Minggu, 09 Januari 2011

Hukum Menjual Kulit Hewan Kurban

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam masalah kulit hewan qurban, memang ada hal-hal yang penting untuk dijelaskan, agar tidak terjadi kerancuan dalam memahaminya.

Ibadah penyembelihan hewan qurban adalah ibadah ritual berupa penyembelihan. Nilai ibadahnya adalah pada penyembelihannya itu dan juga pada pemberian daging hewan itu kepada mereka yang berhak menerimanya.

Seperti ibadah penyembelihan aqiqah, hewan qurban pun disunnahkan untuk diberikan dalam bentuk daging sembelihan. Hanya saja bedanya, kalau dalam aqiqiah, dianjurkan untuk memberikan dalam bentuk matang dan siap santap, sedangkan di dalam ibadah qurban, pemberian daging dalam bentuk yang masih mentah. Namun intinya sama-sama berupa pemberian daging hewan, bukan dalam bentuk uang.

Karena bila tujuannya semata-mata memberi uang kepada fakir miskin, maka tidak perlu harus dengan menyembelih hewan. Mengapa tidak langsung saja pengurban memberikan uang tunai kepada mereka? Mengapa harus repot-repot membeli kambing, menyembelihnya dan memberi dagingnya? Bukankah lebih praktis dengan langsung memberi uang tunai? Karena bisa lebih bermanfaat untuk digunakan membeli beberapa keperluan bagi para penerimanya.

Jawabnya adalah karena penyembelihan hewan qurban adalah ibadah ritual. Maka mulai dari memilih hewan, menyembelih hingga membagikan dalam bentuk daging mentah, semuanya termasuk dalam ritual. Maka hal itulah yang membedakan qurban dengan infaq biasa. Karena itulah para ulama mengatakan bahwa memberikan uang tunai kepada fakir miskin meski uang itu di dapat dari penjualan daging hewan qurban, bukanlah termasuk ritual ibadah qurban. Melainkan hanya menjadi sedekah biasa saja.

Bahkan meski yang dibagikan itu adalah daging hewan qurban, tapi kalau disembelihnya sebelum shalat Idul Adha, tetap dianggap bukan ibadah qurban, melainkan sedekah biasa.

Jadi masalahnya bukan boleh atau tidak boleh menjual kulit hewan, melainkan adalah apakah ingin dinilai sebagai ibadah qurban atau sekedar infaq dan sedekah biasa saja. Tetapi keduanya tetap mendatangkan pahala juga, hanya nilainya berbeda.
Di sisi lain, bila kulit hewan qurban itu dibiarkan membusuk, tentunya merupakan penyia-nyiaan, dan Islam tidak membenarkan hal itu terjadi, meski pahala si pengurban insya Allah sudah tercatat di sisi Allah SWT. Karena itu dari pada dibiarkan membusuk dan sia-sia, bila kulit itu bisa dimanfaatkan lebih lanjut, tentu saja akan lebih bermakna. Meski diluar kontek ibadah qurban itu sendiri.

Di dalam makalah ini, penulis akan membahas secara rinci bagaimana sebenarnya hukum menjual kulit hewan kurban ditinjau dari konsep ajaran Islam dan Bagaimana jika panitia qurban menjual kulit hewan qurban, kemudian dibelikan daging dan terus ikut dibagikan kepada yang berhak, bolehkah menurut syariat Islam?.

Sebelum membahas tentang masalah inti yang terangkum dalam pertanyaan-pertanyaan di atas, penulis akan menguraikan terlebih dahulu tentang pengertian kurban, hukum berkurban menurut syari’at islam, kriteria-kriteria hewan yang layak dijadikan kurban, waktu untuk melakukan penyembelihan kurban, bergabung dalam berkurban atau berkurban sendiri-sendiri, teknis melakukan penyembelihan dan terakhir penulis akan menjelaskan tentang bagaimana seharusnya pemanfaatan daging hewan kurban.

Semoga makalah ini dapat menambah khazanah keilmuan kita dan bermanfaat hendaknya. Amin…

BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM MENJUAL KULIT HEWAN KURBAN

A. Pengertian Qurban

Kata kurban atau korban, berasal dari bahasa Arab qurban, diambil dari kata: qaruba (fi’il madhi) - yaqrabu (fi’il mudhari’) – qurbaanan (mashdar). Artinya, mendekati atau menghampiri.

Menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya. Dalam bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udh-hiyah atau adh-dhahiyah, dengan bentuk jamaknya al-adhaahi. Kata ini diambil dari kata dhuha, yaitu waktu matahari mulai tegak yang disyariatkan untuk melakukan penyembelihan kurban, yakni kira-kira pukul 07.00 - 10.00.

Udh-hiyah adalah hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya Qurban dan hari-hari tasyriq sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah.

B. Hukum Qurban

Qurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam Malik, Asy Syafi’i, Abu Yusuf, Ishak bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm dan lainnya berkata, ”Qurban itu hukumnya sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya (muqim), dalam perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji.”
Sebagian mujtahidin - seperti Abu Hanifah, Al Laits, Al Auza’i, dan sebagian pengikut Imam Malik - mengatakan qurban hukumnya wajib. Tapi pendapat ini dhaif (lemah).

Ukuran “mampu” berqurban, hakikatnya sama dengan ukuran kemampuan shadaqah, yaitu mempunyai kelebihan harta (uang) setelah terpenuhinya kebutuhan pokok (al-hajat al-asasiyah) yaitu sandang, pangan, dan papan; dan kebutuhan penyempurna (al-hajat al-kamaliyah) yang lazim bagi seseorang. Jika seseorang masih membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dia terbebas dari menjalankan sunnah qurban.

Dasar kesunnahan qurban antara lain, firman Allah SWT:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2)

“Maka dirikan (kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2)

Sabda Nabi Muhammad SAW:

أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ.

“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah.” (HR. At Tirmidzi)

كُتِبَ عَلَيَّ النَّحْرُ وَ لَيْسَ بِوَاجِبٍ عَلَيْكُمْ.

“Telah diwajibkan atasku (Nabi SAW) qurban dan ia tidak wajib atas kalian.” (HR. Ad Daruquthni)

Dua hadits di atas merupakan qarinah (indikasi/petunjuk) bahwa qurban adalah sunnah. Firman Allah SWT yang berbunyi “wa-nhar” (dan berqurbanlah kamu) dalam surat Al Kautsar ayat 2 adalah tuntutan untuk melakukan qurban (thalabul fi’li) dan tuntutan ini tidak bersifat wajib. Sedang hadits At Tirmidzi, “umirtu bi an-nahri wa huwa sunnatun lakum” (aku diperintahkan untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah), juga hadits Ad Daruquthni “kutiba ‘alayya an-nahru wa laysa biwaajibin ‘alaykum” (telah diwajibkan atasku qurban dan ia tidak wajib atas kalian); merupakan qarinah bahwa thalabul fi’li yang ada tidak bersifat jazim (keharusan), tetapi bersifat ghairu jazim (bukan keharusan). Jadi, qurban itu sunnah, tidak wajib. Namun benar, qurban adalah wajib atas Nabi SAW, dan itu adalah salah satu khususiyat beliau.

Orang yang mampu berqurban tapi tidak berqurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi SAW: “Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, dari Abu Hurairah ra. Menurut Imam Al Hakim, hadits ini shahih. Lihat Subulus Salam IV/91)

Perkataan Nabi “fa laa yaqrabanna musholaanaa” (janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami) adalah suatu celaan (dzamm), yaitu tidak layaknya seseorang - yang tak berqurban padahal mampu - untuk mendekati tempat sholat Idul Adh-ha. Namun ini bukan celaan yang sangat/berat seperti halnya predikat fahisyah (keji), atau min ‘amalisy syaithan (termasuk perbuatan syetan), atau miitatan jaahiliyatan (mati jahiliyah) dan sebagainya. Lagi pula meninggalkan sholat Idul Adh-ha tidaklah berdosa, sebab hukumnya sunnah, tidak wajib. Maka, celaan tersebut mengandung hukum makruh, bukan haram.

Namun hukum qurban dapat menjadi wajib, jika menjadi nadzar seseorang, sebab memenuhi nadzar adalah wajib, sesuai hadits Nabi SAW:

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ.

“Barangsiapa yang bernadzar untuk ketaatan (bukan maksiat) kepada Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya.”

Qurban juga menjadi wajib, jika seseorang (ketika membeli kambing, misalnya) berkata,”Ini milik Allah,” atau “Ini binatang qurban. Imam Malik berpendapat bahwa apabila pada saat membeli hewan kurban ia berniat untuk berkurban, maka ia wajib melakukannya.”

C. Hewan Yang Layak Dijadikan Kurban

Tidak semua hewan bisa dijadikan kurban. Binatang-binatang yang bisa dijadikan kurban adalah binatang ternak, seperti unta, sapi, domba atau kambing berdasarkan firman Allah SWT, “Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka…(QS. An-Hajj [22]: 34).

Segolongan ulama juga telah mengutip sebuah ijma’ (konsensus) bahwa kurban tidak sah kecuali dengan binatang-binatang tersebut. Akan tetapi Ibnu Mundzir menceritakan dari al-Hasan bin Shalih tentang bolehnya berkurban dengan sapi liar (banteng) dan biawak. Diperbolehkannya kurban dengan sapi liar (banteng) telah dijadikan pegangan oleh Daud Al-Zhahiri. Ibnu Hazm bahkan memperbolehkan kurban dengan semua jenis binatang yang boleh dimakan dagingnya, baik binatang-binatang yang berkaki empat (mamalia) maupun unggas. Ia berargumen dengan ucapan Bilal, “Aku tidak peduli jika seandainya aku harus berkurban dengan ayam jantan.”

Pendapat jumhur-lah yang sesuai dengan apa yang diterangkan dalam ayat al-Qur’an di atas. Di samping itu tidak ada hadits dari Nabi yang menyatakan bahwa beliau berkurban dengan selain unta, sapi dan domba (kambing).

Hewan kurban berupa domba yang dianggap layak adalah yang berumur setengah tahun, kambing berumur satu tahun, sapi berumur dua tahun dan unta berumur lima tahun. Semua hewan itu tidak dibedakan apakah jantan atau betina.

D. Waktu Penyembelihan Hewan Kurban

Ulama sepakat tidak memperbolehkan menyembelih hewan kurban sebelum fajar terbit pada hari raya Idul Adha. Namun, mereka berbeda pendapat setelah itu.

1. Imam Syafi’i, Ibnu Mundzir dan lainnya berpendapat bahwa waktu penyembelihan dimulai ketika matahari telah meninggi dan berlangsung kira-kira seukuran lama waktu shalat Id dan dua khutbah. Jika penyembelihan dilakukan setelah batas waktu ini, maka itu tetap mencukupi, baik imam melakukan shalat ataupun tidak, baik orang yang berkurban ikut shalat ataupun tidak, baik ia penduduk perkotaan, pedesaan ataupun pedalaman.

2. Atha’ dan Abu Hanifah mengemukakan bahwa waktu penyembelihan kurban untuk orang-orang pedesaan dan pedalaman dimulai ketika terbit fajar yang kedua. Sedangkan untuk penduduk perkotaan batasnya dimulai setelah imam sahlat Id dan khutbah. Jika menyembelih sebelum itu, maka ia tidak mencukupi.

3. Imam Malik berpendapat, tidak boleh menyembelih kurban kecuali setelah imam shalat, khutbah dan menyembelih.

4. Imam Ahmad berpendapat, tidak boleh menyembelih kurban sebelum shalat, tetapi diperbolehkan setelah shalat dilaksanakan, dan sebelum imam melakukan penyembelihan.

E. Qurban Sendiri dan Berserikat

Seekor kambing berlaku untuk satu orang. Tidak ada qurban patungan (berserikat) untuk satu ekor kambing. Sedangkan seekor unta atau sapi, boleh patungan untuk tujuh orang (HR. Muslim). Lebih utama, satu orang berqurban satu ekor unta atau sapi.

Perlu ditambahkan, bahwa dalam satu keluarga (rumah), bagaimana pun besarnya keluarga itu, dianjurkan ada seorang yang berkurban dengan seekor kambing. Itu sudah memadai dan syiar Islam telah ditegakkan, meskipun yang mendapat pahala hanya satu orang, yaitu yang berkurban itu sendiri. Hadits Nabi SAW: “Dianjurkan bagi setiap keluarga menyembelih qurban.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, An Nasa`i, dan Ibnu Majah).

Pelaksanaan kurban dibolehkan bergabung apabila hewan kurban itu berupa unta atau sapi. Sapi dan unta berlaku untuk tujuh orang yang sama-sama bermaksud melaksanakan kurban dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Sebuah hadits dari Jabir: “Kami menyembelih kurban bersama Rasulullah di Hudaibiyah, seekor unta untuk tujuh orang, begitu juga dengan sapi.” (HR. Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi).

F. Teknis Penyembelihan

Teknis penyembelihan adalah sebagai berikut :

Hewan yang akan dikurbankan dibaringkan ke sebelah rusuknya yang kiri dengan posisi mukanya menghadap ke arah kiblat, diiringi dengan membaca doa “Robbanaa taqabbal minnaa innaka antas samii’ul ‘aliim.” (Artinya : Ya Tuhan kami, terimalah kiranya qurban kami ini, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.)

Penyembelih meletakkan kakinya yang sebelah di atas leher hewan, agar hewan itu tidak menggerak-gerakkan kepalanya atau meronta. Penyembelih melakukan penyembelihan, sambil membaca : “Bismillaahi Allaahu akbar.” (Artinya : Dengan nama Allah, Allah Maha Besar). (Dapat pula ditambah bacaan shalawat atas Nabi SAW. Para hadirin pun dapat turut memeriahkan dengan gema takbir “Allahu akbar!”).

Kemudian penyembelih membaca doa kabul (doa supaya qurban diterima Allah) yaitu : “Allahumma minka wa ilayka. Allahumma taqabbal min ...” (sebut nama orang yang berkurban). (Artinya : Ya Allah, ini adalah dari-Mu dan akan kembali kepada-Mu. Ya Allah, terimalah dari...).

Penyembelihan yang afdhol dilakukan oleh yang berqurban itu sendiri, sekali pun dia seorang perempuan. Namun boleh diwakilkan kepada orang lain, dan sunnah yang berqurban menyaksikan penyembelihan itu.

Dalam penyembelihan, wajib terdapat 4 (empat) rukun penyembelihan, yaitu :

a. Adz-Dzaabih (penyembelih), yaitu setiap muslim. Boleh memakan sembelihan Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani), menurut mazhab Syafi’i. Menurut mazhab Hanafi, makruh, dan menurut mazhab Maliki, tidak sempurna, tapi dagingnya halal. Jadi, sebaiknya penyembelihnya muslim.

b. Adz Dzabiih, yaitu hewan yang disembelih.

c. Al Aalah, yaitu setiap alat yang dengan ketajamannya dapat digunakan menyembelih hewan, seperti pisau besi, tembaga, dan lainnya. Tidak boleh menyembelih dengan gigi, kuku, dan tulang hewan (HR. Bukhari dan Muslim).

d. Adz Dzabh, yaitu penyembelihannya itu sendiri. Penyembelihan wajib memutuskan hulqum (saluran nafas) dan mari’ (saluran makanan).

G. Pemanfaatan Daging Qurban

Sesudah hewan disembelih, sebaiknya penanganan hewan qurban (pengulitan dan pemotongan) baru dilakukan setelah hewan diyakini telah mati. Hukumnya makruh menguliti hewan sebelum nafasnya habis dan aliran darahnya berhenti. Dari segi fakta, hewan yang sudah disembelih tapi belum mati, otot-ototnya sedang berkontraksi karena stress. Jika dalam kondisi demikian dilakukan pengulitan dan pemotongan, dagingnya akan alot alias tidak empuk. Sedang hewan yang sudah mati otot-ototnya akan mengalami relaksasi sehingga dagingnya akan empuk.

Setelah penanganan hewan qurban selesai, bagaimana pemanfaatan daging hewan qurban tersebut?. Ketentuannya, disunnahkan bagi orang yang berqurban, untuk memakan daging qurban, dan menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, dan menghadiahkan kepada karib kerabat. Nabi SAW bersabda: “Makanlah daging qurban itu, dan berikanlah kepada fakir-miskin, dan simpanlah.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi, hadits shahih)

Berdasarkan hadits itu, pemanfaatan daging qurban dilakukan menjadi tiga bagian/cara, yaitu: makanlah, berikanlah kepada fakir miskin, dan simpanlah. Namun pembagian ini sifatnya tidak wajib, tapi sunnah.

Orang yang berqurban, disunnahkan turut memakan daging qurbannya sesuai hadits di atas. Boleh pula mengambil seluruhnya untuk dirinya sendiri. Jika diberikan semua kepada fakir-miskin, menurut Imam Al Ghazali, lebih baik. Dianjurkan pula untuk menyimpan untuk diri sendiri, atau untuk keluarga, tetangga, dan teman karib.
Akan tetapi jika daging qurban sebagai nadzar, maka wajib diberikan semua kepada fakir-miskin dan yang berqurban diharamkan memakannya, atau menjualnya.

Pembagian daging qurban kepada fakir dan miskin, boleh dilakukan hingga di luar desa/tempat dari tempat penyembelihan.

Bolehkah memberikan daging qurban kepada non-muslim? Ibnu Qudamah (mazhab Hambali) dan yang lainnya (Al-Hasan dan Abu Tsaur, dan segolongan ulama Hanafiyah) mengatakan boleh. Namun menurut Imam Malik dan Al Laits, lebih utama diberikan kepada muslim.

Penyembelih (jagal), tidak boleh diberi upah dari qurban. Kalau mau memberi upah, hendaklah berasal dari orang yang berqurban dan bukan dari qurban. Hal itu sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat Ali bin Abi Thalib ra.: “...(Rasulullah memerintahkan kepadaku) untuk tidak memberikan kepada penyembelih sesuatu daripadanya (hewan qurban).“ (HR. Bukhari dan Muslim).

Tapi jika jagal termasuk orang fakir atau miskin, dia berhak diberi daging qurban. Namun pemberian ini bukan upah karena dia jagal, melainkan sedekah karena dia miskin atau fakir.

H. Hukum Menjual Kulit Hewan Kurban

Tidak boleh hukumnya menjual kulit hewan kurban. Demikianlah pendapat jumhur ulama tiga mazhab (Imam Maliki, Syafi’i, dan Ahmad). Dalilnya sabda Nabi SAW: “Dan janganlah kalian menjual daging hadyu (qurban orang haji) dan daging qurban. Makanlah dan sedekahkanlah dagingnya itu, ambillah manfaat kulitnya, dan jangan kamu menjualnya...” (HR. Ahmad).

Sebagian ulama seperti segolongan penganut mazhab Hanafi, Al-Hasan, dan Al Auza’i membolehkannya. Tapi pendapat yang lebih kuat, dan berhati-hati (ihtiyath), adalah janganlah orang yang berqurban menjual kulit hewan qurban. Imam Ahmad bin Hanbal sampai berkata, ”Subhanallah! Bagaimana harus menjual kulit hewan qurban, padahal ia telah dijadikan sebagai milik Allah ?”.

Hukum ini berlaku bagi pekurban (al-mudhahhi/shahibul kurban) dan juga berlaku bagi siapa saja yang mewakili pekurban, misalnya takmir masjid atau panitia kurban pada suatu instansi.

Dalil haramnya menjual kulit kurban ada dua, yaitu hadits-hadits Nabi SAW yang melarang menjual kulit kurban, dan hukum syar’i bahwa status kepemilikan hewan kurban telah lenyap dari pekurban pada saat kurban disembelih.

Hadits-hadits Nabi SAW itu di antaranya :

1. Dari Ali bin Abi Thalib ra., dia berkata, ”Rasulullah SAW telah memerintahkan aku mengurusi unta-unta beliau (hadyu) dan membagikan daging-dagingnya, kulit-kulitnya… untuk kaum miskin. Nabi memerintahkanku pula untuk tidak memberikan sesuatu pun darinya bagi penyembelihnya (jagal) [sebagai upah].” (Muttafaq ‘alaihi).
Dari hadits di atas, Imam Asy-Syirazi mengatakan, ”Tidak boleh menjual sesuatu dari hadyu dan kurban, baik kurban yang wajib (nadzar) atau kurban yang sunnah.” (Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, I/240).

2. Dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ

(Man baa’a jilda udhiyyatihi fa-laa udh-hiyyata lahu)
“Barangsiapa menjual kulit kurbannya, maka tidak ada [pahala] kurban baginya.” (HR. Al-Hakim & Al-Baihaqi). (Hadits ini sahih menurut Imam Suyuthi. Lihat Imam Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, II/167)

Dari hadits ini para ulama menyimpulkan haramnya pekurban untuk menjual kulit kurbannya. (Syaikh Zakariya Al-Anshari, Fathul Wahhab, II/179, Syaikh Asy-Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna’, II/281).

Adapun dalil kedua, berupa hukum syara’ tentang status kepemilikan hewan kurban. Pada saat disembelih, hilanglah kepemilikan kurban dari pekurban. Maka dari itu, jika pekurban atau wakilnya menjual kulit kurban, sama saja dia menjual sesuatu yang bukan miliknya lagi. Ini jelas tidak boleh.

Dalam masalah ini Imam Asy-Syirazi berkata, ”Ketidakbolehan menjual kulit kurban juga dikarenakan hadyu atau kurban itu telah keluar dari kepemilikan pekurban sebagai taqarrub kepada Allah, maka tidak boleh ada yang kembali kepadanya kecuali apa yang dibolehkan sebagai rukhsah yaitu dimakan (Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, I/240; As-Sayyid Al-Bakri, I’anah Ath-Thalibin, II/333).

Jadi, jelaslah bahwa menjual kulit kurban itu haram hukumnya. Haram pula menjadikan kulit kurban sebagai upah kepada jagal (penyembelih) kurban.

Lalu kulit kurban itu akan diapakan? Kulit kurban itu dapat disedekahkan oleh al-mudhahhi (shahibul kurban) kepada fakir dan miskin. (Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, II/242). Inilah yang afdhol (utama). Jadi perlakuan pada kulit kurban sama dengan bagian-bagian hewan kurban lainnya (yang berupa daging), yakni disedekahkan kepada fakir dan miskin. Dalilnya adalah hadits sahih dari Ali bin Abi Thalib RA di atas.

Boleh pula kulit kurban itu dimanfaatkan oleh pekurban, misalnya dibuat sandal, khuf (semacam sepatu), atau timba.

Dalilnya adalah hadits Aisyah ra. yang meriwayatkan bahwa orang-orang Arab Badui pernah datang berombongan minta daging kurban pada saat Idul Adha. Rasulullah SAW lalu bersabda, ”Simpanlah sepertiga dan sedekahkanlah sisanya.” Setelah itu ada yang berkata kepada Rasulullah SAW, ”Wahai Rasululah sesungguhnya orang-orang biasa memanfaatkan kurban-kurban mereka, mereka membuat lemak darinya, dan membuat wadah-wadah penampung air darinya.” Rasulullah menjawab, ”Apa masalahnya?” Mereka menjawab, ”Wahai Rasulullah, Anda telah melarang menyimpan daging-daging kurban lebih dari tiga hari.” Rasulullah SAW menjawab, ”Sesungguhnya aku melarang hal itu karena adanya orang Baduwi yang datang berombongan minta daging kurban (min ajli ad-daafah). [Sekarang] makanlah, sedekahkanlah, dan simpanlah.” (HR. Tirmidzi, Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/97; Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, I/240).

Hadits ini menunjukkan bolehnya memanfaatkan kulit kurban misalnya untuk dijadikan wadah-wadah penampung air dan sebagainya. (Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, I/240)
Memang ada sebagian ulama yang membolehkan menjual kulit kurban. Menurut Imam Abu Hanifah, boleh menjual kulit kurban tapi bukan dengan dinar dan dirham (uang).

Maksudnya, boleh menjual kulit kurban dengan menukarkan kulit itu dengan suatu barang dagangan (al-‘uruudh). (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/97, Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, II/242).

Menurut Imam An-Nakha’i dan Imam Al-Auza’i, boleh menjual kulit kurban dengan peralatan rumah tangga yang bisa dipinjamkan, misalnya kapak, timbangan, dan bejana.
Menurut Imam ‘Atha` (tabi’in), tidak apa-apa menjual kulit kurban baik dengan dirham (uang) maupun dengan selain dirham. (Qadhi Shafad, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A’immah, hal. 85).

Dalil ulama yang membolehkan menjual kulit kurban, adalah hadits yang membolehkan memanfaatkan (intifa’) kurban, yaitu hadits riwayat Imam Tirmidzi dari Aisyah ra. di atas. Dalam pandangan Imam Abu Hanifah, atas dasar hadits itu, boleh melakukan pertukaran (mu’awadhah) kulit kurban asalkan ditukar dengan barang dagangan (al-‘uruudh), bukan dengan uang (dinar dan dirham). Sebab pertukaran kulit kurban dengan barang dagangan termasuk dalam pemanfaatan kurban (intifa’) yang dibolehkan hadits menurut semua ulama secara ijma’.

Pendapat ulama yang membolehkan menjual kulit kurban itu adalah pendapat yang lemah, berdasarkan dua hujjah berikut :

Pertama, telah terdapat nash hadits shahih yang mengharamkan menjual-belikan kulit kurban. Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa menjual kulit kurbannya, maka tidak ada [pahala] kurban baginya.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi).

Haramnya menjual kulit kurban dalam hadits di atas bersifat umum, artinya mencakup segala bentuk jual beli kulit kurban. Baik menukar kulit dengan uang, maupun menukar kulit dengan selain uang (misalnya dengan daging). Semuanya termasuk jual beli, sebab jual beli adalah menukarkan harta dengan harta (mubadalatu maalin bi maalin). Maka penukaran kulit kurban dengan selain dinar dan dirham (uang), misalnya kulit kurban ditukar dengan daging, tetap termasuk jual beli juga.

Perlu diketahui, bahwa ditinjau dari objek dagangan (apa yang diperdagangkan), jual beli ada tiga macam :
(1) Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang,
(2) Jual beli ash-sharf (money changing), yaitu menukar uang dengan uang,
(3) Jual beli al-muqayadhah (barter), yaitu menukar barang dengan barang. (Lihat Abdullah al-Mushlih dan Shalah Ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam [Maa Laa Yasa’u At-Taajir Jahluhu], Penerjemah Abu Umar Basyir, Jakarta: Darul Haq, 2004, hal. 90)

Atas dasar itu, keharaman menjual kulit ini mencakup segala bentuk tukar menukar kulit, termasuk menukar kulit dengan barang dagangan. Sebab hal ini tergolong jual beli juga, yakni apa yang dalam istilah fiqih disebut al-muqayadhah (barter).
Kedua, tidak dapat diterima membolehkan jual beli kulit dengan hujjah hadits Aisyah tentang bolehnya memanfaatkan (intifa’) kurban.

Sebab kendatipun hadits Aisyah itu bermakna umum, yaitu membolehkan pemanfaatan kurban dalam segala bentuknya secara umum, tapi keumumannya telah dikhususkan (ditakhsis) dengan hadits yang mengharamkan pemanfaatan dalam bentuk jual beli (hadits Abu Hurairah). Kaidah ushul fiqih menyatakan :

العَامُ يَبْقَى عَلَى عُمُوْمِهِ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّخْصِيْصِ

“Al-‘aam yabqaa ‘alaa ‘umuumihi maa lam yarid dalil al-takhsis”

“Dalil umum tetap berlaku umum, selama tidak terdapat dalil yang mengkhusukannya (mengecualikannya).”

Atas dasar itu, menukar kulit dengan barang dagangan tidak termasuk lagi dalam pemanfaatan kulit yang hukumnya boleh, sebab sudah dikecualikan dengan hadits yang mengharamkan jual beli kulit.

Kesimpulannya, menjual kulit kurban hukumnya adalah haram, termasuk menukar kulit dengan daging untuk disedekahkan kepada fakir miskin. Inilah pendapat yang dianggap rajih (kuat), sesuai hadits Nabi SAW yang sahih, “Barangsiapa menjual kulit kurbannya, maka tidak ada [pahala] kurban baginya.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi).

Kulit hewan dapat dihibahkan atau disedekahkan kepada orang fakir dan miskin. Jika kemudian orang fakir dan miskin itu menjualnya, hukumnya boleh. Sebab larangan menjual kulit hewan qurban tertuju kepada orang yang berqurban saja, tidak mencakup orang fakir atau miskin yang diberi sedekah kulit hewan oleh orang yang berqurban. Dapat juga kulit hewan itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama, misalnya dibuat alas duduk dan sajadah di masjid, kaligrafi Islami, bedug, dan sebagainya.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

1. Qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya. Dalam bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udh-hiyah atau adh-dhahiyah, dengan bentuk jamaknya al-adhaahi.

2. Qurban itu hukumnya sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya (muqim), dalam perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji. Namun hukum qurban dapat menjadi wajib, jika menjadi nadzar seseorang, sebab memenuhi nadzar adalah wajib.

3. Tidak semua hewan bisa dijadikan kurban. Binatang-binatang yang bisa dijadikan kurban adalah binatang ternak, seperti unta, sapi, domba atau kambing.

4. Hewan kurban berupa domba yang dianggap layak adalah yang berumur setengah tahun, kambing berumur satu tahun, sapi berumur dua tahun dan unta berumur lima tahun. Semua hewan itu tidak dibedakan apakah jantan atau betina.

5. Seekor kambing berlaku untuk satu orang. Sedangkan seekor unta atau sapi, boleh patungan untuk tujuh orang.

6. Pemanfaatan daging qurban dilakukan menjadi tiga bagian/cara, yaitu: makanlah, berikanlah kepada fakir miskin, dan simpanlah. Namun pembagian ini sifatnya tidak wajib, tapi sunnah.

7. Tidak boleh hukumnya menjual kulit hewan kurban. Demikianlah pendapat jumhur ulama tiga mazhab (Imam Maliki, Syafi’i, dan Ahmad). Sebagian ulama seperti segolongan penganut mazhab Hanafi, Al-Hasan, dan Al Auza’i membolehkannya.

8. Menjual kulit kurban adalah haram, termasuk menukar kulit dengan daging untuk disedekahkan kepada fakir miskin. Inilah pendapat yang dianggap rajih (kuat).

9. Kulit hewan dapat dihibahkan atau disedekahkan kepada orang fakir dan miskin. Jika kemudian orang fakir dan miskin itu menjualnya, hukumnya boleh. Sebab larangan menjual kulit hewan kurban tertuju kepada orang yang berkurban saja, tidak mencakup orang fakir miskin yang diberi sedekah kulit hewan tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Shiddiq Al-Jawi, Yogyakarta, 26 Desember 2005, dalam: http://www.khilafah1924.org/

Rusyd, Ibnu. 2006. Bidayatul Mujtahid (jilid. 1), terj. Beni Sarbeni, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam

Salim, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid. 2006. Shahih Fiqih Sunnah, terj. Besus Hidayat Amin. Jakarta: Pustaka Azzam

Sabiq, Sayyid. 2007. Fiqih Sunnah (jilid. 4), terj. Nor Hasanuddin, Lc. M.A. Jakarta: Pena

2 komentar:

  1. wah, ini artikel yang berguna dan penting banget, penting untuk disebarkan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, silahkan disebarkan dan semoga bermanfaat..

      Hapus