Minggu, 09 Januari 2011

Syirkah 'ala al-Ardh: Muzara'ah, Mukhabarah dan Musaqah

BAB I
PENDAHULUAN

Muzara’ah, Mukhabarah dan Musaaqah termasuk jenis pekerjaan yang telah dilakukan orang-orang sejak dahulu kala, karena kebutuhan mereka kepada keduanya. Terkadang seseorang mempunyai tanah pertanian, namun ia tidak mampu mengurus dan memanfaatkannya. Atau ia mempunyai pohon, namun ia tidak mampu merawat dan membuahkannya. Sedangkan, ada orang lain yang tidak memiliki tanah atau pohon, namun ia mampu merawat dan mengurusnya. Jadi, Muzara’ah, Mukhabarah dan Musaaqah dibolehkan demi kebutuhan kedua belah pihak. Demikianlah, semua kerja sama yang dibolehkan syara’ berlangsung berdasarkan keadilan dan dalam rangka mewujudkan kebaikan serta menghilangkan kerugian.
Manusia banyak yang mempunyai binatang ternak seperti kerbau, sapi, kuda dan yang lainnya, dia sanggup untuk berladang dan bertani untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, tetapi tidak memiliki tanah. Sebaliknya, banyak di antara manusia mempunyai sawah, tanah, ladang dan lainnya, yang layak untuk ditanami (bertani), tetapi ia tidak memiliki binatang untuk mengolah sawah dan ladangnya tersebut atau ia sendiri tidak sempat untuk mengerjakannya, sehingga banyak tanah yang dibiarkan dan tidak dapat menghasilkan suatu apa pun.
Muzara’ah dan Mukhabarah disyari’atkan untuk menghindari adanya pemilikan hewan ternak yang kurang bisa dimanfaatkan, karena tidak ada tanah untuk diolah dan menghindari tanah yang juga dibiarkan tidak diproduksikan, karena tidak ada yang mengolahnya.
Muzara’ah dan Mukhabarah terdapat pembagian hasil, maka untuk hal-hal lainnya yang bersifat teknis disesuaikan dengan syirkah, yaitu konsep bekerja sama dalam upaya menyatukan potensi yang ada pada masing-masing pihak, dengan tujuan bisa saling menguntungkan.
Dari uraian di atas, maka di dalam makalah ini kami akan membahas tentang bagaimana sebenarnya konsep Muzara’ah, Mukhabarah dan Musaaqah di dalam sistem hukum Islam dan bagaimana pula pandangan para ulama imam mazhab terhadap ketiga jenis Syirkah ‘Ala al-Ardh ini. Semoga bermanfaat, Amin.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Muzara’ah dan Mukhabarah
1. Pengertian Muzara’ah dan Mukhabarah
Secara etimologi, muzara’ah (المزارعة) adalah wazan mufa’alah ((مفاعلة dari kata الزرع yang artinya sama dengan الإنبات (menumbuhkan). Muzara’ah juga berarti tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al-badzar). Makna yang pertama adalah makna majaz dan makna yang kedua adalah makna hakiki.
Muzara’ah dan mukhabarah memiliki makna yang berbeda, pendapat tersebut dikemukakan oleh al-Rafi’i dan al-Nawawi. Sedangkan menurut al-Qadhi Abu Thayid bahwa muzara’ah dan mukhabarah adalah satu pengertian.
Sedangkan menurut istilah, muzara’ah dan mukhabarah didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut:
1. Menurut Hanafiah, muzara’ah adalah:
عقد على الزرع ببعض الخارج من الأرض
“Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi”.
Sedangkan mukhabarah ialah:
عقد على الزرع ببعض ما يخرج من الأرض
“Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-apa yang keluar dari bumi”.

Definisi muzara’ah dan mukhabarah menurut ulama Hanafiah di atas hampir tidak bisa dibedakan. Dalam muzara’ah menggunakan kalimat ببعض الخارج من الأرض, sedangkan dalam mukhabarah dengan kalimat ببعض ما يخرج من الأرض. Dengan adanya perbedaan redaksi tersebut menunjukkan adanya perbedaan. Namun belum diketahui perbedaan tersebut berdasarkan pemikiran Hanafiah.
2. Menurut Hanabilah, bahwa muzara’ah ialah: menyerahkan tanah kepada kepada orang yang akan bercocok tanam atau mengelolanya, sedangkan tanaman (hasilnya) tersebut dibagi di antara keduanya.
3. Menurut Malikiah, bahwa muzara’ah ialah: perkongsian dalam bercocok tanam. Lebih lanjut dijelaskan dari pengertian tersebut bahwa muzara’ah adalah menjadikan harga sewaan tanah dari uang, hewan atau barang-barang perdagangan.
4. Ulama Syafi’iah membedakan antara muzara’ah dan mukhabarah:
المخابرة هي عمل الأرض ببعض ما يخرج منها والبذر من العامل. والمزارعة هي المخابرة ولكن البذر فيها يكون من المالك.
“Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkannya dan benihnya berasal dari pengelola. Adapun muzara’ah, sama seperti mukhabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah”.

Setelah diketahui dari definisi-definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa mukhabarah dan muzara’ah ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola. Perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola, maka disebut mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah, maka disebut muzara’ah.

2. Landasan Hukum Mukhabarah dan Muzara’ah
Zira’ah merupakan salah satu bentuk kerja sama antara pekerja/buruh dan pemilik tanah. Dalam banyak kasus, pihak buruh memiliki keahlian mengolah tanah namun tidak memiliki tanah, dan ada pemilik tanah tidak mempunyai keahlian dalam mengolah tanah tersebut. Oleh karena itu, Islam mensyari’atkan zira’ah sebagai upaya mempertemukan kepentingan kedua belah pihak.
Praktek muzara’ah model tersebut pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat setelahnya. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW mempekerjakan penduduk Khaibar dengan upah sebagian dari biji-bijian dan buah-buahan yang bisa dihasilkan tanah Khaibar.
Muhammad Baqir bin Ali bin Husain ra. berkata, “Tidak seorang pun dari kaum Muhajirin di Madinah, kecuali mereka menjadi petani dengan mendapatkan hasil sepertiga atau seperempat. Dan Ali ra., Said bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali dan Ibnu Sirin, semua bekerja dalam bidang pertanian.” (HR. Bukhari).
Dalam kitab al-Mughni disebutkan, “Pekerjaan tersebut sangat populer, Rasulullah SAW sendiri mengerjakannya hingga tiba wafatnya, kemudian dilakukan pula oleh para khalifahnya sampai mereka meninggal dunia, kemudian keluarga mereka, dan sesudah mereka.”
Di Madinah, tidak ada seorang penghuni rumah yang tidak melakukan praktek tersebut, termasuk isteri-isteri Nabi SAW. Tradisi seperti ini tidak boleh dihapuskan, karena penghapusan hanya berlaku pada masa kehidupan Rasulullah SAW. Adapun sesuatu yang telah ia kerjakan hingga berpulang ke rahmatullah, kemudian dilakukan oleh khalifah-khalifah sesudahnya, para sahabat sepakat melakukan, dan tidak seorang pun yang tidak turut serta melakukannya, tidak mungkin untuk dihapus.
Dasar hukum yang dipergunakan para ulama dalam menetapkan hukum mukhabarah dan muzara’ah adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas ra.:
إن النبي ص.م لم يحرم المزارعة ولكن أمر أن يرفق بعضهم ببعض بقوله من كانت له أرض فليزرعها أو ليمنحها أخاه فإن أبى فليمسك أرضه. (رواه البخاري)

“Sesungguhnya Nabi SAW tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya: barangsiapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau maka tahanlah tanah itu”.

3. Eksistensi Muzara’ah dan Mukhabarah
Imam Hanafi dan Ja’far tidak mengakui keberadaan Muzara’ah dan menganggapnya fasid. Begitu pula Imam Syafi’i, tetapi sebagian ulama Syafi’yiah mengakuinya dan mengaitkannya dengan musaaqah (pengelolaan kebun) dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi mereka, tidak membolehkan mukhabarah sebab tidak ada landasan yang membolehkannya.
Di antara alasan yang dikemukakan oleh ulama Hanafiah, Ja’far, Imam Syafi’i adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir Ibn Abdullah bahwa Rasulullah SAW melarang mukhabarah. Demikian pula dalam hadits Ibnu Umar yang juga diriwayatkan oleh Muslim bahwa Rasulullah SAW melarang Muzara’ah.
Golongan ini berpendapat bahwa kerja sama Nabi dengan orang Khaibar dalam mengelola tanah bukan termasuk mukhabarah atau muzara’ah, melainkan pembagian atas hasil tanaman tersebut dengan membaginya, seperti dengan sepertiga atau seperempat dari hasilnya yang didasarkan anugerah (tanpa biaya)dan kemaslahatan. Hal itu dibolehkan.
Abu Yusuf dan Muhammad (Sahabat Imam Abu Hanifah), Imam Malik, Ahmad, dan Abu Daud Azh-Zhahiri berpendapat bahwa Muzara’ah dibolehkan. Hal itu didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Jama’ah dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW bermuamalah dengan ahli Khaibar dengan setengah dari sesuatu yang dihasilkan dari tanaman, baik buah-buahan maupun tumbuh-tumbuhan. Selain itu, muzara’ah dapat dikategorikan perkongsian antara harta dan pekerjaan, sehingga kebutuhan pemilik dan pekerja dapat terpenuhi. Tidak jarang pemilik tidak dapat memelihara tanah, sedangkan pekerja mampu memeliharanya dengan baik, tetapi tidak memiliki tanah. Dengan demikian, dibolehkan sebagaimana dalam mudharabah.
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad (dua sahabat Abu Hanifah), Muzara’ah mempunyai empat keadaan, tiga shahih dan satu batal.
a. Dibolehkan muzara’ah jika tanah dan benih berasal dari pemilik, sedangkan pekerjaan dan alat penggarap berasal dari penggarap.
b. Dibolehkan muzara’ah jika tanah dari seseorang sedangkan benih, alat penggarap, dan pekerjaan dari penggarap.
c. Dibolehkan muzara’ah jika tanah, benih, dan alat penggarap berasal dari pemilik, sedangkan pekerjaan berasal dari penggarap.
d. Tidak boleh muzara’ah jika tanah dan hewan berasal dari pemilik tanah, sedangkan benih dan pekerjaan dari penggarap.

4. Bantahan Atas Larangan Mukhabarah dan Muzara’ah
Disebutkan oleh Rafi’ bin Khudaij bahwa Rasulullah telah melarangnya. Hal tersebut dibantah oleh Zaid bin Tsabit ra., “Pelarangan itu dilakukan untuk menyelesaikan suatu kasus perselisihan”. Ia melanjutkan, “semoga Allah mengampuni Rafi’ bin Khudaij. Demi Allah, aku ini lebih mengetahui tentang hadits dari dirinya.”
Pelarangan yang disebbutkan itu sebenarnya dalam kasus dua orang Anshar mendatangi Nabi SAW yang nyaris saling membunuh. Rasulullah SAW mengatakan kepada mereka,
إن كان هذا شأنكم فلا تكروا المزارع
“Jika begini keadaan kalian, maka jangan kalian ulangi lagi melakukan muzara’ah.”
Rafi’ hanya mendengar kalimat فلا تكروا المزارع “maka jangan kalian ulangi lagi muzara’ah”(HR. Abu Daud dan an-Nasa’i)
Ibnu Abbas pula membantah atas apa yang disebutkan oleh Rafi’. Ia menjelaskan, “Sesungguhnya larangan tersebut bertujuan agar berbuat yang lebih baik untuk mereka.” Ia kemudian menceritakan,”Sesungguhnya Rasulullah SAW bukan mengharamkan praktek muzara’ah, akan tetapi ia memerintahkan agar sesama manusia saling menolong, dengan perkataannya, ‘barang siapa yang memiliki tanah, hendaknya ia menanaminya atau ia berikan (penggarapannya) kepada saudaranya. Jika enggan, maka ia sendiri harus menggarap tanahnya sendiri.”

5. Rukun Muzara’ah dan Mukhabarah dan Sifat-Sifatnya
Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rukun muzara’ah dan mukhabarah adalah ijab dan qabul yang menunjukkan keridhaan di antara keduanya.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa muzara’ah dan mukhabarah tidak memerlukan qabul secara lafaz, tetapi cukup dengan mengerjakan tanah. Hal ini sudah dianggap qabul.
Tentang sifat muzara’ah dan mukhabarah menurut ulama Hanafiah, merupakan sifat-sifat perkongsian yang tidak lazim. Adapun menurut ulama Malikiah, diharuskan menaburkan benih di atas tanah supaya tubuh tanaman atau dengan menanam tumbuhan di atas tanah yang tidak ada bijinya. Menurut pendapat paling kuat, perkongsian harta termasuk muzara’ah dan harus menggunakan sighat.
Ulama Hanafiah berpendapat bahwa muzara’ah dan mukhabarah adalah dua akad yang tidak lazim sehingga setiap yang melangsungkan akad dapat membatalkan keduanya. Akad pun dapat dianggap batal jika salah seorang ‘aqid meninggal dunia.

6. Syarat-Syarat Muzara’ah dan Mukhabarah
a. Menurut Abu Yusuf dan Muhammad
Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa muzara’ah dan mukhabarah memiliki beberapa syarat yang berkaitan dengan aqid (orang yang melangsungkan akad), tanaman, tanah yang ditanami, sesuatu yang keluar dari tanah, tempat akad, alat bercocok tanam, dan waktu bercocok tanam.
1. Syarat ‘Aqid
a. Mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan baligh.
b. Imam Abu Hanifah mensyaratkan bukan orang murtad, tetapi ulama Hanafiah tidak mensyaratkannya.
2. Syarat Tanaman
Di antara para ulama terjadi perbedaan pendapat, tetapi kebanyakan menganggap lebih baik jika diserahkan kepada pekerja.
3. Syarat Dengan Garapan
a. Memungkinkan untuk digarap, yakni apabila ditanami tanah tersebut akan menghasilkan.
b. Jelas.
c. Ada penyerahan tanah.
4. Syarat-Syarat Tanaman Yang Dihasilkan
a. Jelas ketika akad.
b. Diharuskan atas kerja sama dua orang yang berakad.
c. Ditetapkan ukuran di antara keduanya, seperti sepertiga, setengah dan lain-lain.
d. Hasil dari tanaman harus menyeluruh di antara dua orang yang akan melangsungkan akad. Tidak dibolehkan mensyaratkan bagi salah satu yang melangsungkan akad hanya mendapatkan sekedar pengganti biji.
5. Syarat Tujuan Akad
Akad dalam Muzara’ah dan Mukhabarah harus didasarkan pada tujuan syara’ yaitu untuk memanfaatkan pekerja atau memanfaatkan tanah.
6. Syarat Alat Bercocok Tanam
Dibolehkan menggunakan alat tradisional atau modern dengan maksud sebagai konsekuensi atas akad. Jika hanya bermaksud menggunakan alat, dan tidak dikaitkan dengan akad, Muzara’ah dan Mukhabarah dipandang rusak.
7. Syarat Muzara’ah dan Mukhabarah
Dalam Muzara’ah dan Mukhabarah diharuskan menetapkan waktu. Jika waktu tidak ditetapkan, Muzara’ah dan Mukhabarah dipandang tidak sah.

b. Ulama Malikiah
Syarat-syarat Muzara’ah dan Mukhabarah menurut ulama Malikiah adalah:
a. Kedua orang yang melangsungkan akad harus menyerahkan benih.
b. Hasil yang diperoleh harus disamakan antara pemilik tanah dan penggarap.
c. Benih harus berasal dari kedua orang yang melakukan akad.

c. Ulama Syafi’iah
Ulama Syafi’iah tidak mensyaratkan persamaan hasil yang diperoleh oleh kedua aqid dalam Muzara’ah dan Mukhabarah yang mengikuti atau berkaitan dengan musaaqah. Mereka bermanfaat bahwa muzara’ah adalah pengelolaan tanah atas apa yang keluar dari bumi, sedangkan benihnya berasal dari pemilik tanah.

d. Ulama Hanabilah
Ulama Hanabilah sebagaimana ulama Syafi’iah, tidak mensyaratkan persamaan antara penghasilan dua orang yang berakad.
Namun demikian mereka mensyaratkan lainnya:
1. Benih berasal dari pemilik, tetapi diriwayatkan bahwa Imam Ahmad membolehkan benih berasal dari penggarap.
2. Kedua orang yang melaksanakan akad harus menjelaskan bagian masing-masing.
3. Mengetahui dengan jelas jenis benih.

7. Hukum Muzara’ah dan Mukhabarah
a. Hukum Muzara’ah dan Mukhabarah Shahih Menurut Hanafiah
Menurut ulama Hanafiah, hukum Muzara’ah dan Mukhabarah yang shahih adalah sebagai berikut:
1. Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.
2. Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah.
3. Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan waktu akad.
4. Menyiram atau menjaga tanaman, jika disyaratkan akan dilakukan bersama, hal itu harus dipenuhi. Akan tetapi, jika tidak ada kesepakatan, penggaraplah yang paling bertanggung jawab menyiram atau menjaga tanaman.
5. Dibolehkan menambah penghasilan dari kesepakatan waktu yang telah ditetapkan.
6. Jika salah seorang yang berakad meninggal sebelum diketahui hasilnya, penggarap tidak mendapatkan apa-apa sebab ketetapan akad didasarkan pada waktu itu

b. Hukum Muzara’ah dan Mukhabarah Fasid Menurut Syafi’iah
Telah disinggung bahwa ulama Syafi’iah melarang muzara’ah, jika benih dari pemilik, kecuali bila dianggap sebagai musaaqah. Begitu pula jika benih dari penggarap, hal itu tidak boleh sebagaimana dalam musaaqah.
Dengan demikian, hasil dari pemeliharaan tanah diberikan semuanya untuk pemilik, sedangkan penggarap hanya diberi upah.

c. Hukum Muzara’ah dan Mukhabarah Fasid Menurut Hanafiah
Di antara hukum-hukum yang terdapat dalam muzara’ah fasid adalah:
1. Penggarap tidak berkewajiban mengelola.
2. Hasil yang keluar merupakan milik pemilik benih.
3. Jika dari pemilik tanah, penggarap berhak mendapatkan upah dari pekerjaannya.

8. Penghabisan Muzara’ah dan Mukhabarah
Beberapa hal yang menyebabkan Muzara’ah habis:
a. Habis masa Muzara’ah.
b. Salah seorang yang berakad meninggal.
c. Adanya uzur. Menurut ulama Hanafiyah di antara uzur yang menyebabkan batalnya muzara’ah, antara lain:
1. Tanah garapan terpaksa dijual, misalnya untuk membayar utang.
2. Penggarap tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad dijalan Allah SWT, dan lain-lain.

B. Musaaqah
1. Pengertian Musaaqah
Kata musaaqah adalah bentuk kata mufa’alah dari kata saqyu. Dinamakan begitu karena pepohonan penduduk Hijaz sangat membutuhkan saqyu (penyiraman) dari sumur. Karena itu dinamakan musaaqah (pengairan).
Menurut istilah, al-musaaqah didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut:
a. Menurut Abdurrahman al-Jaziri, al-musaaqah ialah “akad untuk pemeliharaan pohon; kurma, tanaman (pertanian) dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu”.
b. Menurut Malikiyah, bahwa al-musaqah ialah “sesuatu yang tumbuh di tanah”.
Menurut Malikiyah, sesuatu yang tumbuh di tanah dibagi menjadi lima macam:
• Pohon-pohon tersebut berakar kuat (tetap) dan pohon tersebut berbuah, buah itu dipetik serta pohon tersebut tetap ada dengan waktu yang lama, seperti pohon anggur dan zaitun.
• Pohon-pohon tersebut berakar tetap tetapi tidak berbuah, seperti pohon kayu keras, karet dan jati.
• Pohon-pohon yang tidak berakar kuat tetapi berbuah dan dapat dipetik, seperti padi dan qatsha’ah (sejenis pohon labu dan buahnya seperti ketimun).
• Pohon-pohon yang tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang dapat dipetik, tetapi memiliki kembang yang bermanfaat, seperti pohon bunga mawar.
• Pohon-pohon yang diambil hijau dan basahnya sebagai suatu manfaat, bukan buahnya, seperti tanaman hias yang ditanam di halaman rumahdan di tempat lainnya.
c. Menurut Syafi’iyah, bahwa yang dimaksud dengan al-musaqah ialah: “Mempekerjakan orang lain untuk menggarap kurma atau pohon anggur, dengan perjanjian dia akan menyiram dan mengurusnya, kemudian buahnya untuk mereka berdua”.
d. Menurut Hanabilah bahwa al-musaaqah mencakup dua masalah, yaitu
• Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon anggur, kurma dan yang lainnya, baginya ada buahnya yang dimakan sebagai bagian tertentu dari buah pohon tersebut, seperti sepertiganya atau setengahnya.
• Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanamkan pada tanahnya, yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya, yang kedua ini disebut munashabah mugharasah, karena pemilik menyerahkan tanah dan pohon-pohon untuk ditanamkannya.
e. Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy yang dimaksud dengan al-musaaqah ialah: “syarikat pertanian untuk memperoleh hasil dari pepohonan”.

Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas, kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan al-musaaqah ialah akad antara pemilik dan pekerja untuk memelihara pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohon yang diurusnya.
Musaqah merupakan persekutuan perkebunan dalam mengembangkan pohon. Pemilik pohon berada di satu pihak dan penggarap pohon di pihak lain. Dengan perjanjian, buah yang dihasilkan untuk kedua belah pihak dibagi sesuai dengan persentase yang disepakati, misalnya setengah, sepertiga, atau lainnya.
Penggarap pohon disebut musaqi, sedangkan pihak lain disebut pemilik pohon. Adapun maksud pohon dalam bahasan ini adalah semua yang ditanam agar dapat bertahan di tanah selama lebih dari satu tahun dan untuk waktu yang tidak ada ketentuan akhirnya hingga penebangan. Baik pohon itu berbuah maupun tidak.
Untuk pohon yang tidak berbuah, maka imbalan untuk musaqi adalah dalam bentuk pelepah dan kayu serta semacamnya.

2. Perbedaan Antara Musaqah dan Muzara’ah
Ulama Hanafiah berpendapat bahwa musaaqah sama dengan muzara’ah, kecuali dalam empat perkara:
a. Jika salah seorang yang menyepakati akad tidak memenuhi akad, dalam musaqah, ia harus dipaksa, tetapi dalam muzara’ah, ia tidak boleh dipaksa.
b. Jika waktu musaaqah habis, akad diteruskan sampai berbuah tanpa pemberian upah, sedangkan dalam muzara’ah, jika waktu habis, pekerjaan diteruskan dengan pemberian upah.
c. Waktu dalam musaaqah ditetapkan berdasarkan istihsan, sebab dapat diketahui dengan tepat, sedangkan waktu dalam muzara’ah terkadang tidak tertentu.
d. Jika pohon diminta oleh selain pemilik tanah, penggarap diberi upah. Sedangkan dalam muzara’ah jika diminta sebelum menghasilkan sesuatu, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.

3. Landasan Hukum Musaaqah
Musaaqah disyari’atkan berdasarkan sunnah. Mayoritas para ahli fiqih sepakat bahwa musaqah dibolehkan karena hal itu diperlukan, sedangkan Abu Hanifah tidak membolehkannya.
Dalam masalah musaaqah, mayoritas ulama berargumentasi akan pembolehan musaaqah dengan dalil:
روى مسلم عن ابن عمر أن النبي صلى الله عليه و سلم عامل أهل خيبر بشطر ما يخرج منها من ثمر أو زرع .
“Riwayat Muslim dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW telah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan memberikan imbalannya, separuh dari yang dihasilkan, baik berupa buah atau tanaman.”

4. Syarat-Syarat Musaaqah
Syarat-syarat musaaqah sebenarnya tidak berbeda dengan persyaratan yang ada dalam muzara’ah. Hanya saja, pada musaaqah tidak disyaratkan untuk menjelaskan jenis benih, pemilik benih, kelayakan kebun, serta ketetapan waktu.
Beberapa syarat yang ada dalam muzara’ah dan dapat diterapkan dalam musaaqah adalah:
1. Ahli dalam akad.
2. Menjelaskan bagian penggarap.
3. Membebaskan pemilik dari pohon.
4. Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad.
5. Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir.

5. Rukun Musaaqah
Jumhur ulama menetapkan bahwa rukun musaaqah ada lima, yaitu:
a. Dua orang yang berakad (al-‘aqidani). Al-‘aqidani ini disyaratkan harus baligh dan berakal.
b. Objek musaaqah. Objek musaaqah menurut ulama Hanafiah adalah pohon-pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiah lainnya dibolehkan musaaqah atas pohon yang tidak berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan dan siraman
Ulama Malikiah berpendapat bahwa objek musaaqah adalah tumbuh-tumbuhan, seperti kacang, pohon yang berbuah dan memiliki akar yang tetap di tanah, seperti anggur, kurma yang berbuah, dan lain-lain, dengan dua syarat:
1. Akad dilakukan sebelum buah tampak dan dapat diperjualbelikan.
2. Akad ditentukan dengan waktu tertentu.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa musaaqah dimaksudkan pada pohon-pohon yang berbuah yang dapat dimakan.
Ulama Syafi’iah dalam Qaul Jadidnya berpendapat bahwa musaaqah hanya dapat dilakukan pada kurma dan anggur saja. Kurma didasarkan pada perbuatan Rasulullah SAW terhadap orang Khaibar, sedangkan anggur hampir sama hukumnya dengan kurma bila ditinjau dari segi wajib zakatnya. Akan tetapi, Mazhab Qadim membolehkan semua jenis pepohonan.
c. Buah. Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak.
d. Pekerjaan. Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika disyaratkan bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, akad menjadi tidak sah.
Ulama mensyaratkan penggarap harus mengetahui batas waktu, yaitu kapan maksimal berbuah dan kapan minimal berbuah.
Ulama Hanafiah tidak memberikan batasan waktu, baik dalam muzara’ah maupun musaaqah sebab Rasulullah SAW pun tidak memberikan batasan ketika bermuamalah dengan orang Khaibar.
e. Sighat. Menurut ulama Syafi’iah, tidak dibolehkan menggunakan kata ijarah (sewaan) dalam akad musaaqah sebab berlainan akad.
Adapun ulama Hanabilah membolehkannya sebab yang terpenting adalah maksudnya.
Bagi orang yang mampu berbicara, qabul harus diucapkan agar akad menjadi lazim, seperti pada ijarah. Menurut ulama Hanabilah, sebagaimana pada muzara’ah, tidak disyaratkan qabul dengan ucapan, melainkan cukup dengan mengerjakannya.

6. Hal-Hal Yang Dibolehkan Dalam Musaaqah
Para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai kebolehan dalam musaaqah. Sebagian ulama membatasi hanya pada kurma, seperti pendapat Daud. Sebagian yang lainnya menambahkan, yaitu kurma dan anggur, seperti pendapat Syafi’i. sebagian yang lain berpendapat lebih luas lagi, seperti mazhab Hanafi.
Akan tetapi, apabila jangka waktu tidak dijelaskan, maka akad berlaku pada bagian yang diperbolehkan setelah akad. Dan sah juga untuk buah-buahan yang bertahapan muncul sedikit demi sedikit, seperti terong, jika seseorang menyerahkan pohon yang sudah dipangkas untuk diurus oleh penggarap dan penyiramannya hingga menghasilakan daunnya, sedangkan hasil panennya dibagi dua, maka hal itu dibolehkan tanpa menjelaskan jangka waktunya.
Menurut Imam Malik, musaaqah dibolehkan untuk semua pohon yang memiliki akar kuat, seperti delima, tin, zaitun dan pepohonan yang serupa dengan itu. Selain itu juga dibolehkan untuk pohon yang memiliki akar yang tidak kuat, seperti semangka, dalam keadaan pihak pemilik tidak mampu menggarapnya. Begitu pula halnya dengan tumbuh-tumbuhan.
Menurut kalangan Hanbali, dibolehkan musaaqah untuk semua pohon yang buahnya dapat dimakan. Di dalam kitab al-mughni, ia berkata, “musaaqah dibolehkan untuk pohon tadah hujan (berdaun lebat) dan pohon yan memerlukan siraman.” Untuk itu, Imam Malik berkata, “kita tidak mengetahui adanya perbedaan dalam hal itu.”

7. Kewajiban Musaaqi (Penyiram)
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Nawawi bahwa tugas seorang musaaqi adalah melakukan pekerjaan yang diperlukan oleh pohon sebagai bentuk pemeliharaan untuk mendapat buahnya, caranya adalah dengan menyiram, membersihkan saluran air, mengurus pertumbuhan pohon, mengelola dengan baik, memisahkan pohon yang berhasil guna dan tumbuhan merambat, memelihara hasil buahnya dan menjaga batangnya, dan lainnya.
Pemeliharaan pohon yang tidak berulang buahnya setiap tahun, seperti membangun pematang dan menggali sungai merupakan kewajiban pemilik.

8. Ketidakmampuan Penggarap Dalam Pekerjaan
Apabila penggarap tidak mampu melakukan pekerjaannya karena sakit atau karena kebutuhan yang mendesak, maka musaaqah menjadi batal. Hal itu berlaku apabila di dalam kontrak pihak pemilik mensyaratkan bahwa penggarap melakukan pekerjaannya sendiri. Jika tidak disyaratkan begitu, maka musaaqah tidak batal. Akan tetapi, penggarap harus mencarikan pengganti atas dirinya. Demikian pendapat menurut kalangan mazhab Hanafi.
Imam Malik mengatakan bahwa apabila penggarap tidak mampu untuk melakukan garapan, sedagkan masa penjualan buah-buahan telah tiba, maka penggarap tidak boleh meminta penyiraman kepada orang lain dan ia berkewajiban menyewa orang lain untuk bekerja. Jika orang kedua tidak mendapat pembagian hasil buah, maka pihak kedua dibayar dari bagian hasil penggarap. Sedangkan Syafi’i berpendapat bahwa musaaqah menjadi batal karena ketidakmampuan penggarap.

9. Habis Waktu Musaaqah
a. Menurut Ulama Hanafiah
Ulama Hanafiah berpendapat bahwa musaaqah sebagaimana dalam muzara’ah diangap selesai dengan adanya tiga perkara:
1. Habis waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang berakad.
Jika waktu telah habis, tetapi belum menghasilkan apa-apa penggarap boleh berhenti. Akan tetapi, jika penggarap meneruskan bekerja di luar waktu yang telah disepakati, ia tidak mendapatkan upah.
Jika penggarap menolaj untuk bekerja, pemilik atau ahli warisnya dapat melakukan tiga hal:
a. Membagi buah dengan memakai persyaratan tertentu.
b. Penggarap memberikan bagiannya kepada pemilik.
c. Membiayai sampai berbuah, kemudian mengambil bagian penggarap sekedar pengganti pembiayaan.
2. Meninggalnya salah seorang yang berakad.
Jika penggarap meninggal, ahli warisnya berkewajiban meneruskan musaaqah, walaupun pemilik tanah tidak rela. Begitu juga jika pemilik meninggal, penggarap meneruskan pemeliharaannya walaupun ahli waris pemilik tidak menghendakinya. Apabila kedua orang yang berakad meninggal, yang paling berhak meneruskan ialah ahli waris penggarap. Jika ahli waris itu menolak, musaaqah diserahkan kepada pemilik tanah.
3. Membatalkan, baik dengan ucapan secara jelas atau adanya uzur.
Di antara uzur yang dapat membatalkan musaqah:
a. Penggarap dikenal sebagai pencuri yang dikhawatirkan akan mencuri buah-buahan yang digarapnya.
b. Penggarap sakit sehingga tidak dapat bekerja

b. Menurut Ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa musaaqah adalah akad yang dapat diwariskan. Dengan demikian, ahli waris penggarap berhak untuk meneruskan garapan. Akan tetapi, jika ahli warisnya menolak, pemilik harus menggarapnya.
Musaaqah dianggap tidak batal jika penggarap diketahui seorang pencuri, tukang berbuat zalim atau tidak dapat bekerja. Penggarap boleh memburuhkan orang lain untuk bekerja. Jika tidak mempunyai modal, ia boleh mengambil bagiannya dari upah yang akan diperolehnya bila tanaman telah berbuah. Ulama Malikiyah beralasan bahwa musaaqah adalah akad yang lazim yang tidak dapat dibatalkan karena adanya uzur, juga tidak dapat dibatalkan dengan pembatalan sepihak sebab harus ada kerelaan di antara keduanya.

c. Menurut Ulama Syafi’iah
Ulama Syafi’iah berpendapat bahwa musaaqah tidak batal dengan adanya uzur, walaupun diketahui bahwa penggarap berkhianat. Akan tetapi, pekerjaan penggarap harus diawasi sampai penggarap menyelesaikan pekerjaannya. Jika pengawas tidak mampu mengawasinya, tanggung jawab penggarap dicabut kemudian diberikan kepada penggarap yang upahnya diambil dari upah penggarap.
Menurut ulama Syafi’iah musaaqah selesai jika habis waktu. Jika buah keluar setelah habis waktu, penggarap tidak berhak atas hasilnya. Akan tetapi, jika akhir waktu musaaqah buah belum matang, penggarap berhak atas bagiannya dan meneruskannya pekerjaaanya.
Musaaqah dipandang batal jika penggarap meninggal, tetapi tidak dianggap batal jika pemilik meninggal. Penggarap meneruskan pekerjaannya sampai mendapatkan hasilnya. Akan tetapi, jika seorang ahli waris yang mewarisinya pun meninggal, akan menjadi batal.

d. Menurut Ulama Hanabilah
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa musaaqah sama dengan muzara’ah, yakni termasuk akad yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian setiap sisi dari musaaqah dapat membatalkannya. Jika musaaqah rusak setelah tampak buah, buah tersebut dibagikan kepada pemilik dan penggarap sesuai dengan perjanjian waktu akad.
Jika penggarap meninggal, musaaqah dipandang tidak rusak, tetapi dapat diteruskan oleh ahli warisnya. Jika ahli waris menolak, mereka tidak boleh dipaksa tapi hakim dapat menyuruh orang lain untuk mengelolanya dan upahnya diambil dari tirkah (peninggalannya). Akan tetapi, jika atidak memiliki tirkah, upah tersebut diambil dari bagian penggarap sebatas yang dibutuhkan sehingga musaaqah sempurna.
Jika penggarap kabur sebelum penggarapannya selesai ia tidak mendapatkan apa-apa sebab ia dipandang telah rela untuk tidak mendapat apa-apa.
Apabila ada uzur yang tidak menyebabkan batalnya akad, misalnya penggarap lemah untuk mengelola amanat tersebut, pekerjaannya diberikan kepada orang lain, tetapi tanggung jawabnya tetap di tangan penggarap, sebagaimana pendapat ulama Syafi’iah. Seandainya betul-betul lemah secara menyeluruh, pemilik mengambil alih dan mengambil upah untuknya.
Ulama Hanabilah pun berpendapat bahwa musaaqah dipandang selesai dengan habisnya waktu. Akan tetapi, jika keduanya menetapkan pada suatu tahun yang menurut kebiasaan akan ada buah, tetapi ternyata tidak, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:
1. Muzara’ah dan mukhabarah ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola. Perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola, maka disebut mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah, maka disebut muzara’ah.
2. Yang dimaksud dengan al-musaaqah ialah akad antara pemilik dan pekerja untuk memelihara pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohon yang diurusnya.
3. Musaqah merupakan persekutuan perkebunan dalam mengembangkan pohon. Pemilik pohon berada di satu pihak dan penggarap pohon di pihak lain. Dengan perjanjian, buah yang dihasilkan untuk kedua belah pihak dibagi sesuai dengan persentase yang disepakati, misalnya setengah, sepertiga, atau lainnya.
4. Muzara’ah, Mukhabarah dan Musaaqah pada dasarnya dibolehkan demi kebutuhan kedua belah pihak yang berakad. Semua kerja sama yang dibolehkan syara’ berlangsung berdasarkan keadilan dan dalam rangka mewujudkan kebaikan serta menghilangkan kerugian.


DAFTAR PUSTAKA



Al-Fauzan, Saleh. 2005. Fiqih Sehari-Hari. terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani Press


al-Husaini, Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad. 2007. Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Shalih), terj. K.H. Syarifuddin Anwar dan K.H. Mishbah Musthafa. Surabaya: CV. Bina Iman

Rusyd, Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid (jil. 2). terj. Abu Usamah Fakhtur Rokhman. Jakarta: Pustaka Azzam

Sabiq, Sayyid. 2007. Fiqih Sunnah, terj. Nor Hasanuddin, Lc. MA., dkk. Jakarta: Pena Pundi Aksara

Suhendi, Hendi, Drs. M.Si. 2002. Fiqh Muamalah. : PT. RajaGrafindo Persada

Syafei, Rachmat, Prof. Dr. H. 2000. Fiqh Muamalah. Bandung, Pustaka Setia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar