Minggu, 09 Januari 2011

Wasiat dan Wakaf

BAB I
PENDAHULUAN

Secara sederhana wasiat diartikan dengan “Penyerahan harta kepada pihak lain yang secara efektif berlaku setelah mati pemiliknya”. Dari kata “penyerahan harta kepada pihak lain”, wasiat itu termasuk dalam lingkup hibah. Namun karena harta yang diserahkan itu baru dimiliki oleh yang menerima setelah matinya pemilik, dia merupakan pemberian dalam bentuk khusus. Perbedaannya dengan warisan – meskipun sama-sama dimiliki setelah matinya pemilik – ialah bahwa dalam wasiat peralihan harta atas kehendak si pemilik yang diucapkannya semasih hidup, pada warisan tidak ada kehendak dari pemilik harta selama dia masih hidup.
Adapun hikmah dan tujuan hukum dari wasiat ini adalah manfaat bagi sesama hamba Allah dan tidak ada pihak yang dirugikan. Dengan cara ini umat akan mendapatkan kemudahan dari tindakan ini.
Di samping itu, wakaf dalam arti kata ialah menahan dan menghentikan. Secara terminology diartikan dengan “menghentikan pengalihan hak atas suatu harta dan menggunakan hasilnya bagi kepentingan umum sebagai pendekatan diri kepada Allah”.
Walaupun bentuk nyatanya wakaf itu menyerahkan harta kepada orang lain dan oleh karenanya dapat disebut pemberian, namun ia mempunyai bentuk tersendiri dengan nama sendiri. Menghentikan pengalihan hak mengandung arti tidak dapat lagi dijual, dihibahkan dan diwariskan oleh orang yang punya. Dengan demikian dia berarti sudah lepas dari yang punya; namun dia tidak lagi dimiliki oleh siapa-siapa. Karena itu barang yang diwakafkan itu telah menjadi milik Allah sebagai pemilik mutlak dari harta. Karena hasilnya digunakan untuk kepentingan umum sebagai pendekatan diri kepada Allah, dia menyerupai shadaqah. Dia berbeda dengan shadaqah dalam beberapa hal, pertama yang dimiliki oleh yang menerima waqaf hanyalah manfaatnya dan bukan bendanya. Kedua: pahala yang didapat dari yang memberi shadaqah hanyalah sekali waktu memberikannya, sedangkan pahala yang diterima oleh yang berwakaf adalah berkepanjangan selama barang tersebut dimanfaatkan oleh orang lain. Oleh karena itu, wakaf itu disebut juga “shadaqah yang mengalir terus”.


BAB II
HADITS TENTANG JUMLAH HARTA WASIAT
DAN WAKAF HASIL TANAMAN TANAH MILIK

A. Jumlah Harta Wasiat
1. Hadits Tentang Jumlah Harta Wasiat
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِيْ وَقَاصٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَنَا ذُوْ مَالٍ وَلَا يَرِثُنِيْ إِلَّا ابْنَةٌ لِيْ وَاحِدَةٌ أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِيْ؟ قَالَ: لَا، فَقُلْتُ: أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ؟ قَالَ: لَا، قُلْتُ: أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثِهِ؟ قَالَ: اَلثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ، إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ.
(متفق عليه)
2. Terjemah Hadits
“Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. dia berkata: Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, saya adalah orang yang mempunyai harta dan ahli warisku hanya seorang anak perempuan. Apakah saya boleh bersedekah dengan dua pertiga dari harta saya? Beliau menjawab, “Tidak”. Aku bertanya lagi, “Apakah saya boleh bersedekah dengan setengahnya?” Beliau menjawab, “Tidak”. Aku bertanya lagi, “Apakah aku boleh bersedekah dengan sepertiganya?” Beliau menjawab, “Sepertiga?, Sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik dari pada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan papa dan meminta-minta kepada orang lain.” (Muttafaq ‘Alaih)

3. Tinjauan Rawi Hadits
Sa’ad bin Abi Waqqash az-Zuhri al-Madani adalah seorang sahabat mulia yang berhijrah ke Madinah sebelum Rasulullah SAW hijrah ke kota tersebut. Dia menyaksikan Perang Badar dan peperangan lainnya serta termasuk sahabat yang diberi kabar gembira untuk masuk syurga. Sa’ad juga termasuk sahabat yang pertama kali memberikan sahamnya di jalan Allah. Dia termasuk salah seorang sahabat yang enam yang diajukan oleh Umar untuk dicalonkan sebagai khalifah. Sa’ad adalah pemimpin perang yang menaklukkan Iraq dan kota-kota kisra. Dialah yang menetapkan batas bumi Kufah untuk kabilah Arab dan menjadi wali di sana selama masa pemerintahan umar. Dia meriwayatkan 215 hadits dan meninggal di Aqiq, kemudian dibawa ke Madinah dan dimakamkan di Baqi’ pada tahun 55 H.

4. Kajian Mufradat Hadits
a. اَلشَّطْرُ(Asy-Syathr): Dengan huruf syiin berharakat fatah dan tha’ mati diakhiri dengan raa’. Secara bahasa, kata ini memiliki banyak arti, tetapi arti yang paling tepat di sini adalah اَلنِّصْفُ (Al-Nishf: setengahnya).
b. كَثِيْرٌ (Katsiir): Kebanyakan riwayat menggunakan huruf tsa’. Demikian yang mahfuuzh. Namun dalam redaksi riwayat Bukhari tertulis, katsiir atau kabiir. Ini adalah bentuk keraguan dari perawi.
c. إِنَّكَ (Innaka): inna huruf nashab yang berfungsi me-nashab-kan isim. Kaaf-nya adalah isimnya (inna).
d. أَنْ تَذَرَ Dibaca dengan fathah hamzah-nya berdasarkan hukum ta’lil (yakni menasabkan fi’il mudhari’) atau dibaca kasrah berdasarkan hukum syarthiyyah (yakni kalimat bersyarat) dan kalimat jawabnya adalah خَيْرٌ (khair) yang di dalamnya tersirat huruf fa sehingga memiliki pengertian فَهُوَ خَيْرٌ (fa huwa khair).
e. عَالَةً (‘Aalah): Dengan huruf ‘ain berharakat fathah, adalah jamak dari kata عَائِلٌ (‘aa’il), yang artinya orang-orang fakir. Sedangkan kata عَيْلَةٌ (‘ailah) berarti kefakiran. Allah SWT berfirman,
                
Artinya:
“Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Taubah [9]: 28)
f. يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ (Yatakaffafuuna al-Naas). Diambil dari kata kaaf, yaitu tangan. Maksudnya membuka telapak tangan untuk meminta-minta, atau meminta sesuatu untuk menghentikan rasa lapar.

5. Asbab al-Wurud Hadits
Ketika Rasulullah SAW berada di Mekkah pada waktu haji Wada’, beliau menjenguk Sa’ad bin Abi Waqqash yang sedang sakit keras yang telah mendekati waktu kematiannya. Karena Sa’ad tidak mau meninggal di tempat dia berhijrah (Mekkah), dia berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, saya takut mati di tempat saya berhijrah, sebagaimana yang telah dialami oleh Sa’ad bin Khaulah sebab tempat tersebut adalah tempat pertahanan orang-orang musyrik yang telah menyakiti Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Orang-orang musyrik telah mengusir para sahabat dan mengeluarkan harta-harta mereka dari kampung halamannya secara tidak benar.
Sa’ad ingin meninggal di tempat penghijrahan (Madinah), yaitu tempat dimuliakannya Islam oleh Allah dan menjadi tempat tinggal orang-orang Muhajirin yang memiliki keikhlasan tinggi. Mereka itulah yang telah menolong Rasulullah SAW dengan segenap kemampuannya sehingga agama Allah (Islam) dapat berdiri tegak di sana, dan misinya dapat menjulang tinggi mengatasi misi orang-orang kafir.
Oleh karena itulah, Sa’ad membenci kota Mekkah dan menyukai kota Madinah. Kota Mekkah adalah kota yang penuh dihiasi kemusyrikan dan permusuhan, sedangkan kota Madinah yang penuh dengan kesucian, ketauhidan dan amal-amalan orang-orang yang memiliki ketakwaan dan keutamaan. Ketika Rasulullah SAW mendengar nama Sa’ad bin Khaulah dari Sa’ad bin Abi Waqqash, beliau merasa kasihan kepadanya. Kemudian Rasulullah SAW berdo’a kepada Allah agar Sa’ad dapat meninggal dunia di kota Madinah al-Muthahhirah.
Kemudian Sa’ad menyampaikan kepada Rasulullah SAW bahwa dirinya mempunyai harta yang banyak dan tidak memiliki ahli waris yang dikhawatirkan akan terlantar kehidupan mereka sepeninggalnya, kecuali seorang anak. Oleh karena itu dia bertanya kepada Rasulullah SAW apakah dia dapat mengeluarkan dua pertiga dari kekayaannya sebagai sedekah (wasiat). Rasulullah SAW tidak menyetujui kehendak Sa’ad itu. Berikutnya, Sa’ad mengajukan alternatif lain apakah dia dapat mengeluarkan setengah dari kekayaannya. Akan tetapi, Rasulullah SAW tetap tidak menyetujuinya. Kemudian Sa’ad mengajukan alternatif lain untuk mengeluarkan sepertiga dari kekayaannya sebagai wasiat. Hal tersebut disetujui oleh beliau meskipun jumlah tersebut masih dapat dianggap terlalu besar untuk wasiat.
Hikmah larangan pemberian wasiat dalam kuantitas yang terlalu besar dikhawatirkan akan menelantarkan ahli waris sepeninggalnya sehingga mereka akan menghadapi kehidupan dengan mengharapkan kebaikan orang lain.

6. Pemahaman Kandungan Hadits
Berdasarkan hadits di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a. Anjuran menjenguk orang sakit, terutama bagi para kerabat dan saudara-saudaranya.
b. Orang yang sakit diperbolehkan memberitahukan keadaan penyakitnya apabila dia tidak bermaksud untuk mengeluhkan penyakitnya, melainkan untuk kemanfaatan tertentu, seperti memberitahukan kepada dokter agar dia dapat menganalisis atau mendiagnosis penyakitnya sehingga dapat disembuhkan.
c. Anjuran bermusyawarah dengan para ulama dan memohon petunjuk mereka dalam berbagai permasalahan yang dianggap penting untuk dipecahkan bersama.
d. Anjuran berwasiat sepertiga dari kekayaan atau lebih kecil dari itu, meskipun orang yang berwasiat tersebut memiliki kekayaan banyak.
e. Mayoritas ulama berpendapat bahwa sepertiga tersebut dihitung dari total harta yang ditinggalkan oleh pemberi wasiat. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa sepertiga itu dihitung dari harta yang diketahui oleh pemberi wasiat, bukan yang tidak diketahuinya atau yang masih berkembang, sedangkan dia tidak mengetahuinya.
f. Kebolehan mengumpulkan kekayaan melalui cara-cara yang disyari’atkan.
g. Menyimpan kekayaan untuk ahli waris yang membutuhkan dipandang lebih baik dari pada menyedekahkannya kepada orang lain mengingat hubungan ahli waris lebih berhak dijaga dari pada dibandingkan dengan hubungan kepada orang lain.
h. Memberi nafkah kepada anak dan isteri disertai niat yang baik merupakan ibadah mulia.
i. Hadits ini mengecam pekerjaan meminta-minta atau mengemis uang kepada orang dan menampakkan kebutuhan. Secara tidak langsung hadits ini menganjurkan agar setiap orang berusaha melakukan sesuatu yang dapat menghindarinya dari meminta-minta atau tamak terhadap apa yang dimiliki orang lain.
j. Ahli waris mempunyai hak atas harta saudaranya – yang masih hidup – yang mewariskannya. Untuk itu, saudaranya tidak boleh boros membelanjakan harta yang dimilikinya dengan tujuan agar ahli warisnya tidak mendapatkannya.
B. Wakaf Hasil Tanaman Tanah Milik
1. Hadits Tentang Wakaf Hasil Tanaman Tanah Milik
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: أَصَابَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيْهَا، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالَا قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِيْ مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُنِيْ بِهِ؟ قَالَ: إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا. قَالَ: فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُبْتَاعُ وَلَا يُوْرَثُ وَلَا يُوْهَبُ فَتَصَدَّقَ عُمَرُ فِى الْفُقَرَاءِ وَفِى الْقُرْبَى وَ فِى الرِّقَابِ وَ فِى سَبِيْلِ اللهِ وَ ابْنِ السَّبِيْلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوْفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيْقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ مَالًا.
(متفق عليه، واللفظ لمسلم. وفي رواية للبخارى : تَصَدَّقَ بِأَصْلِهَا لَا يُبَاعُ وَ لَا يُوْهَبُ وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمَرُهُ.)
2. Terjemah Hadits
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. dia berkata: “Umar ra. telah mendapat sebidang tanah di Khaibar. Dia mendatangi Nabi SAW untuk bermusyawarah mengenai tanah itu. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, saya telah mendapat sebidang tanah di Khaibar dan sebelumnya saya tidak pernah memperoleh harta yang lebih berharga dari pada tanah itu. Apa petunjukmu mengenai masalah ini?Beliau bersabda, “Jika kamu menghendaki, jagalah tanah aslinya itu dan sedekahkan manfaatnya. Lalu Umar mengeluarkan sedekah hasil tanah itu dengan syarat tanahnya tidak boleh dijual dan dibeli serta diwarisi atau dihadiahkan. Umar mengeluarkan sedekah hasilnya kepada fakir miskin, kaum kerabat, dan untuk memerdekakan hamba juga untuk orang yang berjihad di jalan Allah serta untuk bekal orang yang sedang dalam perjalanan dan menjadi hidangan untuk tamu. Orang yang menguruskan boleh makan sebagian hasilnya dengan cara yang baik dan boleh memberi makan kepada temannya dengan sekadarnya.”
(Muttafaq ‘Alaih yang susunan lafaznya dari Muslim. Sedangkan dalam riwayat al-Bukhari dikatakan, “Dia sedekahkan pokoknya tidak dijual dan tidak diberikan, tetapi diinfaqkan hasilnya”).

3. Tinjauan Rawi Hadits
Abdullah bin Umar bin al-Khaththab al-Adawi Abu Abdurrahman al-Makki telah masuk Islam sejak kecil di Makkah dan ikut hijrah bersama ayahnya. Ibnu Umar menyaksikan Perang Khandaq dan Bai’at al-Ridhwan . Ia meriwayatkan 1.630 hadits. Di antara orang-orang yang meriwayatkan hadits darinya adalah Salim, Hamzah, Ubaidillah, dan lain-lain. Ibnu Umar termasuk sahabat yang zahid dan wara’, seorang imam yang luas pengetahuan dan banyak pengikutnya. Dia meninggal dunia di Makkah pada tahun 94 H dan dimakamkan di sana.

4. Kajian Mufradat Hadits
a. أَرْضًا بِخَيْبَرَ (Ardhan bi Khaibar): Nama lahan yang diperoleh Umar ra. tersebut adalah Tsamgh, dengan huruf tsa berharakat fathah, mim yang mati dan diakhiri dengan huruf ghain. Yakni sebuah negeri yang berlokasi di sebelah selatan Madinah dengan jarak 160 kilometer, yaitu tanah yang masih subur dengan pesawahan. Negeri tersebut menjadi tempat kediaman orang-orang Yahudi sampai ditaklukkan oleh Nabi SAW pada tahun ke-7 H. Kemudian, tanah tersebut ditetapkan sebagai tanah pertanian yang pada masa kekhalifahan Umar tanah tersebut menjadi bagian yang diberikan kepadanya.
b. يَسْتَأْمِرُهُ (Yasta’miruhu): Yakni memusyawarahkan untuk mengelolanya.
c. أَنْفَسُ عِنْدِيْ (Anfasu ‘indii): Maksudnya “Harta terbaik dan paling mengagumkan yang ada padaku.”
d. وَفِى الْقُرْبَى (Wa Fi al-Qurbaa): Kerabat seseorang. Maksudnya mencakup saudara sebapak dan saudara seibu. Kerabat di sini artinya kerabat pewakaf.
e. وَ فِى الرِّقَابِ (Wa Fi al-Riqaab): Mereka adalah para budak yang melakukan transaksi mukaatabah dengan tuannya yang tidak mempunyai harta untuk membayar kitaabah-nya (untuk pembebasan dirinya dari perbudakan).
f. وَ فِى سَبِيْلِ اللهِ (Wa Fi Sabiil Lllaah): Yakni orang yang menempuh perjalanan di jalan Allah, seperti mengikuti peperangan.
g. وَ ابْنِ السَّبِيْلِ (Wa Ibn al-Sabiil): Yakni orang yang berada dalam perjalanan dan memiliki kekayaan di negerinya, tetapi kekayaan tersebut sulit untuk sampai kepadanya sehingga dia laksana orang yang fakir.
h. الضَّيْف (Adh-Dhayf): Yakni orang yang singgah di tempat orang lain, baik diundang maupun tidak. Kata adh-dhayf dapat diungkapkan untuk tunggal dan jamak sebab pada asalnya ia adalah masdar. Namun kadang-kadang ia dijamakkan menjadi adhyaaf dan dhuyuuf.
i. لاَ جُنَاحَ(Laa Junaaha): Maksudnya tidak berdosa jika orang yang mengurus tanah itu memakan sebagian hasilnya dengan cara yang ma’ruuf (benar).
j. بِالْمَعْرُوْفِ (Bi al-Ma’ruf): Yakni kadar yang cukup untuk mengurusi dan mengelola tanah wakaf.
k. غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ (Ghaira Mutamawwil): Yakni bukan orang kaya dan mengumpul kekayaan. Kedudukannya secara i’raab menjadi haal dari kata man. Maksudnya, pengurus tanah itu dapat memakan atau memberi makan hasilnya tanpa menjadikan harta wakaf itu sebagai miliknya. Ia hanya berhak menginfakkan hasilnya tanpa melewati batas kewajaran.
5. Penjelasan Umum
Umar bin Khattab memperoleh tanah di Khaibar senilai seratus dirham. Tanah senilai itu merupakan harta yang paling berharga baginya karena kesuburan dan kebaikannya sehingga orang-orang pun berlomba-lomba untuk memilikinya. Kemudian Umar datang menghadap Nabi SAW untuk meminta saran dalam cara pengelolaannya.
Kemudian Nabi SAW menunjukkan jalan yang paling baik untuk mengelola dan menafkahkan kekayaan tersebut. Nabi SAW menyarankan Umar untuk memegang pokok atau asli tanah tersebut dengan cara tidak menjual, menghadiahkan, mewariskan, atau tindakan-tindakan lainnya yang dapat menghilangkan dan memindahkan kepemilikan tanah tersebut, melainkan menafkahkannya kepada fakir miskin, kerabat dalam hubungan darah, untuk memerdekakan hamba, atau membayarkan denda bagi orang yang menanggung beban kifarat, membantu orang-orang yang berjuang di jalan Allah untuk meninggikan kalimat-Nya dan menolong agama-Nya, memberi makan kepada orang-orang asing (bukan berasal dari negeri yang bersangkutan) yang menempuh perjalanan dan tekah kehabisan biaya, atau memberi makan kepada para tamunya sebab menghormati tamu termasuk cabang iman kepada Allah juga. Begitu pula orang-orang yang mengurus tanah tersebut juga diperbolehkan mengambil untuk keperluan makan dirinya dan temannya sebatas keperluan tanpa bermaksud untuk menumpuk-numpuk harta.

6. Pemahaman Kandungan Hadits
a. Umar ra. memperoleh tanah di Khaibar yang menurutnya merupakan hartanya yang paling mahal dari seluruh harta yang ada padanya. Lalu dia mendatangi Nabi SAW untuk bermusyawarah sehubungan dengan cara menyedekahkannya. Rasulullah SAW memberinya petunjuk agar menahan aset tanah itu dari segala bentuk tasharruf (aktivitas pemindahan hak milik) dan menyedekahkan hasil bumi tanah tersebut. Umar pun menaatinya. Dengan begitu ia adalah orang pertama dalam sejarah Islam yang berwakaf.
b. Hadits ini menjelaskan bahwa wakaf adalah menahan aset (raqabah) wakaf dari segala transaksi pemindahan milik dan penyerahan hasil aset.
c. Kalimat “dengan syarat tidak dijual” menjelaskan hukum pengelolaan aset wakaf. Kalimat ini menjelaskan bahwa pengelolaan aset wakaf tidak dilakukan melalui cara pemindahan milik, seperti jual beli dan hibah. Aset wakaf harus tetap dalam kondisinya hanya saja dikelola sesuai syarat syar’i yang ditentukan oleh wakaf.
d. Wakaf hanya bisa berlaku untuk barang-barang yang bisa dimanfaatkan dan dalam waktu yang sama substansi barang-barang tidak berubah. Sedangkan untuk barang-barang yang habis dengan dimanfaatkan disebut dengan sedekah, bukan wakaf.
e. Kalimat “(Hasil) tanah itu disedekahkan kepada orang-orang fakir” memberi petunjuk penyaluran hasil wakaf, yaitu seperti kabaikan umum maupun khusus seperti kerabat, fakir miskin, para pelajar, orang-orang yang berjihad dan lain sebagainya.
f. Kalimat “Tidak bermasalah atas orang yang mengurusnya…” menunjukkan eksistensi pengelola (naazhir) yang melaksanakan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh pewakaf, pengelolaan aset dan penyalurannya kepada yang berhak.
g. Kalimat “Untuk memakan (hasil)nya dengan cara ma’ruuf (yang baik)” menjelaskan bahwa pengelola (naazhir) dapat mengambil nafkah hidupnya dari hasil aset wakaf dengan cara yang dibenarkan sebagai kompensasi keterikatan dirinya terhadap pengelolaan dan pengawasannya terhadap aset wakaf.
h. Hadits ini memberi petunjuk bahwa pewakaf dapat menentukan syarat-syarat yang dinilai adil dan boleh secara syara’. Syarat-syarat ini harus dilaksanakan, sebab jika tidak maka pengkondisian tersebut menjadi tidak ada artinya.
i. Hadits ini memberi isyarat keutamaan atau fadhiilah berwakaf sebagai sedekah yang pahalanya terus mengalir (jaariyah) dan sebagai perbuatan baik pewakaf yang tiada henti.
j. Hadits ini memberi isyarat bahwa sesuatu yang diwakafkan selayaknya adalah harta yang terbaik dan amat berharga dengan tujuan memperoleh pahala dari Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya,
            •    
Artinya:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran [3]: 92)
                           •    
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Al-Baqarah [2]: 267)
k. Hadits ini menunjukkan kewajiban memberi nasihat jika diminta dan memberi solusi yang terbaik
l. Hadits di atas menerangkan bahwa syarat-syarat yang ditetapkan oleh pewakaf wajib bersifat adil dan sah secara syar’i. dalam hadits Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dijelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِيْ كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ، وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ.
“Siapa yang membuat syarat yang tidak sesuai dengan Kitab Allah maka syarat itu batal, meskipun seratus syarat.”
Syarat-syarat yang zhalim seperti syarat-syarat yang bertujuan menghalangi atau memihak sebagian ahli waris tanpa justifikasi maka syarat-syarat itu haram dan batal.
m. Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa siapa yang membuat syarat berkaitan dengan wakaf, hibah, jual beli, pernikahan, akad sewa, nadzar dan lain-lainnya yang bertentangan dengan apa yang telah diwajibkan oleh Allah SWT kepada para hamba-Nya, di mana syarat yang dibuatnya mengandung perintah atas sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT, larangan terhadap apa yang diperintahkan oleh-Nya, penghalalan sesuatu yang diharamkan atau pengharaman sesuatu yang dihalalkan maka syarat tersebut batal berdasarkan kesepakatan para ulama, baik dalam wakaf atau lainnya.
n. Wajib bagi para ulama, hakim dan pencatat serta pihak lain yang berkepentingan dengan pengurusan dokumen wakaf dan wasiat agar menuntun mereka sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW serta menghindarkan para pewakaf dan pemberi wasiat dari kezhaliman dan kelaliman.
o. Di antara pihak penerima saluran hasil aset wakaf ialah:
 Orang-orang fakir, termasuk orang-orang miskin. Mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai kecukupan nafkah hidup selama setahun.
 Para kerabat, yaitu saudara satu nasab atau saudara hasil perkawinan. Yang paling berhak adalah saudara yang paling dekat. Demikian seterusnya. Dengan syarat mereka sama dalam tingkat kebutuhannya. Jika kebutuhan saudara jauh lebih besar maka ia didahulukan meskipun saudara jauh.
 Para budak. Tepatnya untuk membantunya merdeka dan atau menebus tawanan.
 Sabilillah. Maksudnya di sini adalah fasilitas-fasilitas yang bermanfaat bagi muslimin, seperti fasilitas dakwah, jihad, tempat pengungsian, masjid dan lain sebagainya.
 Tamu. Maksudnya untuk menyambut tamu. Kewajiban menyambut tamu berlaku untuk satu hari satu malam. Sedangkan sunahnya selama tiga hari tiga malam.
p. Persyaratan “kerabat” dalam wakaf menunjukkan bahwa berwakaf kepada sebagian ahli waris, tidak kepada sebagian yang lain adalah haram dan tidak sah.

7. Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama
Imam Abu Hanifah berpandangan bahwa aset wakaf boleh diperjualbelikan dan ditarik kembali oleh pewakaf kecuali jika hakim memutuskan seperti itu atau kecuali jika pewakaf sendiri menggantungkan pewakafannya dengan kematiannya. Contohnya pewakaf berkata, “Jika aku meninggal dunia maka aku wakafkan rumah ini kepada si Fulan”. Dalam kasus terakhir disebut ini, maka akad wakaf menjadi laazim (mengikat dan tidak bisa ditarik kembali).
Sementara para murid-muridnya menentang pendapat Abu Hanifah di atas. Abu Yusuf mengatakan, “Jika hadits Umar didengar oleh Abu Hanifah maka dia akan menarik kembali pendapatnya yang memperbolehkan penjualan aset wakaf.” Pendapat yang difatwakan madzhab Hanafi adalah pendapat Abu Yusuf.
Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa akad wakaf adalah akad laazim. Untuk itu mereka melarang penjualan aset wakaf seketika (akad selesai dibuat). Pendapat ini didasarkan pada keumuman hadits “Hanya saja ia tidak dapat dijual.”
Sementara Imam Ahmad mengemukakan pendapat moderat, yaitu bahwa aset wakaf tidak boleh diperjualbelikan atau diganti, kecuali jika tidak memberikan manfaat lagi. Dalam kondisi ini ia dapat diperjualbelikan dan diganti dengan yang lain.” Ahmad berargumen dengan tindakan Umar ra. saat mendengar bahwa Bait al-Mal yang berada di Kufah rusak. Umar berkata kepada Sa’ad bin Abi Waqqash, gubernur Kufah, “Pindahkan masjid yang ada di Tamarin (Kufah) lalu buatlah Bait al-Mal di kiblat masjid itu.”
Hal itu terjadi di tengah para sahabat dan tidak ada di antara mereka yang mengingkarinya. Dengan begitu keputusan Umar seperti ijma’.
Ahmad juga mengqiyaskannya dengan kasus di mana hadyu (hewan kurban haji yang dibawa oleh jamaah haji dari daerahnya) kelelahan akibatnya perjalanan jauh sehingga dikhawatirkan mati sebelum mencapai tempat penyembelihan. Hadyu ini boleh disembelih seketika. Tempat di mana seharusnya hadyu itu disembelih tidak lagi dihiraukan karena membawanya ke sana sama artinya dengan kehilangan manfaat hadyu itu sama sekali.
Ibnu Taimiyyah berkata. “Dalam kondisi darurat, aset wakaf wajib diganti dengan yang sejenisnya. Sementara dalam kondisi normal ia boleh digantikan dengan yang lebih baik mengingat adanya manfaat yang lebih.”
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Jika aset wakaf berkurang atau manfaatnya berkurang sementara ditemukan lainnya yang lebih bermanfaat maka dalam hal ini terdapat dua riwayat dari Ahmad. Berdasarkan pendapat madzhab, penggantian itu tidak boleh. Sedangkan riwayat Ahmad yang lain mengatakan, boleh. Yang terakhir yang menjadi pilihan Ibnu Taimiyyah.”


PENUTUP

Kesimpulan
1. Anjuran berwasiat sepertiga dari kekayaan atau lebih kecil dari itu, meskipun orang yang berwasiat tersebut memiliki kekayaan banyak.
2. Menyimpan kekayaan untuk ahli waris yang membutuhkan dipandang lebih baik dari pada menyedekahkannya kepada orang lain mengingat hubungan ahli waris lebih berhak dijaga dari pada hubungan kepada orang lain.
3. Ahli waris mempunyai hak atas harta saudaranya – yang masih hidup – yang mewariskannya. Untuk itu, saudaranya tidak boleh boros membelanjakan harta yang dimilikinya dengan tujuan agar ahli warisnya tidak mendapatkannya.
4. Wakaf adalah menahan aset (raqabah) wakaf dari segala transaksi pemindahan milik dan penyerahan hasil aset.
5. Wakaf hanya bisa berlaku untuk barang-barang yang bisa dimanfaatkan dan dalam waktu yang sama substansi barang-barang tidak berubah. Sedangkan untuk barang-barang yang habis dengan dimanfaatkan disebut dengan sedekah, bukan wakaf.
6. Hadits ini memberi petunjuk bahwa pewakaf dapat menentukan syarat-syarat yang dinilai adil dan boleh secara syara’. Syarat-syarat ini harus dilaksanakan, sebab jika tidak maka pengkondisian tersebut menjadi tidak ada artinya.
7. Hadits ini memberi isyarat keutamaan atau fadhiilah berwakaf sebagai sedekah yang pahalanya terus mengalir (jaariyah) dan sebagai perbuatan baik pewakaf yang tiada henti.
8. Hadits ini memberi isyarat bahwa sesuatu yang diwakafkan selayaknya adalah harta yang terbaik dan amat berharga dengan tujuan memperoleh pahala dari Allah SWT.
9. Di antara pihak penerima saluran hasil aset wakaf ialah: Orang-orang fakir, termasuk orang-orang miskin, Para kerabat, Para budak. Sabilillah dan Tamu.
10. Persyaratan “kerabat” dalam wakaf menunjukkan bahwa berwakaf kepada sebagian ahli waris, tidak kepada sebagian yang lain adalah haram dan tidak sah.


DAFTAR PUSTAKA


Abdul Baqi, Muhammad Fu’ad. 1996. Al-Lu’lu’ Wal Marjan. Terj. H. Salim Bahreisy. Surabaya: PT Bina Ilmu

Al Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. 2006. Syarah Bulughul Maram (jilid. 5). terj. Thahirin Suparta, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam

Al-Fauzan, Saleh. 2005. Fiqih Sehari-Hari. terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani Press

Rahman, Taufik, Drs. M.Ag. 2000. Hadis-Hadis Hukum. Bandung: Pustaka Setia

Rusyd, Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid (jil. 2). terj. Abu Usamah Fakhtur Rokhman. Jakarta: Pustaka Azzam

Sabiq, Sayyid. 2007. Fiqih Sunnah, terj. Nor Hasanuddin, Lc. MA., dkk. Jakarta: Pena Pundi Aksara

Syarifuddin, Amir, Prof. Dr. 2003. Garis-Garis Besar Fiqih. Bogor: Kencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar