Selasa, 11 Januari 2011

Kaidah Fiqhiyah: Al-Masyaqqah Tajlib al-Taysir

BAB I
PENDAHULUAN

Dinamika kehidupan manusia selalu bergelut dengan beragam peristiwa yang melingkupinya. Adakalanya senang, susah, gembira, sedih, aman, takut, tenang, khawatir, dan seterusnya. Perbedaan sifat yang demikian itu sudah merupakan sunnatullah (alamiah), sehingga tak dapat terelakkan dalam keseharian setiap insan. Sebagai agama yang membawa misi kemaslahatan universal (rahmatan lil ‘alamin), Islam tidak melepaskan perhatiannya pada unsur-unsur kesulitan yang dialami umatnya. Islam memberikan apresiasi besar pada kesulitan yang dihadapi kaum muslimin dengan memberikan keringanan hukum pada obyek hukum yang dinilai sulit.

Terbukti, dalam kaidah fiqhiyah yang ketiga ini ditegaskan bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami seorang muslim, baik dalam konstruksi ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah), akan mendorong diterapkannya kemudahan hukum pada obyek yang dibebankan kepadanya. Bila seorang muslim dalam menjalankan sebuah kewajiban mengalami kendala, maka di titik inilah Islam memberikan toleransi serta kemudahan-kemudahannya.

Namun permasalahannya adalah kesulitan macam apa yang bisa meringankan hukum, bagaimana karakternya, apakah konsekuensinya, apa hubungan antara kesulitan dengan rukhshah, bagaimana bentuk-bentuk rukhshah, apa saja yang menyebabkan seseorang mendapat rukhshah serta permasalahan-permasalahan lain yang berkenaan dengan masyaqqah (kesulitan) dan rukhshah (keringanan hukum).

Untuk menjawab permasalahan di atas, kami akan menulis sebuah makalah tentang kaidah masyaqqah tajlib al-taysir. Makalah ini kami mulai dengan mencantumkan beberapa ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang menjadi dasar pengambilan kaidah ini. Selanjutnya kami menjelaskan pengertian dari kaidah ini ditinjau dari segi etimologis dan terminologis.

Kemudian secara berurutan kami menguraikan karakter dan kualifikasi masyaqqah, permasalahan-permasalahan tentang rukhshah yang meliputi: diskursus seputar definisi rukhshah dan ‘azimah, hukum-hukum rukhshah, bentuk-bentuk rukhshah, obyek-obyek atau faktor penyebab adanya rukhshah, dan pada bagian akhir kami uraikan beberapa kaidah turunan dari kaidah asasi yang ketiga ini.

BAB II
PEMBAHASAN

KAIDAH FIQHIYAH
(الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ)


A. Dasar Pengambilan Kaidah

1. Al-Qur'an

Dasar kaidah ini adalah firman Allah SWT di dalam surat al-Baqarah: 185

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Sedangkan dalam surat al-Hajj ayat 78 dinyatakan:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.

Dalam surat al-Maidah ayat 6, Allah SWT berfirman:

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ

“Allah tidak menghendaki membuat kesulitan bagi kamu sekalian”

Ayat lain yang menjadi dasar kaidah ini adalah QS. Al-Nisa’ ayat 28:

يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu”

2. Al-Hadits

Banyak sekali hadits Nabi SAW yang menjadi dasar terbentuknya kaidah ini, di antaranya adalah:

الدّيْنُ يُسْرٌ اَحَبُّ الدِّيْنِ إِلَى اللهِ الْحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحَةُ (أخرجه البخارى عن أبى هريرة)

“Agama itu adalah mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah”.

يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا (أخرجه البخارى عن أنس)

“Mudahkanlah dan jangan mempersukar”.

إِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوْا مُعَسِّرِيْنَ (رواه الشيخان)

“Kalian semua (kaum muslimin dengan perantara Nabi SAW) diutus untuk memberi kemudahan; tidak untuk menyulitkan”. (HR. Bukhari dan Muslim)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ دِيْنَ اللهِ يُسْرٌ، ثَلاَثًا

“Rasulullah SAW bersabda: ‘Sesungguhnya agama Allah adalah agama yang mudah’. (Kata-kata itu) diucapkan tiga kali.” (HR. Ahmad)

مَا خُيِّرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلاَّ اخْتاَرُ أَيْسَرُهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا

“Tidaklah Rasulullah diberi pilihan di antara dua perkara, kecuali beliau memilih yang lebih mudah atau ringan, selama yang lebih mudah itu bukan perbuatan dosa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا

“Permudahlah dan jangan mempersulit.”

Dari akumulasi (kumpulan) ayat dan hadits yang telah disebutkan di atas, maka tercetuslah sebuah kaidah fiqh: al-masyaqqah tajlib al-taysir yang bermakna bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya menekankan besarnya apresiasi syari’at pada bentuk-bentuk kemudahan dan keringanan hukum. Bahkan, jika seorang muslim diperintahkan melakukan salah satu di antara dua hal, kemudian ia memilih yang lebih ringan baginya, maka pilihannya itu lebih dicintai oleh Allah SWT.

Namun perlu dicatat, kemudahan dimaksud jelas tidak berlaku serampangan dan tanpa arah. Ada batasan dan kualifikasi tertentu yang harus dipenuhi agar kemudahan itu dapat diperoleh. Hal itu akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.


B. Penjelasan Kaidah

Al-masyaqqah menurut arti bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran, seperti terdapat dalam QS. Al-Nahl ayat 7:

وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ إِلَى بَلَدٍ لَمْ تَكُونُوا بَالِغِيهِ إِلَّا بِشِقِّ الْأَنْفُسِ

“Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri.”

Sedangkan al-taysir secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan:

إِنَّ الدِيْنَ يُسْرٌ

“Agama itu mudah, tidak memberatkan.” Yusrun lawan dari kata ‘usyrun.

Adapun makna terminologi kaidah asasi ketiga di atas adalah:

إن الأحكام التى ينشأ عن تطبيقها حرج على المكلف ومشقة فى نفسه أو ماله فالشريعة تخففهما بما يقع تحت قدرة المكلف دون عسر أو حرج.

“Hukum yang praktiknya menyulitkan mukallaf; dan pada diri dan sekitarnya terdapat kesulitan, maka syari’at meringankannya sehingga beban tersebut berada di bawah kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan.”

Adapun secara istilah, al-Syathibi memberikan empat makna.

1. Masyaqqah dimaknai secara umum; meliputi hal-hal yang mampu dilakukan oleh mukallaf ataupun tidak, karenanya ketika ada seorang manusia berusaha untuk terbang dia dianggap melakukan masyaqqah dalam pengertian pertama ini.

2. Masyaqqah dimaknai sebagai perbuatan yang sebenarnya mampu dikerjakan manusia, hanya saja itu akan menyebabkan orang yang melakukannya berada dalam kesulitan yang sangat berat.

3. Masyaqqah dalam pengertian kesulitan yang tidak sampai ‘keluar’ dari kebiasaan umum.

4. Masyaqqah yang dimaknai sebagai ‘melawan hawa nafsu’.

Untuk membedakan masyaqqah yang bisa berpengaruh dalam tataran hukum, al-Syathibi memberikan sebuah batasan bahwa pekerjaan tersebut - karena saking beratnya - jika dilakukan terus menerus, akhirnya justru membuatnya ditinggalkan secara total atau sebagiannya saja. Atau jika pekerjaan itu dapat menyebabkan salah satu bagian dari pelaku menjadi “tidak beres”. Kesulitan dalam sebuah perbuatan yang berdampak terhadap hal-hal seperti ini termasuk dalam kategori masyaqqah yang “keluar dari kebiasaan”, dalam arti bahwa kesulitan yang semacam itu akan mempengaruhi formulasi hukum yang dihasilkan. Sedangkan apabila tidak sampai pada kondisi demikian, maka ia tidak dapat berpengaruh pada tataran hukum.

Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subyek hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.


C. Karakter dan Kualifikasi Masyaqqah

Berdasarkan analisa al-Suyuthi sebagaimana dikutip oleh Abdul Haq, dkk., karakteristik kesulitan (masyaqqah) secara umum terbagi dalam dua pembagian pokok:

1. Masyaqqah yang tidak dapat menggugurkan kewajiban (ibadah). Misalnya rasa lelah ketika melakukan perjalanan haji, tidak secara otomatis menggugurkan kewajiban haji. Rasa capek dan takut dalam peperangan, tidak dapat menggugurkan kewajiban jihad. Masalahnya, masyaqqah semacam itu sudah merupakan tabi’at dasar dan konsekuensi logis dari jenis pekerjaan yang sedang dilakukan. Artinya, kewajiban seperti haji hanya dapat terlaksana jika telah melewati kesulitan-kesulitan berupa rasa lelah, capek, dan sebagainya. Begitu pula kewajiban jihad tetap harus melewati rasa lelah, takut bahkan kematian pun bisa terjadi. Sehingga tidak logis jika kemudahan (rukhshah) diterapkan dalam domain ini.

2. Masyaqqah yang dapat menggugurkan kewajiban. Masyaqqah jenis kedua ini terbagi lagi dalam tiga tingkatan:

a. Masyaqqah yang sangat berat dan umumnya sulit ditanggung (a’la). Seperti rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta, keturunan, organ tubuh, dan hal-hal mendasar lainnya. Pada taraf inilah syari’at memberlakukan keringanan hukum (rukhshah). Sebab, pemeliharaan jiwa dan raga untuk menjalankan kewajiban-kewajiban syari’at lebih diutamakan dari pada tidak melakukan sama sekali. Artinya, jika umat Islam masih ‘dipaksa’ melaksanakan kewajiban yang sebenarnya sudah tidak mampu dikerjakan, maka akan berakibat fatal pada keselamatan jiwa maupun raganya. Hal ini tentu akan membuat kewajiban itu sendiri menjadi terbengkalai. Dengan diberlakukannya rukhshah, maka kewajiban tersebut tetap bisa terlaksana.

b. Masyaqqah yang sangat ringan (adna). Seperti pegal-pegal, pilek, pusing, dan lain sebagainya. Pada strata ini, tidak ada sama sekali legitimasi syari’at untuk memberi rukhshah. Sebab ke-maslahat-an ibadah masih lebih penting dari pada menghindari mafsadah (kerusakan) yang timbul dari masyaqqah kategori ini. Artinya, timbulnya mafsadah dari hal-hal seperti ini masih sangat minim, sehingga kemaslahatan ibadah (baca: pahala akhirat) yang nyata-nyata punya nilai lebih besar harus lebih diutamakan.

c. Masyaqqah pertengahan (al-mutawassthah) yang berada pada titik interval di antara dua bagian sebelumnya. Jenis masyaqqah yang terakhir ini bisa mendapat rukhshah, jika telah mendekati kadar masyaqqah pada urutan yang tertinggi (a’la). Dan sebaliknya apabila lebih dekat pada kategori masyaqqah yang paling ringan (adna) maka ia tidak dapat menyebabkan rukhshah.

Dalam catatan akhirnya, al-Suyuthi menandaskan bahwa tidak ada ukuran pasti pada jenis masyaqqah yang mutawassithah ini. Satu-satunya cara mengetahuinya adalah melalui metode analisa-kualitatif (taqribi; mendekatkan)

Metode Taqribi

Masyaqqah adalah sesuatu yang bersifat individual , abstrak dan relatif, dalam arti ukuran dan batasannya sangat sulit dibedakan (kadang si A merasa berat mengerjakan, tapi si B tidak, padahal pekerjaannya sama). Hal ini terjadi pada jenis masyaqqah mutawassithah. Karena itulah fuqaha mengajukan solusi metodologis berupa taqribi guna mengukur beragam jenis masyaqqah yang bisa memperoleh keringanan hukum.

Secara umum, taqribi dimaknai sebagai upaya pengukuran kadar masyaqqah apakah telah melewati batas minimal atau tidak. Jika kadar masyaqqah masih dalam taraf terendah (adna), maka tidak ada pemberlakuan rukhshah. Tapi jika telah melampaui taraf terendah, baik telah mencapai kategori mutawassithah ataupun sampai level tertinggi (a’la), maka ia akan mendapat rukhshah.

Setiap ibadah pasti mengandung masyaqqah (sekurang-kurangnya dipandang dari segi bahwa ia adalah taklif atau tuntutan). Jika kadar masyaqqah yang normal semakin bertambah tingkat kesulitannya karena ada masalah-masalah tertentu, maka di titik ini dia telah berada pada – dan berubah menjadi – level mutawassithah. Seseorang yang sedang berpuasa misalnya, pasti mengalami masyaqqah, baik berupa lapar, haus, dan seterusnya. Jika puasa itu dilakukan dalam keadaan sakit, maka secara otomatis masyaqqah-nya bertambah, yakni masyaqqah berpuasa ditambah masyaqqah sakit. Nah, pada kondisi inilah masyaqqah itu telah melewati batas minimal (adna) sehingga bisa mendapatkan rukhshah.


D. Rukhshah (Toleransi)

1. Diskursus Seputar Definisi Rukhshah dan ‘Azimah

Pada dasarnya, rukhshah adalah sebuah kodifikasi hukum yang diberikan syari’at bagi mukallaf yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan taklif yang dibebankan kepadanya. Dengan kata lain, rukhshah adalah sebuah formulasi hukum yang telah berubah dari bentuk asalnya, karena mempertimbangkan obyek hukum, situasi, kondisi, dan tempat tertentu. Bisa pula dimaknai sebagai diperbolehkannya sesuatu yang asalnya dilarang, beserta wujudnya dalil yang melarang.

Sebaliknya, jika formulasi hukum syari’at tidak mengalami perubahan, maka ia dinamakan ‘azimah. Atau dapat dikatakan, ‘azimah adalah suatu formulasi hukum-hukum dasar syari’at yang bersifat umum dan tidak terbatas pada obyek, situasi, kondisi, dan orang tertentu. Atau lebih mudahnya, ‘azimah adalah sebentuk kerangka hukum dasar (fundamental) yang belum mengalami perubahan, kodifikasi, reformasi, reformulasi, maupun reduksi.

Dari sini dapat disimpulkan, bila hukum syari’at masih seperti sedia kala, maka ia dinamakan ‘azimah. Tapi bila telah berubah dan mengalami perubahan bentuk dengan beberapa syarat tertentu, maka ia dinamakan rukhshah.

2. Hukum-Hukum Rukhshah

Bila ditilik dari sisi hukumnya, rukhshah terbagi menjadi lima:

a. Rukhshah wajib. Contohnya memakan bangkai bagi orang yang sedang kelaparan, atau minum arak (khamr) bagi seseorang yang tenggorokannya tersumbat hingga tak bisa bernafas. Jika makan bangkai atau minum arak-yang notabene haram-merupakan satu-satunya jalan yang diyakini bisa menyelamatkan jiwanya, maka hal itu wajib dilakukan.

b. Rukhshah sunnah. Misalnya shalat qashar bagi seorang musafir yang telah melakukan perjalanan sepanjang dua marhalah atau lebih, dan berbuka puasa bagi orang yang sakit atau musafir yang mengalami masyaqqah bila melaksanakan puasa. Demikian pula mengakhirkan shalat zhuhur, karena cuaca pada awal waktu zhuhur sangat panas. Atau seperti melihat muka dan dua telapak tangan calon istri saat meminangnya. Semua contoh di atas merupakan rukhshah yang sunnah dikerjakan.

c. Rukhshah mubah. Contohnya seperti transaksi pesan-memesan (salam) dan sewa-menyewa (ijarah). Dua jenis transaksi dikategorikan rukhshah yang mubah karena memandang hukum asalnya yang tidak diperbolehkan. Akad salam pada permulaannya tidak diperbolehkan karena dianggap membeli barang yang tidak wujud (ma’dum). Dan manfaat dalam ijarah juga dinilai ma’dum.

d. Rukhshah khilaf al-awla (lebih utama ditinggalkan). Seperti membilas bagian luar sepatu kulit (al-khuf atau muzah), menjama’ shalat atau berbuka puasa bagi seorang musafir yang tidak mengalami masyaqqah bila harus mengerjakannya. Begitu pula tayamum bagi orang yang telah mendapat air, tapi harus dibeli dengan nilai di atas harga standar, sementara dia sebenarnya memiliki uang (mampu) untuk membelinya. Semua toleransi (rukhshah) dalam contoh di atas lebih utama untuk tidak dikerjakan.

e. Rukhshah makruh. Contohnya menqashar shalat dalam perjalanan yang belum mencapai tiga marhalah. Kemakruhan ini dimotivasi untuk menghindari khilaf imam Hanafi yang tidak memperbolehkan qashar sebelum perjalanan mencapai tiga marhalah (142 km versi Hanafiah). Sementara al-Syafi’iah menilai dua marhalah cukup untuk melakukan qashar.

3. Bentuk-Bentuk Rukhshah

Jika ditilik dari bentuknya, rukhshah terbagi menjadi enam:

a. Takhfif Isqath: Rukhshah yang berbentuk pengguguran kewajiban. Seperti uzur shalat jum’at, haji, umrah, dan jihad. Jika semua pekerjaan itu tidak dapat terlaksana akibat adanya uzur dengan ketentuan-ketentuan tertentu, maka syari’at memberi toleransi dengan menghapus kewajiban-kewajiban tadi. Untuk shalat jum’at diganti dengan shalat zhuhur sebagaimana hari biasa.

b. Takhfif Tanqish: Rukhshah yang berupa pengurangan kuantitas pekerjaan. Seperti diperbolehkannya qashar bagi musafir. Sebelum menjadi musafir, ia harus melaksanakan shalat zhuhur atau ashar sebanyak empat raka’at. Tapi setelah ia berada dalam perjalanan maka kewajiban empat raka’at itu diperingan menjadi dua raka’at dengan cara diqashar.

c. Takhfif Ibdal: Rukhshah berbentuk penggantian. Contohnya mandi dan wudhu boleh diganti dengan tayamum. Kewajiban berdiri dalam shalat yang dapat diganti duduk, duduk yang dapat diganti dengan shalat berbaring miring (idhthija’) dan idhthija’ diganti dengan isyarat. Begitu pula kewajiban memerdekakan budak dalam kafarat yang bisa diganti dengan puasa dua bulan, atau mengganti kewajiban puasa dengan memberi makan enam puluh orang miskin. Sebagian kewajiban haji dan umrah boleh diganti dengan kafarah. Semua bentuk “penggantian” di atas boleh dilakukan jika kita mengalami uzur, dan inilah yang dimaksud dengan Takhfif Ibdal.

d. Takhfif Taqdim: Rukhshah dengan mendahulukan. Misalnya dalam jama’ taqdim, di mana shalat ashar boleh didahulukan (baca: dilaksanakan) pada waktu zhuhur, shalat isya boleh dikerjakan pada waktu maghrib ketika dalam perjalanan atau dalam keadaan hujan lebat. Contoh lainnya adalah mendahulukan membayar zakat sebelum hawl, membayar kafarah sumpah sebelum pelanggaran sumpahnya dilakukan, dan lain sebagainya. Semua jenis ‘pengajuan’ di atas boleh dilakukan dan termasuk kategori rukhshah.

e. Takhfif Ta’khir: Rukhshah berupa penundaan aktivitas. Seperti shalat jama’ ta’khir. Shalat zhuhur boleh ditunda atau dilaksanakan pada waktu ashar, dan shalat maghrib pada waktu isya. Begitupun kewajiban puasa Ramadhan boleh dilakukan pada bulan-bulan sesudahnya bagi orang yang sakit atau musafir. Boleh pula mengakhirkan shalat bagi seseorang yang sedang menyelamatkan nyawa orang lain, baik karena tenggelam, kebakaran ataupun lainnya.

f. Takhfif Tarkhish: Rukhshah berbentuk peringanan. Seperti diperbolehkannya memakan bangkai saat kelaparan, berobat dengan obat-obatan atau makanan yang najis atau haram, dan minum arak (khamr) untuk melegakan lubang tenggorokan yang tersumbat. Semua jenis rukhshah semacam ini boleh dilakukan jika sudah menjadi keharusan atau menjadi satu-satunya jalan yang bisa ditempuh untuk menyelamatkan jiwa penderita. Hukum yang sama juga berlaku pada orang yang mengucapkan kata-kata kufur dalam keadaan dipaksa. Begitupun seseorang yang tayamum, walaupun hadatsnya belum hilang tapi ia diperbolehkan melaksanakan shalat, dan orang yang ‘bersuci’ dengan memakai batu boleh melakukan shalat walaupun masih terdapat sisa-sisa kotoran yang tidak dapat hilang kecuali dengan memakai air.

Selain enam pemilahan di atas, al-‘Ala’i menambahkan lagi bentuk rukhshah yang diberi nama rukhshah takhfif-taghyir (rukhshah keringanan-perubahan). Seperti perubahan runtutan gerak dalam shalat saat situasi yang menakutkan (shalat al-khawf), semisal shalat dalam masa peperangan. Shalat dalam kondisi seperti itu boleh dilakukan sesuai kemampuan atau gerakan yang mungkin dilakukan, tanpa aturan pasti. Seperti kita maklumi, dalam kondisi bagaimanapun seorang muslim tetap berkewajiban mendirikan shalat, termasuk dalam keadaan perang.

Namun ulama lain mengatakan, rukhshah jenis ini termasuk kategori rukhshah tanqish (bagian ke 2), dengan argumen bahwa runtutan shalat khawf telah berkurang dari runtutan semula (al-nazhm al-ashl). Ada juga yang mengatakan termasuk kategori rukhshah tarkhish (bagian ke-6). Dengan latar belakang khilaf seperti ini, dapat disimpulkan bahwa pemilahan rukhshah tetap ada enam.

4. Obyek – Obyek Rukhshah

Dalam perspektif fiqh konvensional, sering ditegaskan bahwa tidak setiap masyaqqah mendapat rukhshah, dan tidak semua orang bisa mendapat rukhshah. Setidaknya ada tujuh obyek yang bisa mendapat rukhshah. Ketujuh obyek tersebut adalah paksaan (ikrah), lupa (nisyan), tidak tahu (jahl), kondisi sulit (‘usr), perjalanan (safar), sakit (maradh), dan nilai “minus” (naqsh). Ketujuh macam obyek itu akan dipaparkan dalam pembagian di bawah ini.

a. Ikrah (pemaksaan)

Setidaknya ada tujuh syarat pokok ikrah yang bisa menyebabkan rukhshah:

1. Pemaksa (mukrih) mampu merealisasikan ancamannya, baik melalui sarana kekuasaan atau gencarnya intimidasi.

2. Mukrah tidak mampu menolak dengan cara apapun, baik dengan melarikan diri, minta pertolongan orang lain, atau bahkan mengimbangi paksaan itu.

3. Mukrah mempunyai prasangka kuat bahwa jika dia menolak paksaan itu, maka mukrih akan menjatuhkan ancamannya.

4. Obyek paksaan adalah sesuatu yang haram dikerjakan. Misalnya membunuh, merampok, memukul orang lain, dan lain sebagainya.

5. Ancaman mukrih adalah sesuatu yang bisa dijatuhkan secara langsung. Artinya, ketika mukrih mengancam, seketika itu pula ia akan melaksanakan ancamannya.

6. Ancaman harus berupa sesuatu yang jelas atau ditentukan (mu’ayyan). Artinya, tidak abstrak, mengambang, atau mengada-ada.

7. Mukrah hanya bisa selamat dari ancaman jika mau melaksanakan paksaan mukrih.

b. Nis-yan (lupa)

Secara terminologis, nis-yan adalah hilangnya daya ingat terhadap hal-hal yang sudah diketahui (ma’lum). Untuk mengingatnya kembali dibutuhkan usaha dari awal lagi. Berbeda dengan sahwu (lalai) yang hanya berupa keadaan lupa yang bersifat temporal (sementara). Sehingga dengan hanya sedikit diingatkan, maka otak akan mampu “merekam” kembali data dan memori yang sempat hilang.

Berkaitan dengan masalah rukhshah dan konsekuensi hukumnya, nis-yan masih dipilah dalam tiga perincian:

1. Jika bentuk nis-yan adalah meninggalkan sebuah kewajiban, maka kewajiban itu hakikatnya belum gugur. Dalam arti, jika ingatan telah pulih kembali, maka kewajiban itu harus dikerjakan kembali.

2. Apabila nis-yan-nya adalah melakukan sebuah larangan, maka akan menimbulkan dua perincian:

a. Jika berhubungan dengan perusakan harta benda orang lain, maka tidak berdosa, namun wajib membayar ganti rugi (kompensasi, dhaman).
b. Jika tidak berhubungan dengan perusakan harta orang lain, maka tidak ada dosa ataupun ganti rugi.

3. Nis-yan terjadi pada sesuatu yang berakibat fatal, seperti hukuman dera (‘uqubah). Dalam kondisi seperti ini, nis-yan dianggap sesuatu yang syubhat (tidak jelas) sehingga dapat menggugurkan ‘uqubah tersebut.

c. Jahl (ketidaktahuan)

Syari’at membagi ketidaktahuan yang bisa mendapat rukhshah dalam dua kategori berikut:

1. Ketidaktahuan terhadap hukum syari’at karena baru masuk Islam (mu’allaf). Dalam kondisi ini, Islam memberikan toleransi yang sangat rasional dan manusiawi. Semisal seorang mu’allaf, ketika baru masuk Islam, tentunya belum begitu tahu akan hukum agama yang baru dipeluknya secara rinci, sehingga ketidaktahuannya masih ditolerir syari’at. Sedangkan bagi muslim yang telah lama memeluk agama Islam, diharuskan untuk menjalankan ritual agama sesuai dengan syarat-rukunnya. Tidak ada dispensasi sebagaimana mu’allaf.

2. Ketidaktahuan karena keberadaan situasi dan kondisi yang memang tidak memungkinkan. Seperti seorang muslim yang hidup di daerah terpencil, di hutan belantara, ataupun di sebuah komunitas besar, namun di antara mereka tidak ada yang mengetahui hukum-hukum agama. Dalam kondisi seperti ini, syari’at masih memberikan keluasan hukum kepadanya, karena ia memang berada dalam suatu keadaan yang sangat tidak mungkin dihindari. Berbeda halnya bagi kaum muslim yang hidup dan berkembang dalam komunitas yang religius dan kental dengan peradaban Islam, maka wajib melaksanakan ibadahnya sesuai konsep yang ditentukan syari’at, sebab kondisinya memang memungkinkan.

Bagi orang yang tidak tahu semacam itu, jika dia berada dalam kondisi serba sulit dan melakukan sebuah keteledoran, maka syari’at masih memberi keringanan (baca: rukhshah). Jika-misalnya-dia berbicara di saat shalat, maka tidak membatalkan shalatnya, karena ia memang tidak tahu bahwa berbicara di saat shalat bisa membatalkan.

d. Al-‘Usr (kesulitan)

Kehidupan manusia tidak akan lepas dari keadaan yang mengharuskannya melakukan pilihan-pilihan yang serba sulit dan dilematis. Hal itu tidak terjadi dalam dinamika keseharian saja. Tapi dalam pelaksanaan hukum syari’at pun, dilema itu seringkali muncul tanpa diundang.

Contoh paling sederhana, ketika kita berjalan-jalan bertepatan dengan turunnya hujan, biasanya percikan air yang bercampur lumpur najis seringkali mengenai pakaian. Sementara kita sangat sulit menghindari hal itu. Sebab lumpur-lumpur najis itu begitu banyak dan nyaris memenuhi badan jalan.

Terkait dengan permasalahan di atas, Islam memang tetap menghukumi percikan yang mengenai pakaian itu sebagai sesuatu yang najis. Sebab ia berasal dari sesuatu yang najis. Namun demikian, karena percikan itu timbul dari keadaan yang sulit dihindari (al-‘usr), maka hukumnya di-ma’fuw (diampuni). Sehingga pakaian yang terkena percikan najis itu tetap bisa digunakan untuk mendirikan shalat, misalnya.

Contoh lain adalah darah bisul, darah jerawat, darah orang lain, kotoran lalat, dan kotoran burung. Jika najis-najis itu mengenai tubuh dan timbul dari keadaan sulit (tidak disengaja mengenai tubuh kita), dan menurut standar ‘urf (umum) hanya sedikit kadarnya, maka juga dihukumi najis yang di-ma’fuw.

e. Safar (bepergian).

Setidaknya, ada delapan jenis rukhshah yang dapat dilakukan saat seseorang melakukan suatu perjalanan. Kedelapan jenis rukhshah itu, oleh al-Nawawi dipilah berdasarkan kadar hukum masing-masing. Pemilahan versi al-Nawawi ini agaknya dapat diterima oleh ulama yang lain, karena telah mewakili hampir semua jenis rukhshah beserta semua perinciannya. Pemilahannya adalah seperti di bawah ini:

1. Meringkas shalat (qashr)

2. Tidak berpuasa pada bulan Ramadhan (ifthar)

3. Membasuh khuff atau muzah (sepatu kulit) lebih dari satu malam. Lain halnya orang yang tidak dalam perjalanan; ia hanya mendapat rukhshah membasuh muzah selama satu hari satu malam saja.

Catatan: tiga obyek rukhshah di atas hanya berlaku saat melakukan perjalanan jauh, yakni telah mencapai dua marhalah.

4. Meninggalkan shalat Jumat dan menggantinya dengan shalat zhuhur.

5. Memakan bangkai.

Catatan: dua kategori rukhshah ini tidak dikhususkan untuk perjalanan jauh saja. Dalam arti, rukhshah meninggalkan shalat Jumat dan memakan bangkai tidak disyaratkan setelah perjalanan mencapai dua marhalah.

6. Jama’ shalat. Untuk menjama’ shalat, fuqaha masih memperselisihkan, apakah perjalanan harus mencapai dua marhalah atau tidak. Menurut qawl ashah, dua marhalah merupakan syarat menjama’ shalat.

7. Shalat sunnah di atas kendaraan tanpa harus menghadap kiblat.

8. Gugurnya kewajiban shalat yang telah dilakukan walaupun bersuci dengan cara tayamum.

Pada poin ketujuh dan kedelapan inipun masih terjadi kontradiksi antar fuqaha, terutama dalam soal jarak tempuh perjalanan. Qawl ashah justru tidak mematok syarat minimal dua marhalah. Artinya, shalat sunnah di atas kendaraan tetap dianggap sah, walaupun perjalanannya belum sampai jarak dua marhalah. Bagitu pula jika kita bertayamum sebagai pengganti wudhu, dengan syarat-syarat tertentu, walaupun perjalanannya belum sampai dua marhalah, kewajiban shalat yang telah dilaksanakan dianggap gugur, sehingga tidak perlu mengulangi (qadha).

f. Maradh (sakit).

Sebagai agama yang membawa misi ajaran kasih sayang bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin), Islam sangat “memahami” permasalahan sakit ini, dengan memberikan keringanan hukum bagi penderita penyakit dalam menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Tapi bukan berarti setiap jenis penyakit akan memperingan hukum. Sebab, logiskah kiranya jika orang yang berpenyakit panu meminta keringanan hukum shalat, misalnya?.

Karena itu, secara cerdas fuqaha merekomendasikan metode dasar untuk membedakan penyakit yang bisa dan yang tidak bisa memperoleh rukhshah. Metode yang ditawarkan fuqaha ini biasa disebut metodologi analisis-kualitatif (taqribi), yakni suatu pengamatan dan analisa pada obyek hukum yang dikaji, dengan mengambil sampel pada kualitas obyek bersangkutan dari berbagai aspek. Contohnya, jika seseorang yang sedang sakit menjalani puasa, maka harus dilihat, bagaimana kondisi tubuhnya; separah apakah penyakit yang diderita; dampak apa yang akan ditimbulkan; bagaimana pengalaman orang lain saat ditimpa hal serupa; dan lain sebagainya.

Jika penyakit itu menimbulkan dampak yang membahayakan, maka akan mendapat rukhshah. Dalam arti, suatu penyakit bisa mendapat rukhshah apabila semakin parah atau berdampak fatal pada keselamatan si penderita jika ia memaksakan diri melakukan suatu ritus ibadah tersebut. Contohnya, seorang yang sakit ”diperbolehkan” tayamum sebagai pengganti wudhu’, atau shalat sambil duduk, tidur, maupun dengan isyarah ketika tidak bisa melakukannya dengan sempurna (berdiri). Begitu pula keringanan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan, keluar dari tempat i’tikaf, mewakilkan haji bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan sendiri, berobat dengan sesuatu yang najis, dan masih banyak contoh-contoh yang lainnya.

Dalam permasalahan boleh-tidaknya orang sakit meng-qashar shalat, masih terjadi kontradiksi diantara fuqaha. Pendapat yang paling kuat adalah yang tidak memperbolehkan karena menganalogikan qashar dengan jama’.

g. Nilai Minus (Naqish).

Yang termasuk dalam kategori ini adalah kaum hawa, anak-anak, orang gila, idiot (safih), hamba sahaya dan orang sakit. Ketidak-sempurnaan yang dimaksud bukan berarti karena cacatnya anggota badan atau minusnya intelektualitas, melainkan nilai minus yang bersifat insting-psikologis (tabiat kejiwaan). Perempuan misalnya, dalam beberapa kondisi tertentu dianggap mempunyai sifat naqsh (kurang) karena secara psikologis memiliki kadar emosional tinggi, tidak sabaran, berbicara sering di luar kontrol dan hal-hal yang bersifat thabi’i (karakteristik) lainnya. Sedangkan anak-anak, orang gila dan idiot, jelas punya daya nalar dan daya pikir kurang memadai dibanding daya nalar orang dewasa dan normal.

Sementara nilai minus hamba sahaya terletak pada kedudukannya yang masih berada di bawah kekuasaan orang lain (sayyid; majikan). Sedangkan nilai minus orang yang sakit terletak pada kondisi kesehatan tubuhnya yang berada di bawah standar normal.

Berdasarkan hipotesa di atas, syari’at memberikan keringanan hukum bagi mereka. Anak kecil dan orang gila tidak mendapat taklif; kaum perempuan mendapat beban taklif lebih ringan dibanding laki-laki, seperti tidak wajib shalat Jumat, tidak wajib jihad, tidak wajib membayar diyat (denda) dan jizyah, boleh memakai kain sutra dan perhiasan dari emas, dan lain sebagainya. Bahkan menurut sebagian ulama, diperbolehkannya seorang laki-laki berpoligami ternyata adalah bagian dari “keringanan” bagi kaum hawa. Hal itu berlandaskan pada asumsi dasar, bahwa kaum hawa adalah jenis kelamin mayoritas. Agar populasi yang begitu besar itu dapat “tersalurkan”, maka syari’at memperbolehkan satu orang laki-laki beristri sampai empat orang.

5. Sengaja Mencari Rukhshah (Tatabu’ al-Rukhas)

Sengaja mencari rukhshah bisa diartikan sebagai usaha untuk melakukan sebab-sebab tertentu dengan tujuan untuk mendapatkan rukhshah. Artinya, seseorang dengan sengaja memilih salah satu alternatif yang mungkin untuk dilakukan demi mendapatkan keringanan yang dia kehendaki. Usaha seperti ini tidak boleh dilakukan. Karenanya, apabila seorang musafir memiliki dua alternatif jalan, misalnya, di mana yang satu jaraknya mencapai batas yang diperbolehkan untuk meringkas shalat dan yang lain tidak, namun kemudian dia memilih jalan yang lebih panjang dengan tujuan semata-mata untuk mendapatkan rukhshah, cara yang demikian ini justru membuatnya tidak bisa mendapatkan rukhshah.


E. Kaidah-Kaidah Turunan Yang Senada

Telah kita maklumi, setiap kaidah dasar pasti memiliki kaidah-kaidah cabang/turunan yang senada dan memiliki substansi sama, walaupun berbeda dalam segi pengungkapan. Pada kaidah al-masyaqqah tajlib al-taysir ini, terdapat beberapa kaidah cabang sebagai berikut:

1. إِذَا ضَاقَ اْلأَمْرُ اتَّسَعَ

“Ketika sesuatu menjadi sempit, maka hukumnya menjadi luas (ringan)”

Dengan kata lain, keringanan hukum akan diperoleh disebabkan kondisi sulit dan sempit. Contohnya sebagaimana nasib seorang gadis yang tidak memiliki wali, atau berada jauh dari rumahnya. Pada saat yang sama ia bertemu seorang laki-laki idaman yang akan mau menikahinya. Dalam kondisi seperti ini, wanita yang notabene menghadapi kesulitan diperbolehkan “mengangkat” orang lain (yang bukan mahram) untuk menjadi walinya (muhakkam).

Contoh lain seperti fenomena yang sering terjadi di musim kemarau, di mana lalat-lalat banyak bertebaran membawa najis di kakinya. Jika lalat-lalat nakal itu hinggap di tubuh kita, maka najis-najis di kaki mereka hukumnya ma’fu. Sebab, kita sangat sulit menghindar. Dengan kata lain, najis yang mengenai tubuh saat kondisi sulit (dhaqa), akan membuat hukum menjadi ringan (ittasa’a) berupa di-ma’fu-nya najis-najis tersebut.

2. إِذَا اتَّسَعَ اْلأَمْرُ ضَاقَ

“Ketika keadaan lapang, maka hukumnya menjadi sempit (ketat).”

Kaidah cabang kedua ini-sebenarnya-semakna dengan kaidah cabang pertama, walaupun redaksinya berbeda dan cenderung berlawanan. Artinya, jika yang pertama menyatakan bahwa kesempitan akan membuahkan keluasan (hukum), maka yang kedua ini bersikap sebaliknya, yakni keadaan lapang akan membuat hukum menjadi sempit dan terbatas.

Contohnya, ketika melaksanakan shalat, kita tidak diperbolehkan melakukan gerakan. Sebab kondisi kita saat itu tidak menuntut dilakukannya suatu gerakan. Akan tetapi, jika gerakan itu dilakukan untuk menghindari serangan ular berbisa, kalajengking, dan binatang berbisa lainnya, maka pergerakan tersebut diperbolehkan.

Dengan kata lain, shalat yang kita lakukan tanpa adanya gangguan termasuk kategori keadaan lapang (ittasa’a), sehingga hukumnya menjadi sempit dan terbatas (dhaqa), yakni tidak boleh melakukan pergerakan yang berlebihan.

3. كُلُّ مَا تَجَاوَزَ عَنْ حَدِّهِ انْعَكَسَ إِلَى ضِدِّهِ

“Setiap sesuatu yang sudah melewati batas kewajaran, memiliki hukum yang sebaliknya”
Kaidah yang ketiga ini adalah hasil sintesa (perpaduan) dua kaidah sebelumnya. Artinya, kaidah ini memandang, sempit dan luasnya suatu keadaan akan berakibat timbulnya hukum kebalikannya; ketika kondisi sulit berarti hukumnya ringan; saat keadaan lapang akan membuat hukum menjadi ketat. Al-Ghazali-lah yang melakukan upaya sintetik tersebut, yakni melalui perpaduan dua kaidah cabang sebelumnya, yang jika dilihat sepintas agaknya saling bertolak belakang, padahal kenyataannya mempunyai substansi yang senada.

4. إِذَا تَعَزَّرَ اْلأَصْلُ يُصَارُ إِلَى اْلبَدَلِ

“Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya”

Contohnya: Tayamum sebagai ganti wudhu.

5. مَا لاَ يُمْكِنُ التَّحَرُزُ مِنْهُ مَعْفُوْ عَنْهُ

“Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan”

Contohnya: Pada waktu sedang shaum, kita berkumur-kumur, maka tidak mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau masih ada sisa-sisa

6. الرُّخْصُ لاَ تُنَاطُ بِالْمَعَاصِى

“Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”

Contohnya: Orang bepergian dengan tujuan melakukan maksiat, misalnya untuk membunuh orang atau untuk berjudi atau berdagang barang-barang yang diharamkan, maka orang semacam ini tidak boleh menggunakan keringanan-keringanan di dalam hukum Islam.

7. إِذَا تَعَزَّرَتِ الْحَقِيْقَةُ يُصَارُ إِلَى الْمَجَاِز

“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”.

8. إِذَا تَعَزَّرَ إِعْمَالُ الْكَلاَمِ يُهْمَلُ

“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan”.

9. يُغْتَفَرُ فِى الدَّوَامِ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِى اْلإِبْتِدَاءِ

“Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya”.

10. يُغْتَفَرُ فِى اْلإِبْتِدَاءِ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِى الدَّوَامِ

“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”.

11. يُغْتَفَرُ فِى التَّوَابِعِ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِى غَيْرِهَا

“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:

1. Dari akumulasi beberapa ayat dan hadits, maka tercetuslah sebuah kaidah fiqh: al-masyaqqah tajlib al-taysir yang bermakna bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya menekankan besarnya apresiasi syari’at pada bentuk-bentuk kemudahan dan keringanan hukum.

2. Karakteristik masyaqqah secara umum terbagi dalam dua pembagian pokok:

a. Masyaqqah yang tidak dapat menggugurkan kewajiban (ibadah).

b. Masyaqqah yang dapat menggugurkan kewajiban. Masyaqqah jenis kedua ini terbagi lagi dalam tiga tingkatan:
1. Masyaqqah yang sangat berat dan umumnya sulit ditanggung (a’la).
2. Masyaqqah yang sangat ringan (adna).
3. Masyaqqah pertengahan (al-mutawassthah) yang berada pada titik interval di antara dua bagian sebelumnya.

3. Bila ditilik dari sisi hukumnya, rukhshah terbagi menjadi lima: Rukhshah wajib, Rukhshah sunnah, Rukhshah mubah, Rukhshah khilaf al-awla (lebih utama ditinggalkan), Rukhshah makruh.

4. Jika ditilik dari bentuknya, rukhshah terbagi menjadi enam: Takhfif Isqath: Rukhshah yang berbentuk pengguguran kewajiban; Takhfif Tanqish: Rukhshah yang berupa pengurangan kuantitas pekerjaan; Takhfif Ibdal: Rukhshah berbentuk penggantian; Takhfif Taqdim: Rukhshah dengan mendahulukan; Takhfif Ta’khir: Rukhshah berupa penundaan aktivitas; Takhfif Tarkhish: Rukhshah berbentuk peringanan.

5. Setidaknya ada tujuh obyek yang bisa mendapat rukhshah. Ketujuh obyek tersebut adalah paksaan (ikrah), lupa (nisyan), tidak tahu (jahl), kondisi sulit (‘usr), perjalanan (safar), sakit (maradh), dan nilai “minus” (naqsh).

6. Pada kaidah al-masyaqqah tajlib al-taysir ini, terdapat beberapa kaidah cabang, di antaranya:
(1) إِذَا ضَاقَ اْلأَمْرُ اتَّسَعَ ;

(2) إِذَا اتَّسَعَ اْلأَمْرُ ضَاقَ ;

(3) كُلُّ مَا تَجَاوَزَ عَنْ حَدِّهِ انْعَكَسَ إِلَى ضِدِّهِ .



DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Falsafah Hukum Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra

Bakry, Nazar, Drs. 1996. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Djazuli, Prof. H. A. 2006. Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana

Haq, Abdul, dkk. 2006. Formulasi Nalar Fiqh: Telaah Kaidah Fiqh Konseptual. Surabaya: Khalista

Mubarok, Jaih. 2002. Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah Asasi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Musbikin, Imam. 2001. Qawa’id al-Fiqhiyah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Rahman, Asmuni A. Drs. H. 1976. Qa’idah-Qa’idah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyah). Jakarta: Bulan Bintang

Usman, Muchlis, Drs. H. MA. 1999. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah: Pedoman Dasar Dalam Intinbath Hukum Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar