalamnya adalah “al-zakat al-wajibah”, itu telah menjadi konsensus (ijma’) mereka.
2. Sedekah itu (pembagiannya) terbatas hanya kepada delapan kelompok penerima zakat (mustahiq); tidak boleh untuk dibagikan kepada selain mereka.
3. Yang berhak menerima zakat itu ialah: 1. Orang fakir, 2. Orang miskin, 3. Amil (Pengurus) zakat, 4. Muallaf, 5. Memerdekakan budak, 6. Orang berhutang, 7. Pada jalan Allah (sabilillah), 8. Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
4. Para ulama mengatakan bahwa yang diperintahkan untuk diambil dalam ayat 103 surat al-taubah tersebut adalah zakat, dan bahwa kata min dalam ayat tersebut berarti “sebagian”.
5. Dalam surat al-An’am Ayat 141 ini menunjukkan adanya hak orang lain pada harta yang dimiliki seseorang. Sementara ulama berpendapat bahwa penggalan ayat di atas menunjukkan kewajiban menunaikan zakat. Pendapat ini disanggah oleh ulama lain dengan alasan bahwa ayat, bahkan surat ini turun di Mekah sebelum Nabi SAW berhijrah ke Madinah, sedang zakat baru diwajibkan setelah Nabi SAW berhijrah ke Madinah.
6. Dalam surat al-Baqarah ayat 267 dijelaskan bahwa yang dinafkahkan hendaknya yang baik-baik. Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dinafkahkan itu adalah dari hasil usaha sendiri dan apa yang dikeluarkan Allah dari bumi.
7. Nafkah, baik yang wajib seperti zakat maupun yang sunnah termasuk sedekah, bisa dinampakkan dan juga bisa dirahasiakan.




DAFTAR PUSTAKA


Al-Jashshash, Al-Imam Abi Bakr Ahmad Al-Razi. 1993. Ahkam al-Qur’an (juz 1). Beirut: Dar al-Fikr

Departemen Agama RI. 1991. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa

Ibnu ‘Arabi, Abu Bakr Muhammad ibn Abdullah. 1984. Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah

Quthb, Sayyid. 2003. Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an: Di Bawah Naungan Al-Qur’an (jilid. 10), terj. As’ad Yasin, dkk. Jakarta: Gema Insani Press

Rachim, Drs. H. Abdur, dan Drs. Fathony. 1987. Syari’at Islam: Tafsir Ayat-Ayat Ibadah. Jakarta: Rajawali

Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (jilid 5). Jakarta: Lentera Hati

Suma, Dr. H. Muhammad Amin, M.A., S.H. 1997. Tafsir Ahkam I. Jakarta: Logos

4 komentar: